Share

Bab 5

Part 5

Mencoba kuat di tengah segala cobaan hidup. Karena tidak ada cara lain selain itu. Sadar kalau orang miskin memang harus selalu menerima hinaan apapun. Menjadi anak orang miskin selalu salah ....

*Dinis*

****

Bu guru menghukum kami berdua di luar kelas untuk menyapu. Sepanjang bersama, Dinda selalu mengatakan kata-kata yang sangat menyakitkan dan kasar. Tak jarang menghina ibuku.

“Ibu kamu tuh kalau gak menji-lat cengkeh-cengkeh bapakku gak bisa makan. Makanya jangan berlagak sok pintar di kelas! Biar apa coba? Biar disayang ibu guru? Gara-gara kamu hanya diam, aku jadi kena batunya ikut dihukum. Seumur-umur, aku belum pernah memegang sapu. Karena kamu aku jadi begini,” kata Dinda sambil melempar-lempar sampah yang disapu ke arahku.

Aku diam tidak menanggapi. Memilih menyapu biar cepat selesai karena hari ini, mukena baruku akan datang.

“Aku itu beda sama kamu. Kamu itu anak orang miskin yang kalau gak mengemis pekerjaan sama bapak dan ibuku tidak akan bisa makan. Kamu kenapa sih, Dinis, tadi tidak bilang saja kamu yang salah? Biar bu guru tidak menghukum aku? Apa aku harus kasih upah kamu makan makanan sisa di rumahku nanti malam?”

Dinda, kenapa begitu kasar dia bicara? Apa orang tuanya tidak pernah memberikan nasehat?

“Ingat ya, Dinis! Kamu itu meskipun disayang bu guru, kamu itu hanya anak orang miskin yang gak akan bisa makan kalau gak menji-lat buah cengkeh orang tuaku!”

Panas telinga, panas hati, tetapi berusaha kutahan. Aku tidak ingin berurusan lagi sama Dinda.

“Dinis, masuk kelas! Biar Dinda yang selesaikan pekerjaan ini. Dan kamu Dinda, jangan bu guru pikir percaya sama kamu, ya! Bu guru yakin, Dinis tidak seperti yang kamu katakan. Bicaranya juga agak dijaga! Jangan sekasar itu!” bentak bu guru yang ternyata berdiri di belakang kami.

Aku segera masuk kelas tanpa berucap apapun. Dinis baru kembali saat jam pulang hendak tiba. Dia menatap marah padaku yang sedang mengerjakan tugas dari bu guru. Entah hukuman apa lagi yang telah ia terima sehingga begitu benci saat kami saling memandang. Setelah punya mukena, ibu tidak akan kuizinkan untuk bekerja lagi di rumah Juragan Ratno. Kata-kata yang diucapkan Dinda sangat membekas di hati ini. Ibu bekerja di sana, bersama orang lain, tetapi Dinda mengatakan dengan bahasa men-ji-la-ti, seolah kami datang untuk mengemis.

“Eh, tahu tidak, semalam ya, ada lho anak kecil yang dibawa ibunya ngemis pekerjaan di rumahku, terus pas masuk rumah dia minta roti yang ada di meja,” sindir Dinis ketika kami semua sudah hendak pulang. Bu guru tidak ada di kelas dan berpesan yang sudah selesai mengerjakan langsung pulang saja.

“Minta roti di rumah kamu?”

“Iya, minta roti. Dijilati tangannya sampai bersih, soalnya rotinya ada krimnya. Kasihan ya, tidak pernah dikasih makan enak.” Aku tahu, Dinda menyindirku karena semalam, habis Hasbi minta puph, dia membawa sepotong roti.

Aku berlari meninggalkan kelas. Tidak ingin lagi mendengar ocehan Dinda. Tak kusangka, bu guru menungguku di samping kantor.

“Dinis, jangan dipikirkan apa yang Dinda bilang tadi ya? Kamu anak pintar dan jujur. Bu guru doakan semoga kamu kelak bisa sukses. Belajar yang rajin ya, Dinis,” ucap bu guru.

Aku mengangguk dan mencium tangan bu guru, lalu pulang dan bersiap menyambut mukena baru dari pasar yang dibelikan Bude Darmi.

Flashback selesai!

***

Subuh telah tiba. Tangis suara Hasbi membuatku bangun dan membuatkan minum manis untuknya.

“Mbak, Ibu, Mbak. Buk, Mbak,” rengek Hasbi sambil menangis.

Aku sigap menggendongnya. “Ibu sudah berangkat ke sawah. Nanti kita jajan, ya!” Aku menghibur Hasbi. Berani mengajaknya jajan karena melihat uang yang tergeletak di atas meja makan. Sepertinya uang kembalian dari Bude Darmi.

Suara pintu diketuk keras. Sambil menggendong Hasbi, aku mengintip dari balik jendela, siapa tamu yang datang.

“Bude ....”

“Adikmu menangis tidak semalam? Kamu sih disuruh tidur di sana tidak mau.”

“Tidak nangis, Bude. Aku gak bisa tidur kalau tidak di kamar sendiri,” jawabku bohong.

“Nanti sarapan kesana ya! Gak ada yang antar nasi buat kamu kesini,” kata Bude Darmi.

“Aku bisa masak sendiri, Bude.” Tidak ingin bertemu dengan Mbak Fariha, aku menolak.

“Ya sudah. Nanti bude kasih lauk, bude hitung kalau ibumu sudah keluar dari penjara. Kalau tidak keluar ya, ya lihat saja nanti.” Bude darmi lalu pergi.

Pukul enam lewat, Hasbi menangis keras meminta makan. Aku belum sempat menanak nasi dan punya inisiatif membeli mie instan di warung Bude Darmi.

Kugendong Hasbi dengan kain jarik yang lusuh. Setengah berlari menuju rumah Bude Darmi dan langsung disambut Mbak Fariha dengan wajah masam.

“Mau beli apa?” bentak Mbak Fariha sewot seolah aku mau mengemis.

“Mau beli mie instan, Mbak,” jawabku terengah.

“Beli apa minta?”

“Beli, Mbak, aku udah bawa uang.”

Mbak Fariha mengambilkan benda yang kumaksud.

“Mbak Riha, nanti jadi ‘kan kita cuci bareng ke sungai?” Nazma yang sudah memakai seragam sekolah datang dan langsung berucap. Ia adalah kakak kelas satu tingkat yang menjadi teman kesayangan Mbak Fariha.

“Jadi. Nanti ajak anak-anak yang lain, ya! Teman-teman kamu, biar ramai,” jawab Mbak Fariha lalu menyebutkan satu per satu nama anak yang tinggal di komplek ini. Semuanya disebut, kecuali aku.

“Dinis, kamu tidak sekolah? Kamu kok gak ngaji gak sekolah sukanya bolos sih,” celetuk Nazma.

Seekor nyamuk hinggap di tangan menggigit sangat keras menimbulkan rasa gatal. Aku memukul dengan satu tangan yang lain berniat membunuh serangga yang sudah gemuk memakan darah. Tak kusangka, tanganku ternyata mengenai mie instan yang disodorkan Mbak Fariha. Sehingga barang tersebut jatuh ke tanah.

“Mata kamu kemana sih, hah? Ini jadinya jatuh.” Mbak Fariha membentak dengan sangat keras. Membuat nyeri hati ini. Aku tak pernah punya kesalahan padanya, tetapi ia selalu memperlakukan aku seperti madu.

Hampir menangis, tetapi sadar hendak mengadu pada siapa? Sementara di belakang tubuh ada seorang anak yang harus kulindungi.

Aku memungut mie yang jatuh. Susah payah berusaha bangkit karena badan Hasbi terasa berat. Namun ketika sudah bisa, mata ini langsung bertatapan dengan sorot kebencian dari Mbak Fariha yang seolah menyuruhku cepat pergi.

Allah, apa salahku sehingga aku begitu dibenci? Dan kenapa aku juga yang harus diuji sesulit ini.

Badanku berbalik cepat meninggalkan Mbak Fariha juga Nazma yang sudah langsung cekikikan menggunjing dan menertawakanku.

Iya, seperti itulah Mbak Fariha. Tidak ada rasa sungkan ataupun takut ketika mendzalimiku.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
bundaLin
sedihnya Dinis
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status