Share

Bab 3

"Kok tumben Mas, bekalnya habis terus," ucap Diana heran sambil membawa sebuah rantang susun ke dapur.

"Iya, Mas makannya bareng teman-teman," jawabku kaku. Beberapa hari ini aku sudah berbohong pada Diana. Dia tidak tahu kalau akhir-akhir ini aku membantu Milla dan anak-anaknya.

Tidak mungkin bagiku untuk memberitahukannya. Karena ini pasti akan melukai hati dan perasaannya.

"Oh iya, Mas boleh minta bekal lebih tidak?" pintaku padanya yang langsung menghentikan aktivitas yang dilakukannya. Karena biasanya bekal yang kubawa akan ada sisa. Karena beberapa hari ini, aku memberikan bekalnya kepada anak-anak Milla. Mereka terlihat kasihan.

"Ya, sudah," jawabnya singkat.

Kupikir Diana akan bertanya lebih lanjut. Ternyata tidak. Baguslah, aku jadi bisa lebih leluasa. Dia memang istri yang baik. Tapi sayangnya aku belum mencintainya.

"Fahri katanya kangen sama kamu, Mas."

"Sama aku juga. Beberapa hari ini di rumah sakit banyak banget pasien," ucapku berbohong.

Tapi Diana sama sekali tidak merespon perkataanku.

"Bahkan hari ini kita pergi ke rumah sakit, Mas," ucapnya yang membuatku terpaku.

Oh tidak. Bagaimana kalau pihak rumah sakit mengatakan aku meminta cuti?

"Fahri ingin bertemu denganmu. Katanya sangat rindu karena sudah beberapa hari tidak pernah bertemu denganmu," lanjutnya.

Aku masih tidak bicara. Rasa takut salah bicara membuatku diam. Yah, aku lupa kalau aku belum bertemu dengan anak-anak beberapa hari ini.

"Kenapa tidak memberikan kabar kalau anak-anak akan kerumah sakit?" Aku memilih untuk mendekat ke arah Diana yang sedang mencuci beberapa piring bekas makan malam dan memeluk pinggang rampingnya.

"Aku takut menganggu pekerjaanmu, Mas. Alhamdulillah mereka tidak rewel. Kupikir Mas sedang berada diluar sebentar, jadi aku menyetujui ajakan Fahri untuk menunggumu di rumah sakit," jelasnya yang membuatku semakin merasa bersalah. Bagaimana bisa aku begitu tega membiarkan anak-anakku menunggu.

"Maafkan aku, Ana." lirihku pelan. Hanya kata maaf yang mampu aku ucapkan. Syukurlah kalau mereka tidak bertanya kepada orang-orang di rumah sakit. Jika saja terjadi, mungkin aku akan semakin merasa bersalah karena telah berbohong.

"Tidak apa, Mas. Aku dan anak-anak memaklumi. Mas ke atas saja dulu. Aku akan merapikan meja. Sebentar lagi selesai." Diana melepaskan pelukanku dan berjalan ke arah meja.

Tanpa berkata lagi, aku langsung ke atas dan menuju kamar anak-anak.

"Maafkan Papa, Mas, Dek."

Kupandangi wajah Fahri dan Faiz yang tertidur. Tidak terasa mereka yang dulu masih terlihat mungil, kini sudah mulai besar. Mereka memang anak-anak yang pintar. Ada rasa rindu dalam hatiku ketika beberapa hari ini tidak melihatnya. Tapi semua itu sirna ketika mengingat bagaimana anak-anak Milla berjualan di pinggir jalan raya. Sangat berbahaya.

"Kalian akan faham dengan apa yang Papa lakukan. Papa berharap kalian tidak akan membenci Papa jika nanti sudah dewasa," lirihku pelan. Meski aku sadar kalau yang aku ucapkan adalah sia-sia. Tapi tetap saja bibir ini ingin mengatakannya.

Lama kupandangi mereka sampai memutuskan untuk beristirahat di kamar. Sebelum pergi, aku memutuskan untuk menemui Diana terlebih dahulu.

Langkahku terhenti ketika melihat Diana dari bawah sedang menggunakan tisu ke matanya.

Apa dia habis menangis? Kuurungkan niatku untuk menghampirinya. Aku lebih memilih untuk ke kamar dan menunggunya.

Tiga puluh menit sudah berlalu. Namun Diana tidak kunjung datang. Sampai aku memutuskan untuk kembali turun ke bawah yang ternyata sudah gelap. Kuputar langkah ke kamar anak-anak.

Aku membuka pintu dengan pelan, takut akan membangunkan mereka. Pemandangan di depanku benar-benar membuatku terkejut. Diana telah tertidur di kamar anak-anak dengan wajah sembab.

Sepertinya dia memang habis menangis.

Lama aku terduduk menatap wajahnya sampai mataku terasa berat dan memilih pergi ke kamar untuk istirahat.

*

"Mas, bangun, sudah pagi. Nanti kesiangan." Aku mengerjapkan mata ketika Diana membangunkanku.

"Hari ini Mas akan berangkat siang," ucapku sambil merenggangkan kedua tangan. Diana terdiam. Mungkin tidak biasanya aku berangkat siang.

"Aku rindu anak-anak. Aku ingin bertemu mereka lebih dulu," lanjutku dan Diana yang meng'oh'kan.

Apa jawabanku tidak tepat? Bukankah tidak ada yang salah jika aku ingin bertemu anak-anak?!

Melihat Diana yang tidak ada reaksi membuatku merasa sedikit kesal, "Ana!" panggilku padanya.

"Ya."

"Apa kau tidak suka aku berangkat siang?"

"Aku tidak masalah, Mas. Semuanya tergantung padamu," ucapnya singkat dan datar. Padahal sebelumnya dia tidak pernah seperti ini. Dia sangat bawel bahkan cerewet pada hal kecil sekalipun. Tapi sekarang...

"Aku akan melihat anak-anak." Diana keluar dari kamar tanpa senyuman sedikit pun.

Aku merasa Diana berubah.

Segera aku bergegas untuk membersihkan diri dan memakai pakaian lengkap untuk kerja. Tanpa disiapkan Diana dan berjalan penuh semangat untuk menyapa anak-anak yang sedang sarapan.

"Pagi jagoan Papa!" Aku mencium mereka bergantian dan memeluknya.

"Mas Fahri sekarang sudah tidak kangen Papa," ucap Fahri cemberut.

"Lho, kenapa? Mama bilang Mas Fahri kangen sama Papa, sampai ke rumah sakit segala." Jujur aku kaget mendengar perkataannya. Tapi mungkin saja dia salah bicara atau hanya sekedar bercanda.

"Mas Fahri dan Abang ke sana kemarin," ucap Faiz cemberut juga.

Ah, aku jadi merasa bersalah sama anak-anak.

"Iya. Tapi para suster bilang Papa cuti." ucap Fahri yang membuatku terkejut. Bukankah semalam Diana mengatakan hanya menunggu, tidak bertanya orang-orang rumah sakit?

”Bahkan orang-orang di sana mengatakan kalau Mas Fahri dan Abang Faiz harus bisa tidak bertemu Papa berapa lama pun." lanjutnya yang membuatku semakin diam. Takut salah bicara. Tapi Diana akan semakin curiga jika aku anus diam.

"Siapa yang berani bilang begitu?" tanyaku pada kedua putraku. Kutatap Diana, tapi dia memalingkan wajahnya.

"Para suster dan beberapa yang mau berobat. Katanya Mas Fahri akan punya adik dan kakak tiri. Bahkan ada juga yang mengatakan Mama pelakor. Mas tanya Mama pelakor itu apa, tapi Mama hanya diam. Ada seorang Tante yang mengatakan kalau pelakor itu artinya perebut dan itu bukan hal yang baik. Jadi Mas marah. Karena Mama orang baik. Semua yang ada di Mama itu baik," jelas Fahri menggebu-gebu.

Aku dibuat bungkam dengan penjelasan putra sulungku. Kembali aku menatap Diana, tapi lagi-lagi dia memalingkan wajahnya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status