Happy Reading
***** "Saya, nggak bermaksud," ucap Mutia terbata-bata. Gemas, Bagaskara langsung melumat bibir perempuan tersebut penuh gairah. Mutia terbawa arus, dia mulai mengikuti apa yang pengusaha muda itu lakukan hingga napasnya mulai menipis. Memberi kode dengan menepuk-nepuk dada Bagas. Lelaki yang terkenal playboy itu, terpaksa melepas pagutannya. Bukannya marah karena Mutia berusaha menyudahi ciuman panas mereka, Bagas malah menarik selimut hingga menutupi tubuh keduanya. Lalu, lelaki itu memeluk Mutia erat layaknya guling. "Tidur, yuk. Aku benar-benar lelah hari ini," ucap Bagas membuat Mutia membulatkan mata, tidak bisa berkata-kata lagi saking syok mendengar kalimat tersebut. Mutia cuma bisa diam ketika Bagas menarik selimut menutupi sebagian tubuh mereka. Lelaki itu bahkan memeluknya dengan erat, salah satu kakinya menyilang di atas tubuh si perempuan. Sebentar saja, napas teratur sang pengusaha muda sudah terdengar. "Gila memang orang ini. Di saat bersamaan dia membuatku takut dan merasa terlindungi." Tubuh yang terasa lelah menyebabkan Mutia berusaha memejamkan mata setelah melihat jam pada ponselnya. Entah berapa jam mereka tidur sambil berpelukan. Suara alarm ponsel, membangunkan Mutia. Perempuan itu segera mematikan alarm tersebut karena takut mengganggu tidur Bagas. Gegas perempuan itu turun dari pembaringan, menuju kamar mandi. "Sepertinya, aku harus cepat-cepat pulang ke rumah. Nggak mungkin berangkat ke sekolah menggunakan baju kemarin," gumam Mutia ketika dia keluar kamar mandi. Sementara itu, Bagas masih menutup mata. Sama sekali tidak terganggu dengan kegiatan Mutia yang menghidupkan hair dryer untuk mengeringkan rambutnya. Melirik arlojinya, perempuan itu berpikir akan membuatkan sarapan untuknya dan Bagas. Walau terkenal kaya dan putra tunggal orang nomor satu di kota mereka, nyatanya lelaki tersebut tinggal di rumah yang terbilang sederhana. Mutia dengan mudah menemukan dapur dan segala macam peralatan memasak. Ketika membuka lemari pendingin, dia juga menemukan beberapa bahan makanan yang bisa diolah menjadi menu sarapan mereka. Di tengah-tengah kesibukannya memasak, suara bel pintu rumah Bagas terdengar. Tubuh Mutia menegang. Antara ingin membuka pintu untuk melihat siapa yang datang, tetapi sekaligus takut jika sang pemilik rumah akan marah karena kelancangannya tadi. Pada akhirnya, Mutia memutuskan untuk membiarkan orang yang memencet bel tersebut. Toh, jika tidak ada respon dari dalam, si tamu pasti akan pergi dengan sendirinya. Namun, semua itu tidak terjadi. Beberapa menit setelah bel tersebut tidak terdengar lagi, suara seorang lelaki malah menyapanya. "Siapa kamu?" tanya lelaki dengan pakaian resmi beserta jas berwarna hitam. Hampir saja Mutia menjatuhkan panci berisi sayur sop yang berhasil dimasaknya. "Saya ...," ucapnya ragu akan menjelaskan apa pada lelaki tersebut. Menelisik setiap inci bagian tubuh Mutia, lelaki itu memicingkan mata. "Di mana Bagaskara?" tanyanya sambil menggelengkan kepala seperti mengejek tampilan perempuan di depannya. "Pak Bagas ada di kamarnya?" "Di kamar?" tanya lelaki itu dengan wajah terkejut dan tatapan tak percaya. "Iya di kamar. Beliau masih tidur ketika saya melihatnya tadi," jelas Mutia. "Nggak mungkin. Pantang baginya tidur di pagi hari." Si lelaki langsung berbalik arah, meninggalkan Mutia yang terdiam mematung. "Memangnya kenapa kalau tidur di pagi hari. Mungkin Pak Bagas benar-benar kecapean seperti yang dikatakannya semalam. Makanya, dia masih tidur sekarang," gumam Mutia sambil melanjutkan sisa masakannya agar bisa dihidangkan sebelum dia meninggalkan rumah tersebut. Selesai dengan segala hidangan untuk sarapannya, Mutia berniat memanggil Bagas. Namun, langkahnya terhenti ketika melihat sang pemilik rumah sudah berada di anak tangga paling bawah. "Pak, saya sudah membuatkan sarapan untuk Anda. Jika berkenan silakan dimakan. Saya pulang sekarang karena ada tugas mengajar jam delapan," terang Mutia yang masih mengenakan kemeja milik Bagas. "Kita sarapan bareng. Aku yang akan mengantarmu ke sekolah nanti. Lagian baju ganti yang aku pesan untukmu belum diantar sama anak-anak. Apa kamu akan memakai pakaian semalam," ucap Bagas tegas seperti mode sebelumnya. Sangat berbeda dengan sikapnya semalam yang ingin tidur karena sudah mengantuk. "Tapi, Pak," protes Mutia. "Aku tidak menerima bantahan, Mutia," sahut Bagas keras. Mutia langsung menundukkan kepala, lalu mengikuti langkah sang pemilik rumah menuju meja makan. Lelaki yang sejak tadi berada di samping Bagas cuma mendengkus melihat tingkah keduanya. Di meja makan, kedua lelaki itu membulatkan mata dengan sempurna ketika melihat hidangan yang tersaji di atas meja. Sayur sop, ayam goreng dan perkedel kentang tampak menggiurkan bagi mereka. "Ini kamu yang masak semuanya?" tanya lelaki yang tidak diketahui siapa oleh Mutia. "Iya," jawab Mutia singkat. Bagas duduk di kursi dengan senyum yang tidak bisa diartikan oleh Mutia. "Pak Bagas mau makan pake lauk apa?" tanya Mutia setelah dia menaruh secentong nasi ke piring lelaki yang semalam menyelamatkannya. "Aku mau perkedel kentang itu saja," jawab Bagas, lalu melirik sang perempuan dengan senyum. "Tumben kamu sarapan, Gas?" tanya lelaki pemilik nama Arham. "Tia, kalau aku mau lauk ayam goreng sama sambel kecap aja." Arham menyodorkan piring kosong ke arah Mutia. "Jangan layani dia," cegah Bagas. Ada kemarahan dari sorot matanya. "Tapi, Pak," jawab Mutia. "Aku tidak suka dibantah!" bentak Bagas membuat Mutia mengabaikan permintaan Arham. "Kamu punya dua tangan yang bisa digunakan untuk mengambil makananmu sendiri." Bagas mendelik pada asisten sekaligus sepupunya itu. "Dih, gitu saja marah. Biasanya juga kamu seneng banget berbagi. Kenapa sama yang ini agak lain," sahut Arham sambil melirik Mutia. "Diam atau kamu tidak usah sarapan di rumahku," bentak Bagas dengan tatapan mematikan. Mutia cuma bisa diam sambil mengunyah makanannya. "Dasar kejam!" Arham malas melanjutkan perdebatannya dengan Bagas, dia lebih tertarik menikmati makanan di hadapannya yang sejak tadi begitu menggugah seleranya. Beberapa menit menikmati sarapannya, suara ponsel Bagas berdering. Lelaki itu segera mengangkat panggilan dari benda pipih tersebut. "Masuk saja. Saya ada di meja makan," kata Bagas dan langsung memutus panggilannya. Tak butuh waktu lama, seorang perempuan datang dengan membawa paper bag. "Pak, ini pesanan yang diminta tadi," katanya sambil menyerahkan benda yang dia pegang. "Kasih ke dia." Bagas menunjuk Mutia dengan tatapannya agar si perempuan tersebut menyerahkan benda di tangannya. "Tugasmu sudah selesai kamu langsung ke kantor saja," ucap sang pemilik rumah dengan suara tak terbantahkan. Mutia hampir tersedak ketika melihat tingkah kejam Bagas dengan mata kepala sendiri. Sungguh, rumor tentang kesadisan lelaki itu, semuanya benar. "Kalau makan hati-hati," peringat Bagas sambil menyodorkan gelas berisi air putih miliknya yang sudah sempat diminum tadi. Ragu, Mutia mengambil gelas di tangan Bagas karena tidak ingin membuat lelaki itu marah. "Terima kasih, Pak," ucapnya pada sang penolong. "Sama-sama," balas Bagas. Tak lupa dia mendaratkan tangannya di atas kepala Mutia sambil mengusapnya lembut. "Mataku nggak sedang kelilipan, kan, hari ini? Matahari juga nggak terbit dari barat, kan?" tanya Arham. "Diam!" bentak Bagas sambil menggebrak meja.Happy Reading***** Mutia bersiap menutup pintu rumahnya lagi ketika melihat wajah Bagas. Namun, gerakan lelaki itu jauh lebih cepat untuk mencegah niatan si perempuan. "Sayang, Mas mau ngomong penting," ucap Bagas. Mutia menatap lelaki di depannya dengan malas. "Nggak ada yang perlu kita omongin lagi. Pergi sana," usir si ibu guru. Dia kembali akan menutup pintu, tetapi tangannya Bagas jauh lebih cepat menarik pinggang perempuan itu sehingga bibir keduanya menempel satu sama lain.Bagas malah dengan sengaja melumatnya sebentar membuat Mutia meronta-ronta dan saat itulah, si kecil Fardan memanggil keduanya."Mama sama Papa ngapain, sih? Kalau mau mesra-mesraan di dalam saja, deh. Malu kalau di luar gitu. Dilihat tetangga juga nggak enak," ucap si kecil. Mutia tak menjawab, melangkah pergi meninggalkan keduanya. Setelah jaraknya cukup jauh, perempuan itu menoleh dan berkata. "Suruh dia pergi, Sayang. Kita harus segera berangkat sekolah," suruhnya pada si kecil.Fardan menyilangkan
Happy Reading*****Mutia benar-benar menghentikan langkahnya. Dia berbalik menatap Surya dan Bagas bergantian. Sementara Bagas, dia terpaku. Ucapan Surya membuatnya mematung. "Jadi, Papa sudah mengetahui semua ini?" tanya Bagas. Sempat tak percaya jika orang yang membelanya saat ini adalah Surya.Surya menoleh pada putra dan istri sahnya. "Maaf, jika selama ini Papa terkesan selalu membela Nazar," ucapnya.Mutia mendengkus. "Jadi, beginilah kelakuan semua keluarga Anda. Salah satu anggota keluarga melakukan tindak kriminal, tapi Anda malah melindunginya. Maaf, jika saya semakin yakin untuk membawa Fardan pergi dari sini." Perempuan yang berprofesi sebagai guru itu kembali melanjutkan langkahnya sambil menggandeng tangan si kecil yang sejak tadi sama sekali belum membuka suara."Tia, tunggu!" teriak Bagas. Akan tetapi, orang yang dia panggil makin mempercepat langkahnya."Gas, biarkan saja. Beri kesempatan pada Mutia untuk bersama Fardan dulu," nasihat Anjani yang ikut mengejar langk
Happy Reading*****"Nggak mungkin, ini sangat nggak mungkin," ucap Mutia berkali-kali, air matanya sudah menganak sungai di pipi."Sayang, kenapa?" Bagas mengguncang kedua bahu perempuan yang sudah menguasai seluruh hatinya itu.Surya langsung merebut selembar kertas di tangan Mutia. Lalu, membaca isi yang tertera di sana. Sebagaimana reaksi si ibu guru, lelaki paruh baya itupun cukup terkejut ketika membacanya."Pa, ada apa?" tanya Anjani. Perempuan itu merebut kertas di tangan suaminya. "Lho," ucapnya tak percaya."Itulah kenyataannya," kata Fardan, "semula, aku juga berharap bahwa Mama adalah orang yang melahirkanku, tapi kenyataannya nggak sesuai harapan. Padahal dari foto ini, aku sudah berharap banyak."Si kecil menyerahkan dua lembar foto berbeda tempat, tetapi pakaian yang digunakan si bayi sama.Bagas menyambar foto yang disodorkan si kecil. Lalu, dia mencermati kedua foto tersebut. "Bukankah ini fotomu ketika Mama baru pertama kali melihatmu di rumah sakitnya Satya waktu it
Happy Reading*****"Mana mungkin dia?" teriak Elvina setelah cengkeraman tangan kekasihnya terlepas dari leher.Tama menyipitkan mata, dia menatap lurus ke arah perempuan cantik dan anggun yang kini berjalan mendekati mereka semua. Dia seperti mengenal perempuan itu, tetapi tidak ingat di mana. "Sayang, apa bener yang kamu katakan itu?" tanya Bagas. Dia maju, berusaha menggenggam tangan si perempuan. Namun, perempuan itu menepisnya dengan cepat. "Benar atau nggaknya, tanyakan pada hatimu sendiri. Aku sudah mengingat semuanya." Perempuan itu menatap ke arah Surya. "Saya sudah mengingat semuanya bahkan ketika Anda mengambil anak yang telah saya lahirkan di rumah sakit saat itu. Saya telah salah menilai kebaikan kalian semua. Ternyata, kalianlah orang yang telah menghancurkan hidupku selama ini," ucapnya.Tanpa menghiraukan keberadaan Surya dan Bagas yang tertegun dengan semua ucapan perempuan itu, dia melangkahkan kaki menuju kamar Fardan. "Aku akan membawa anak itu pergi," katanya.
Happy Reading*****Bagas dan semua orang yang ada di ruang tamu menoleh pada lelaki tak diundang yang kini berdiri di pintu rumah tersebut. "Tama?" kata Bagas dan Surya bersamaan."Hai, Gas," sapa lelaki berbadan tegap dengan tinggi sekitar 175 cm. "Selamat malam, Om, Tante," lanjutnya menyapa kedua orang tua Bagas. Tama melangkahkan kakinya mendekati mereka semua walau sang pemilik rumah belum mempersilakan. Dia berdiri tepat di samping Elvina yang perkataannya sengaja dipotong karena jelas mengandung kebohongan."Ada perlu apa kamu ke rumahku, Tam?" tanya Bagas. Tama melirik perempuan yang beberapa waktu lalu masih menghangatkan ranjangnya, tetapi kini sudah berbalik arah mendekati Bagas. "Kedatanganku ke sini, jelas berkaitan dengan dia," ucapnya pada Bagas."Apa hubunganmu dengan dia, Tam?" Bukan Bagas yang bertanya, tetapi Surya. "Dia salah satu wanitaku, Om. Dan, sekarang, sepertinya dia ingin merangkak naik ke ranjang Bagas. Ingat, El. Nggak semudah itu kamu bisa mendekati
Happy Reading*****"Pa, ada apa kok ribut sekali?" tanya Anjani. Di samping perempuan paruh baya itu sudah ada Fardan yang menatap bingung dua lelaki yang ada di hadapannya."Eyang, apakah yang dikatakan Papa itu benar?" tanya si kecil dengan wajah sedih. Surya menatap semua orang bergantian, mengembuskan napas panjang. Berat mengatakan sebuah kebenaran yang selama ini sudah dia tutup rapat-rapat. Kehadiran Fardan sudah banyak membawa perubahan dalam hidupnya yang saat itu hampir berada di jurang kehancuran. Lelaki yang sudah memiliki kerutan di wajahnya itu kembali mengembuskan napas panjang. "Sudah saatnya Papa harus menceritakan kebenaran yang selama sebelas tahun terpendam rapat," ucap Surya. Dia kembali menatap ke arah Elvina. "Mungkin, perempuan yang kamu nodai malam itu benar Elvina, tetapi dia bukan perempuan yang melahirkan Fardan. Sejujurnya, Fardan memang bukan anak kandungmu, Gas.""Nggak mungkin," kata Anjani keras."Eyang pasti bohong," teriak Fardan."Pa, tidak usah