Happy Reading
***** Mutia mulai menutup mata setelah berusaha membuka suara di hadapan lelaki tersebut, rasa sakit yang perempuan itu rasakan membuatnya ingin mati saja. "Hey," teriak sang pemilik mobil sambil membuka pintu berusaha menangkap tubuh Mutia. Lelaki berbadan tegap dengan tinggi sekitar 170 cm itu mengguncang pelan tubuh perempuan yang berhasil dia tangkap. "Berani-beraninya kamu pingsan di dekatku," ucap pemilik nama Bagaskara Putra Amarta. Ketiga preman itu segera menghentikan langkah ketika melihat siapa lelaki yang telah menolong si target. Mutia sendiri terpaksa membuka mata walau tubuhnya terasa remuk. Namun, karena guncangan serta ancaman si lelaki, dia tak mungkin memejamkan matanya lagi. "Tolong, Pak Bagas," ucap Mutia lirih. "Kamu yakin minta tolong padaku?" tanya Bagas, menegaskan ucapan Mutia. "Yakin, saya akan memberikan apa pun sebagai balasan atas pertolongan Anda." Tubuh Mutia makin melemah. Kakinya tak mampu lagi menopang bobotnya. "Aku harap kamu tidak akan pernah menyesali keputusanmu." Tatapan lelaki itu begitu tajam. Siap memangsa perempuan di pelukannya. Setelah mendapat gelengan kepala dari Mutia, tangan kiri Bagas meminta anak buahnya untuk menghajar para preman itu. Dia sendiri membopong Mutia ke mobilnya. Perkelahian antara anak buah Bagas dan para preman tadi, tidak sempat disaksikan oleh Mutia. Dia kini, berada di pelukan sang pengusaha yang terkenal playboy dan kejam pada semua perempuan yang tidak diinginkannya. "Kamu telah menentukan pilihanmu sendiri. Jadi, jangan berharap aku akan melepaskanmu," ucap Bagas penuh penekanan. Lalu, lelaki itu meminta sopirnya untuk menjalankan kendaraan. Mencopot jaket yang dikenakannya, Bagas memakaikan pada Mutia. "Terima kasih," ucap Mutia masih dalam dekapan lelaki yang beberapa kali pernah ditemui setiap kali sang kekasih mengajak ke pesta atau jamuan makan-makan di kalangan pengusaha. "Ucapkan terima kasih dengan cara lain." "Maksudnya?" Mutia merotasi kedua bola matanya. Mendekatkan bibir tepat di cuping telinga Mutia, Bagas berkata, "Hangatkan ranjangku malam ini." Sengaja, lelaki itu memberikan kecupan di area sana. Tubuh Mutia bergetar hebat. Sekalipun memiliki kekasih sejak masa SMA, tetapi dia tidak pernah melakukan kontak fisik seintim seperti yang dilakukan dengan Bagas saat ini. Perjalanan terasa lama bagi gadis dengan baju yang sudah robek di beberapa bagiannya. Sementara lelaki di sampingnya malah terkesan sangat santai menanggapi kedekatannya dengan Mutia. Salah satu tangannya bahkan masih betah melingkar di area pinggang si gadis. Memasuki halaman rumah yang terbilang mewah di daerah perumahan elit, Mutia menatap ke arah luar jendela. Pikirannya menerawang jauh, sudah saatnya dia harus membayar apa yang telah dijanjikan tadi pada sang lelaki penolong karena mobil sudah memasuki bagasi sebuah rumah. "Turunlah dulu. Masih ada yang perlu aku bicarakan dengan asistenku." Tanpa banyak bicara, Mutia turun dengan memakai jaket milik Bagas untuk menutupi bagian tubuhnya yang terbuka. Menunggu di teras rumah putra pejabat nomor satu di kota kelahirannya. Perempuan itu menghidupkan layar ponselnya. Notifikasi chat dari aplikasi yang memiliki ikon telepon berwarna hijau terdengar sangat nyaring. Puluhan orang mengirimkan chat pada gadis itu dan yang paling membuat matanya terbuka lebar adalah chat yang dikirim sahabat baiknya sekaligus suami dari Novita, Alfian. "Mut, kamu sama Nazar emangnya udah putus?" tulis sang pengacara sekaligus suami Novita. Kening Mutia berkerut. Bagaimana dirinya bisa putus, sedangkan tadi pagi Nazar masih mengajaknya sarapan bareng di kafe favorit mereka. "Ngawur aja kalau ngomong. Kamu sengaja mendoakan kami putus, ya," tulis Mutia membalas chat Alfian. "Nggak gitu juga. Ngapain aku mendoakan kalian putus. Malah aku berharap kalian cepat menikah. Cuma kabar yang aku dengar dari grup alumni kampus, Nazar malam ini bertunangan dengan gadis paling berpengaruh di kota ini." Mutia hampir saja menjatuhkan ponselnya ketika membaca balasan chat dari Alfian. Sementara itu, Bagas sudah berdiri di samping sang gadis dan berhasil menangkap benda pipih tersebut. "Kenapa terkejut begitu?" "Saya ...." Suara Mutia tercekat di tenggorokan. Antara ingin menangis dan takut. Tanpa banyak kata, Bagas mengangkat Mutia ke dalam gendongannya. Tubuh perempuan itu terasa sangat ringan di tangan si Don Juan. Bahkan satu tangannya masih bisa dipakai untuk membuka pintu rumah. "Pak, saya mau dibawa ke mana?" Suatu pertanyaan bodoh yang terlontar dari bibir Mutia. Jelas-jelas Bagas sedang menuju kamarnya yang berada di lantai dua, tetapi perempuan itu masih bertanya. "Bukankah tadi sudah aku katakan. Tugasmu malam ini adalah menghangatkan ranjangku," bisik Bagaskara bahkan lelaki itu sudah mendaratkan bibirnya ke bibir Mutia. "Tapi, saya ...." "Tidak ada kata tapi." Bagas melemparkan Mutia ke ranjang. "Pak, saya ...."Happy Reading***** Mutia bersiap menutup pintu rumahnya lagi ketika melihat wajah Bagas. Namun, gerakan lelaki itu jauh lebih cepat untuk mencegah niatan si perempuan. "Sayang, Mas mau ngomong penting," ucap Bagas. Mutia menatap lelaki di depannya dengan malas. "Nggak ada yang perlu kita omongin lagi. Pergi sana," usir si ibu guru. Dia kembali akan menutup pintu, tetapi tangannya Bagas jauh lebih cepat menarik pinggang perempuan itu sehingga bibir keduanya menempel satu sama lain.Bagas malah dengan sengaja melumatnya sebentar membuat Mutia meronta-ronta dan saat itulah, si kecil Fardan memanggil keduanya."Mama sama Papa ngapain, sih? Kalau mau mesra-mesraan di dalam saja, deh. Malu kalau di luar gitu. Dilihat tetangga juga nggak enak," ucap si kecil. Mutia tak menjawab, melangkah pergi meninggalkan keduanya. Setelah jaraknya cukup jauh, perempuan itu menoleh dan berkata. "Suruh dia pergi, Sayang. Kita harus segera berangkat sekolah," suruhnya pada si kecil.Fardan menyilangkan
Happy Reading*****Mutia benar-benar menghentikan langkahnya. Dia berbalik menatap Surya dan Bagas bergantian. Sementara Bagas, dia terpaku. Ucapan Surya membuatnya mematung. "Jadi, Papa sudah mengetahui semua ini?" tanya Bagas. Sempat tak percaya jika orang yang membelanya saat ini adalah Surya.Surya menoleh pada putra dan istri sahnya. "Maaf, jika selama ini Papa terkesan selalu membela Nazar," ucapnya.Mutia mendengkus. "Jadi, beginilah kelakuan semua keluarga Anda. Salah satu anggota keluarga melakukan tindak kriminal, tapi Anda malah melindunginya. Maaf, jika saya semakin yakin untuk membawa Fardan pergi dari sini." Perempuan yang berprofesi sebagai guru itu kembali melanjutkan langkahnya sambil menggandeng tangan si kecil yang sejak tadi sama sekali belum membuka suara."Tia, tunggu!" teriak Bagas. Akan tetapi, orang yang dia panggil makin mempercepat langkahnya."Gas, biarkan saja. Beri kesempatan pada Mutia untuk bersama Fardan dulu," nasihat Anjani yang ikut mengejar langk
Happy Reading*****"Nggak mungkin, ini sangat nggak mungkin," ucap Mutia berkali-kali, air matanya sudah menganak sungai di pipi."Sayang, kenapa?" Bagas mengguncang kedua bahu perempuan yang sudah menguasai seluruh hatinya itu.Surya langsung merebut selembar kertas di tangan Mutia. Lalu, membaca isi yang tertera di sana. Sebagaimana reaksi si ibu guru, lelaki paruh baya itupun cukup terkejut ketika membacanya."Pa, ada apa?" tanya Anjani. Perempuan itu merebut kertas di tangan suaminya. "Lho," ucapnya tak percaya."Itulah kenyataannya," kata Fardan, "semula, aku juga berharap bahwa Mama adalah orang yang melahirkanku, tapi kenyataannya nggak sesuai harapan. Padahal dari foto ini, aku sudah berharap banyak."Si kecil menyerahkan dua lembar foto berbeda tempat, tetapi pakaian yang digunakan si bayi sama.Bagas menyambar foto yang disodorkan si kecil. Lalu, dia mencermati kedua foto tersebut. "Bukankah ini fotomu ketika Mama baru pertama kali melihatmu di rumah sakitnya Satya waktu it
Happy Reading*****"Mana mungkin dia?" teriak Elvina setelah cengkeraman tangan kekasihnya terlepas dari leher.Tama menyipitkan mata, dia menatap lurus ke arah perempuan cantik dan anggun yang kini berjalan mendekati mereka semua. Dia seperti mengenal perempuan itu, tetapi tidak ingat di mana. "Sayang, apa bener yang kamu katakan itu?" tanya Bagas. Dia maju, berusaha menggenggam tangan si perempuan. Namun, perempuan itu menepisnya dengan cepat. "Benar atau nggaknya, tanyakan pada hatimu sendiri. Aku sudah mengingat semuanya." Perempuan itu menatap ke arah Surya. "Saya sudah mengingat semuanya bahkan ketika Anda mengambil anak yang telah saya lahirkan di rumah sakit saat itu. Saya telah salah menilai kebaikan kalian semua. Ternyata, kalianlah orang yang telah menghancurkan hidupku selama ini," ucapnya.Tanpa menghiraukan keberadaan Surya dan Bagas yang tertegun dengan semua ucapan perempuan itu, dia melangkahkan kaki menuju kamar Fardan. "Aku akan membawa anak itu pergi," katanya.
Happy Reading*****Bagas dan semua orang yang ada di ruang tamu menoleh pada lelaki tak diundang yang kini berdiri di pintu rumah tersebut. "Tama?" kata Bagas dan Surya bersamaan."Hai, Gas," sapa lelaki berbadan tegap dengan tinggi sekitar 175 cm. "Selamat malam, Om, Tante," lanjutnya menyapa kedua orang tua Bagas. Tama melangkahkan kakinya mendekati mereka semua walau sang pemilik rumah belum mempersilakan. Dia berdiri tepat di samping Elvina yang perkataannya sengaja dipotong karena jelas mengandung kebohongan."Ada perlu apa kamu ke rumahku, Tam?" tanya Bagas. Tama melirik perempuan yang beberapa waktu lalu masih menghangatkan ranjangnya, tetapi kini sudah berbalik arah mendekati Bagas. "Kedatanganku ke sini, jelas berkaitan dengan dia," ucapnya pada Bagas."Apa hubunganmu dengan dia, Tam?" Bukan Bagas yang bertanya, tetapi Surya. "Dia salah satu wanitaku, Om. Dan, sekarang, sepertinya dia ingin merangkak naik ke ranjang Bagas. Ingat, El. Nggak semudah itu kamu bisa mendekati
Happy Reading*****"Pa, ada apa kok ribut sekali?" tanya Anjani. Di samping perempuan paruh baya itu sudah ada Fardan yang menatap bingung dua lelaki yang ada di hadapannya."Eyang, apakah yang dikatakan Papa itu benar?" tanya si kecil dengan wajah sedih. Surya menatap semua orang bergantian, mengembuskan napas panjang. Berat mengatakan sebuah kebenaran yang selama ini sudah dia tutup rapat-rapat. Kehadiran Fardan sudah banyak membawa perubahan dalam hidupnya yang saat itu hampir berada di jurang kehancuran. Lelaki yang sudah memiliki kerutan di wajahnya itu kembali mengembuskan napas panjang. "Sudah saatnya Papa harus menceritakan kebenaran yang selama sebelas tahun terpendam rapat," ucap Surya. Dia kembali menatap ke arah Elvina. "Mungkin, perempuan yang kamu nodai malam itu benar Elvina, tetapi dia bukan perempuan yang melahirkan Fardan. Sejujurnya, Fardan memang bukan anak kandungmu, Gas.""Nggak mungkin," kata Anjani keras."Eyang pasti bohong," teriak Fardan."Pa, tidak usah