Part 4
Flashback.
Hari itu, aku memilih tidak sekolah karena tidak ingin menjadi bahan cemoohan gara-gara mukena robek saat mengaji. Ibu yang mau memulai bekerja bisa berangkat lebih pagi karena Hasbi ada yang menjaga. Entah kenapa, rasanya bahagia sekali, padahal belum dibelikan. Daerah kami terdapat banyak kebun cengkeh, sehingga saat musim panen tiba, warga yang tidak punya pun bisa merasakan berkah rezekinya. Terlebih harga cengkeh yang tengah melambung tinggi, turut berimbas juga pada upah kerja.
Kami biasanya hanya sebagai buruh mengambil cengkeh yang jatuh saja, karena jika memetik, maka malam harinya harus ke rumah juragan lagi untuk memisahkan antara buah dan gagangnya, dan itu memakan waktu lama. Akan tetapi, karena aku sering menangis, mungkin tidak ada jalan lain ibu selain mengambil pekerjaan ini.
Waktu Dzuhur, ibu pulang untuk sholat dan makan.
“Nanti malam, ibu harus ke rumah Juragan Ratno lagi. Kamu ngaji ya? Hasbi akan ibu bawa, terus kamu di rumah harus berani tidur sendiri dulu. Biasanya paling cepat jam setengah sebelas ibu baru pulang.” Sambil berucap demikian, ibu bersiap pergi.
“Aku akan membantu ibu. Percuma juga mengaji, mukenanya masih bolong.”
Ibu menatap dengan tatapan tidak suka. “Apapun itu, kamu harus mengaji!”
“Ibu belum pernah melihat bagaimana teman-teman membully aku? Ibu tahu tidak, kalau aku sering diam-diam menangis sambil tadarus? Ibu, aku hanya akan mengaji jika sudah dibelikan mukena. Lagipula, nanti malam aku jadi bisa bantuin ibu biar cepat selesai.”
Perdebatan kami berhenti karena ibu memilih pergi dan malam itu, aku benar-benar tidak berangkat mengaji. Memilih ikut ke rumah Juragan Ratno yang memerlukan waktu lebih dari sepuluh menit dengan berjalan kaki.
Sebuah rumah yang cukup megah di kampung kami. Memiliki garasi mobil yang luas sekaligus dijadikan tempat untuk para pekerjanya memisahkan buah cengkeh dari gagangnya. Aku sudah berkutat dengan tanaman yang digunakan sebagai bahan baku membuat rokok itu. Sementara Hasbi bermain dengan anak lain seusianya, yang ibunya juga melakukan pekerjaan yang sama.
Suasana sangat ramai. Terkadang terlempar candaan antara beberapa kaum lelaki dan kaum perempuan. Aku yang penasaran terkadang mendongakkan kepala dan melihat-lihat sekeliling. Dari pintu garasi yang menghubungkan dengan bagian inti rumah, bisa terlihat bagian ruang tengah. Pintu dengan lebar sekitar hampir dua meter itu membuat mata ini bisa dengan jelas melihat kursi indah di sana. Juragan Ratno memiliki tiga anak, yang kutahu adalah Dinda, anak perempuan yang satu kelas denganku, tetapi tidak mengaji di tempat yang sama. Kami tidak terlalu akrab, karena Dinda tentu saja tidak pernah bermain denganku yang cupu. Ia anak orang kaya yang dikelilingi banyak teman. Sementara aku? Hanya sering memandangnya kala tengah memegang banyak jajan saat istirahat.
Andai aku yang menjadi Dinda, tentu saja sangat senang.
Ketika sedang asyik terpana melihat indahnya kursi di rumah Juragan Ratno, tiba-tiba sosok Dinda keluar dari dalam rumah. Matanya beradu pandang denganku. Rasanya malu sekali. Aku lekas mengalihkan pandang pada tumpukan cengkeh.
“Alhamdulillah, hari ini ibu dapat empat puluh ribu. Kalau sehari lagi Ibu metik dari pagi, maka cukup buat beli mukena kamu dan ibu. Kita beli yang murah saja. Tapi kamu harus sekolah. Ibu jadi berangkat siang,” kata ibu saat kami berjalan pulang. Banyak yang pulang bersama, sehingga tidak merasa takut sekalipun waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh lebih.
“Besok Sabtu, Bu, biasanya guru-guru KKG, Hasbi biar aku bawa ke sekolah saja. Gak papa, cuma sebentar. Nanti pulang, kami main di rumah,” jawabku penuh semangat.
Keesokan paginya, aku membawa Hasbi ke sekolah. Saat masuk kelas, ia bermain bersama anak penjual jajan di depan sekolah. Hanya sampai jam sembilan, karena guru-guru memang ada kegiatan KKG. Sepanjang di dalam kelas, Dinda sering kudapati tengah memandangku dengan sorot mata tajam. Aku selalu memalingkan muka bila demikian. Tidak ada yang berani dengan Dinda, apalagi aku yang hanya anak buruh?
Sebelum pulang, pak guru memberikan kami pekerjaan rumah.
“Kerjakan punyaku, biar dapat nilai seratus! Kalau kamu tidak mau, ibu kamu tidak akan boleh bekerja sama bapakku!” Saat aku berkemas pulang, tiba-tiba Dinda sudah berdiri di depan meja.
Mendengar itu, hal yang paling kutakutkan adalah tidak bisa membeli mukena. Maka aku mengambil buku Dinda dan memasukkan ke dalam tas. “Nanti kamu ganti tulisannya ya! Biar pak guru tidak tahu,” jawabku gemetar.
Dinda langsung pergi.
Malam kedua membantu ibu, Hasbi menangis minta buang air besar. Dengan menahan malu, ibu masuk ke dalam dan meminta izin ke kamar mandi, sementara aku melanjutkan pekerjaan dengan diawasi Dinda yang sesekali keluar dari pintu besar.
Dinda mendekat, berdiri layaknya bos besar. “Sudah kamu kerjakan PR ku?” tanyanya.
“Sudah,” jawabku sambil terus memisahkan buah cengkeh dengan batangnya.
Tak lama, ibu kembali, membuat hatiku lega. Dinda minggir karena ibu sudah datang.
Senin pagi, aku berangkat sekolah dengan perasaan senang karena sedang dibelikan mukena sama Bude Darmi. Sebelum bu guru masuk kelas, Dinda sudah meminta bukunya.
Saat memeriksa pekerjaan rumah, bu guru menatapku dan Dinda secara bergantian. “Dinis, Dinda, maju ke depan!” perintahnya.
Aku maju perlahan dengan perasaan takut.
“Ini kenapa tulisan di buku Dinda, sama dengan tulisan kamu, Dinis?” tanya bu guru sambil melihat buku Dinda. “Bu guru sudah hafal tulisan kalian. Ini jelas beda, bukan tulisan Dinda.”
Aku menunduk. Takut dan bingung hendak menjawab apa.
“Dinis!” Aku mendongak dan melihat bu guru takut. “Jujurlah!”
“Bu guru, Dinis yang memaksaku. Katanya minta upah uang karena gak punya uang saku,” ucap Dinda.
Aku tidak berani membantah. Siapa yang berani pada Dinda? Biarlah bu guru akan menghukum, yang penting Dinda tidak akan memarahi.
“I-iya, Bu,” jawabku terbata.
“Dia kemarin maksa aku minta uang karena bawa adiknya ke sekolah, Bu. Ya sudah, daripada meminta gratis, lebih baik aku kasih dia kerjaan,” sahut Dinda.
Difitnah seperti itu rasanya sakit sekali.
TBC ....
Jika suka pada cerita ini, mohon beri komentar agar saya semangat melanjutkan.
Part 49Suasana kota Surabaya sangat ramai malam hari. Harun sudah berganti kostum memakai celana dan kaos yang berbeda, tetapi tetap terlihat menawan di mata Resmi.“Besok kamu pagi-pagi aku antar ke salon, ya? Aku akan mengajak kamu ke undangan pernikahan anak temanku. Kamu jangan kaget, karena tamu yang hadir memang dari kalangan atas.”“Memangnya teman Pak Harun yang punya hajat, bekerja sebagai apa?”“Dia kapolresta. Istrinya seorang dokter.”Resmi menunduk dan memainkan jari-jarinya. Merasa sangat rendah dan semakin penasaran dengan sosok Harun sebenarnya.“Dulu aku punya bisnis di bidang properti. Aku dan temanku membangun bisnis bersama. Usaha yang kami kelola di bidang pembangunan perumahan. Aku dan temanku membeli lahan milik warga yang tidak produktif, lalu kami memasarkannya. Jika ada yang berminat, baru kami membangun rumah sesuai model yang diinginkan orang itu. Sebelum ini, aku sudah sampai di Surabaya juga. Kalau di Surabaya, yang kami bangun rumah kontrakan, lalu menye
Part 48Resmi telah kembali pada rutinitas sebelumnya. Namun, ada yang berbeda, karena ia akan menjadi nyonya di rumah itu, maka sekarang urusan rumah juga menjadi tanggung jawabnya. Seperti menyediakan bahan makanan, membayar pembantu, listrik dan lain-lain. Di awal kepergian saja, Harun langsung memberikan uang nafkah padanya. Benar-benar Upik Abu yang berubah menjadi Cinderella.Dua minggu setelah kepergian Harun, Resmi akhirnya mendapatkan akta cerai yang dikirim melalui pos. Hatinya sangat lega dan bahagia. Ia pun langsung memberitahukan hal ini pada Normi.“Ya sudah, berarti sembilan puluh hari dari hari ini, kamu akan menikah dengan Harun. Tidak usah menghitung bulan dan hari baik. Karena semua hari itu baik untuk menikah. Nanti Ibu yang akan memberitahu Harun.” Normi sangat bahagia mendengar kabar ini. “Ah, lihat akta cerai kamu dulu. Kapan itu tanggalnya? Maksudnya tanggal kamu benar-benar sudah bercerai dari lelaki itu.”“Ini keluarnya sepuluh hari yang lalu, Bu,”“Berarti k
Part 47“Aku sudah merindukan kamarku,” kata Dinis sambil meregangkan kedua tangan di depan rumah.Resmi tersenyum melihat tingkah anaknya yang menganggap rumah majikannya sebagai rumah sendiri. Meskipun sudah ada kesepakatan hubungan dengan Harun, tak lantas membuat wanita itu percaya diri.“Bapak punya sesuatu yang spesial untuk kalian,” kata Harun membuat langkah Dinis berhenti.Gadis kecil itu berbalik dan menatap pria yang berdiri di samping pintu mobil. “Apa?” tanyanya.“Berhenti dulu,” kata Harun. “Tutup mata kamu, sini Bapak bantu,” lanjutnya.Satu telapak tangan saja sudah bisa menutup wajah mungil Dinis. Hasbi yang tertidur lelap diangkat oleh sang ibu.“Apa sih, aku penasaran,” seru Dinis.Resmi yang tidak tahu apa-apa memilih diam dan mengikuti keduanya dari belakang. Ia kaget saat Harun membawa anak sulungnya menuju kamar utama di rumah itu. ruangan pribadi yang ia pikir itu dipersiapkan untuk anak Harun yang sudah lama meninggalkan rumah. Sesekali ia masuk hanya untuk me
Part 46Harun seakan memiliki semangat yang seribu kali lipat untuk melanjutkan hidup. Setelah kepulangan Normi dengan membawa kabar buruk, lelaki itu mulai pergi menemui kolega yang telah lama tidak dijumpainya. Ia mencari peluang bisnis baru yang sedang ramai saat ini.Lelaki itu juga mulai menata rumah. Dua kamar yang kosong dicat kembali serta dibelikan kasur dan lemari yang baru. Warna pink dipilihnya untuk satu kamar yang paling besar ukurannya dibandingkan kamar lain.“Gordennya juga harus warna pink, Harun, Itu pantas untuk kamar cewek,” sahut Normi saat melihat dalam kamar. “Kalau kamar Hasbi, harus warna biru, yang teduh.“Ah, iya, Bu. Kamar ini juga harus ada AC, biar Dinis nyaman saat tidur,” sambung Harun.“Tapi sepertinya mereka akan lama di desa,” ucap Normi.“Yang penting mereka kembali ke rumah ini, Bu. Ah iya, Bu, aku besok mau pergi ke Surabaya. Mau menemui teman. Rencananya aku akan membuka dealer motor bekas untuk sementara ini. Sambil melihat peluang bisnis yang
Part 45“Siapa yang datang, Resmi?” Normi bertanya sambil mengusap mata, pandangannya sering mengabur jika malam hari.“Aku suaminya Resmi. Anda siapa di rumahku?” Harno balik bertanya.“Apa kamu bilang? Ini rumahmu? Ini rumahku,” bentak Resmi.“Oh, jadi kamu suami tidak bertanggung jawab yang membelikan mukena anak saja tidak bisa? Sampai istri harus masuk penjara, memangnya kamu kemana? Kenapa sekarang pulang?” Normi yang geram langsung memberondong Harno dengan pertanyaan menyudutkan.“Jaga ucapan, Anda! Jangan macam-macam di rumah orang. Resmi, siapa wanita tua ini?”“Harno, ayo ikut aku,” ajak Resmi sambil menarik lengan pria yang masih menjadi suaminya sebelum terjadi perdebatan panjang. “Bu, jaga anak-anak di dalam!”“Bu? Berlagak sekali kamu, resmi panggil orang ini Bu?”“Ikuti aku, atau kami akan ramai-ramai memukul kamu, Harno?” ancam Resmi.Harno mengekor, mengikuti langkah Resmi menuju samping rumah.“Mau apa kamu kesini?” tanya Resmi lagi.“Jelas mau pulang lah, aku kange
bu dan anak itu pulang dengan perasaan yang kecewa.“Uang bapakmu sudah habis untuk pesta pernikahan Imah, Harno. Untuk biaya tujuh bulanan dan juga lahiran, kamu coba cari. Belum lagi Siti yang terancam jadi janda. Harno, apa kamu tidak bisa berbuat apapun?”Semakin hari, Harno semakin dibuat tidak nyaman dengan segala permasalahan yang terjadi. Ia memilih pergi beberapa hari, menginap di berbagai rumah orang di kecamatan Resmi. Hingga akhirnya, ia mendengar kabar jika Resmi sudah mengajukan gugatan cerai.“Jadi dia sudah pulang?” tanya Harno.“Iya, Resmi sudah berubah menjadi cantik sekarang.”Harno langsung berdiri dan meminta salah satu orang yang membawa motor untuk mengantar.“Mau kemana kamu, Harno?”“Pulang ...,” teriaknya dari atas motor yang sudah berjalan.‘Gak bisa, Resmi tidak boleh meminta cerai dari aku disaat keadaanku seperti ini. Murni sudah pergi menjauh dan aku tidak punya uang untuk menemui. Imah sedang hamil dan butuh biaya banyak. Mbak Siti juga terancam jadi j