"Kok tumben Mas, bekalnya habis terus," ucap Diana heran sambil membawa sebuah rantang susun ke dapur.
"Iya, Mas makannya bareng teman-teman," jawabku kaku. Beberapa hari ini aku sudah berbohong pada Diana. Dia tidak tahu kalau akhir-akhir ini aku membantu Milla dan anak-anaknya.Tidak mungkin bagiku untuk memberitahukannya. Karena ini pasti akan melukai hati dan perasaannya."Oh iya, Mas boleh minta bekal lebih tidak?" pintaku padanya yang langsung menghentikan aktivitas yang dilakukannya. Karena biasanya bekal yang kubawa akan ada sisa. Karena beberapa hari ini, aku memberikan bekalnya kepada anak-anak Milla. Mereka terlihat kasihan."Ya, sudah," jawabnya singkat.Kupikir Diana akan bertanya lebih lanjut. Ternyata tidak. Baguslah, aku jadi bisa lebih leluasa. Dia memang istri yang baik. Tapi sayangnya aku belum mencintainya."Fahri katanya kangen sama kamu, Mas.""Sama aku juga. Beberapa hari ini di rumah sakit banyak banget pasien," ucapku berbohong.Tapi Diana sama sekali tidak merespon perkataanku."Bahkan hari ini kita pergi ke rumah sakit, Mas," ucapnya yang membuatku terpaku.Oh tidak. Bagaimana kalau pihak rumah sakit mengatakan aku meminta cuti?"Fahri ingin bertemu denganmu. Katanya sangat rindu karena sudah beberapa hari tidak pernah bertemu denganmu," lanjutnya.Aku masih tidak bicara. Rasa takut salah bicara membuatku diam. Yah, aku lupa kalau aku belum bertemu dengan anak-anak beberapa hari ini."Kenapa tidak memberikan kabar kalau anak-anak akan kerumah sakit?" Aku memilih untuk mendekat ke arah Diana yang sedang mencuci beberapa piring bekas makan malam dan memeluk pinggang rampingnya."Aku takut menganggu pekerjaanmu, Mas. Alhamdulillah mereka tidak rewel. Kupikir Mas sedang berada diluar sebentar, jadi aku menyetujui ajakan Fahri untuk menunggumu di rumah sakit," jelasnya yang membuatku semakin merasa bersalah. Bagaimana bisa aku begitu tega membiarkan anak-anakku menunggu."Maafkan aku, Ana." lirihku pelan. Hanya kata maaf yang mampu aku ucapkan. Syukurlah kalau mereka tidak bertanya kepada orang-orang di rumah sakit. Jika saja terjadi, mungkin aku akan semakin merasa bersalah karena telah berbohong."Tidak apa, Mas. Aku dan anak-anak memaklumi. Mas ke atas saja dulu. Aku akan merapikan meja. Sebentar lagi selesai." Diana melepaskan pelukanku dan berjalan ke arah meja.Tanpa berkata lagi, aku langsung ke atas dan menuju kamar anak-anak."Maafkan Papa, Mas, Dek."Kupandangi wajah Fahri dan Faiz yang tertidur. Tidak terasa mereka yang dulu masih terlihat mungil, kini sudah mulai besar. Mereka memang anak-anak yang pintar. Ada rasa rindu dalam hatiku ketika beberapa hari ini tidak melihatnya. Tapi semua itu sirna ketika mengingat bagaimana anak-anak Milla berjualan di pinggir jalan raya. Sangat berbahaya."Kalian akan faham dengan apa yang Papa lakukan. Papa berharap kalian tidak akan membenci Papa jika nanti sudah dewasa," lirihku pelan. Meski aku sadar kalau yang aku ucapkan adalah sia-sia. Tapi tetap saja bibir ini ingin mengatakannya.Lama kupandangi mereka sampai memutuskan untuk beristirahat di kamar. Sebelum pergi, aku memutuskan untuk menemui Diana terlebih dahulu.Langkahku terhenti ketika melihat Diana dari bawah sedang menggunakan tisu ke matanya.Apa dia habis menangis? Kuurungkan niatku untuk menghampirinya. Aku lebih memilih untuk ke kamar dan menunggunya.Tiga puluh menit sudah berlalu. Namun Diana tidak kunjung datang. Sampai aku memutuskan untuk kembali turun ke bawah yang ternyata sudah gelap. Kuputar langkah ke kamar anak-anak.Aku membuka pintu dengan pelan, takut akan membangunkan mereka. Pemandangan di depanku benar-benar membuatku terkejut. Diana telah tertidur di kamar anak-anak dengan wajah sembab.Sepertinya dia memang habis menangis.Lama aku terduduk menatap wajahnya sampai mataku terasa berat dan memilih pergi ke kamar untuk istirahat.*"Mas, bangun, sudah pagi. Nanti kesiangan." Aku mengerjapkan mata ketika Diana membangunkanku."Hari ini Mas akan berangkat siang," ucapku sambil merenggangkan kedua tangan. Diana terdiam. Mungkin tidak biasanya aku berangkat siang."Aku rindu anak-anak. Aku ingin bertemu mereka lebih dulu," lanjutku dan Diana yang meng'oh'kan.Apa jawabanku tidak tepat? Bukankah tidak ada yang salah jika aku ingin bertemu anak-anak?!Melihat Diana yang tidak ada reaksi membuatku merasa sedikit kesal, "Ana!" panggilku padanya."Ya.""Apa kau tidak suka aku berangkat siang?""Aku tidak masalah, Mas. Semuanya tergantung padamu," ucapnya singkat dan datar. Padahal sebelumnya dia tidak pernah seperti ini. Dia sangat bawel bahkan cerewet pada hal kecil sekalipun. Tapi sekarang..."Aku akan melihat anak-anak." Diana keluar dari kamar tanpa senyuman sedikit pun.Aku merasa Diana berubah.Segera aku bergegas untuk membersihkan diri dan memakai pakaian lengkap untuk kerja. Tanpa disiapkan Diana dan berjalan penuh semangat untuk menyapa anak-anak yang sedang sarapan."Pagi jagoan Papa!" Aku mencium mereka bergantian dan memeluknya."Mas Fahri sekarang sudah tidak kangen Papa," ucap Fahri cemberut."Lho, kenapa? Mama bilang Mas Fahri kangen sama Papa, sampai ke rumah sakit segala." Jujur aku kaget mendengar perkataannya. Tapi mungkin saja dia salah bicara atau hanya sekedar bercanda."Mas Fahri dan Abang ke sana kemarin," ucap Faiz cemberut juga.Ah, aku jadi merasa bersalah sama anak-anak."Iya. Tapi para suster bilang Papa cuti." ucap Fahri yang membuatku terkejut. Bukankah semalam Diana mengatakan hanya menunggu, tidak bertanya orang-orang rumah sakit?”Bahkan orang-orang di sana mengatakan kalau Mas Fahri dan Abang Faiz harus bisa tidak bertemu Papa berapa lama pun." lanjutnya yang membuatku semakin diam. Takut salah bicara. Tapi Diana akan semakin curiga jika aku anus diam."Siapa yang berani bilang begitu?" tanyaku pada kedua putraku. Kutatap Diana, tapi dia memalingkan wajahnya."Para suster dan beberapa yang mau berobat. Katanya Mas Fahri akan punya adik dan kakak tiri. Bahkan ada juga yang mengatakan Mama pelakor. Mas tanya Mama pelakor itu apa, tapi Mama hanya diam. Ada seorang Tante yang mengatakan kalau pelakor itu artinya perebut dan itu bukan hal yang baik. Jadi Mas marah. Karena Mama orang baik. Semua yang ada di Mama itu baik," jelas Fahri menggebu-gebu.Aku dibuat bungkam dengan penjelasan putra sulungku. Kembali aku menatap Diana, tapi lagi-lagi dia memalingkan wajahnya."Dok, tolong ada pasien yang sedang membutuhkan penanganan!" teriak asisten baruku, Fadil.Dua tahun telah berlalu, aku masih menjadi seorang dokter, tapi berbeda dengan dulu. Setelah Diana dan anak-anak pergi, hidupku hanya diselimuti oleh penyesalan dan sepi. Tanpa ada bahagia ataupun senyuman.Tidak hanya mereka saja yang menjauh, tapi juga orangtuaku ikut terdiam. Mereka seolah tidak melihatku ketika aku berkunjung ke rumahnya. Padahal dulu, hubungan kita tidak seperti ini."Baik!" segera aku berlari dari kantin rumah sakit ke ruangan. Tapi kosong. Tidak ada pasien di sini."Dimana pasiennya?" teriakku keluar."Di sini!" Fadil muncul dari ruangan sebelah, itu adalah ruangan Dion."Kenapa disana?""Dokter Dion tidak masuk, dia mengalami pendarahan di lengannya."Aku langsung melakukan penanganan pada pasien, seorang bocah yang kuperkirakan mungkin baru berusia enam tahun. Sama seperti umur Fahri sekarang.Ya Allah, Nak, kalian dimana? Papa merindukanmu.***Beberapa bulan yang lalu
"Halo, Ma, ada apa?" tanya Burhani pada Farah dengan khawatir ditelpon.”Ya ampun. Sudah jadi dokter bukannya bantu orangtua, malah bikin susah."Dion memasang wajah menghina tanpa dosa. Bagai yang dilakukannya ada benar. Sungguh membuat Burhani sangat emosi."Apa maksudmu?""Apa kau tahu apa yang sedang menimpa kedua orangtuaku? Apa kau ada dibelakangnya?"Burhani menarik kerah baju Dion."Cari tahu saja sendiri. Bukankah selama ini kau tidak pernah percaya padaku?""Kau memang bia**b! Dasar penghianat! Pecundang!”"Terserah sebutan apa yang akan kau berikan padaku.""Kau memang pantas!" Burhani berdecak sebal.Baru saja dia akan melayangkan bogem, tapi tidak tertahan denger kedatangan Alena."Maaf kepada Pak Dokter Burhani, sepertinya tidak mempunyai otak dan tidak memenuhi kriteria sebagai dokter," Alena menepuk bahu Burhani kuat. "Mungkin anda bisa memilih untuk mengundurkan diri dari rumah sakit ini!""Apa maksudmu?""Semua yang aku katakan sudah jelas. Ayah yang mana dengan teg
Milla menarik ujung baju Dea dan menamparnya berkali-kali karena tidak terima dikatakan sebagai pembantu. Burhani yang melihat semakin geram dengan sikap Milla yang berubah drastis.'Masih terasa hangat di pikiran kalau beberapa minggu lalu aku menikahi seorang wanita cantik dan lemah lembut, bukan wanita gemb*l dan kasar ini! Kemana Milla yang dulu?'batin Burhani dongkol.Merasa dirinya sudah ditindas, Dea langsung menonjok perut Milla lumayan keras hingga dia terpental lumayan jauh. "Jangan kau pikir aku diam kau bisa melakukan apapun padaku! Berani membuat masalah denganku, kau akan tamat!" ancam Dea serius. Kedua matanya yang tajam dan berwarna merah menatap Milla tanpa berkedip.Burhani bahkan dibuat diam dengan sikap Dea, sekaligus kaget dengan yang dilakukan gadis itu. Sungguh tidak menyangka wanita yang dia kira hanya berani berkata-kata saja, ternyata mampu bertindak.Dia pun mengacungkan kedua jempol tangannya kepada Dea. Bukti kalau Burhani kini sama sekali tidak mencintai
Berbeda dengan Milla yang sedang terpuruk, Diana justru tertawa terbahak-bahak ketika melihat video yang dikirimkan oleh Radit melalui aplikasi hijau."Hahaha ... benar aku tidak menyangka kalau Milla yang cantik jelita itu akan mengalami hal seperti ini." Diana masih terkikik.Fahri dan Faiz yang hanya bisa mendengar tertawa Diana membuatnya bingung."Mama kenapa, Mas?" Faiz berjalan ke arah Fahri. Tampak ada rasa takut di wajahnya. Mungkin dia mengira ada sesuatu yang mengganggu pikiran Diana ataupun terjadi sesuatu.Fahri menoleh, "Mungkin Mama lagi senang," ucapnya mencoba menghilangkan kekhwatiran yang ada di wajah Faiz. Padahal aslinya dia juga sangat takut terjadi sesuatu pada Diana ataupun memang ada hal mistis. Namun, dia tetap saja menjaga harga dirinya. Bagi Fahri, seorang kakak itu harus terlihat lebih keren dan berani daripada adiknya. Apalagi usia di antara mereka lumayan agak jauh, membuat gengsi Fahri semakin tinggi.”Hahaha."Lagi-lagi tawa Diana terdengar sangat kera
Aku sungguh tidak kuat menjadi ketika menyaksikan kebisuan putra yang dulu selalu aku banggakan. Memang aku telah melakukan kesalahan yang sangat besar, tapi apakah harus mendapatkan balasan yang sangat cepat?Rasanya baru kemarin aku bermain bersama mereka. Apalagi lelaki tampan yang bernama Delon ini mengaku sebagai calon istri dari istri dan anak-anakku.Ah, mungkin sekarang aku hanyalah menyandang status sebagai mantan suaminya. Meskipun dia memutuskan perceraian secara sepihak.Beberapa kali aku mengajak Fahri dan Faiz untuk bicara, tapi perkataanku bagai melayang tertiup angin. Kedua anakku yang dulu sangat ceria dan aktif, kini berubah menjadi pendiam.Dalam waktu singkat, aku harus menghadapi cobaan yang bertubi-tubi. Sudah dikhianati kedua sahabatku, ditinggalkan istri dan anak-anakku, serta dibohongi Milla. Wanita yang kupikir lembut dan baik seperti bidadari ternyata hanyalah iblis yang menyamar sebagai malaikat.Tanpa bisa kutahan, air mata ini luruh begitu saja. Kupikir k
"Tidak! Tidak mungkin wanita hina itu berubah dalam waktu yang sangat dekat untuk menjadi ratu.""Tidak. Aku yakin mereka semua hanya membohongiku. Mana ada berubah dalam hitungan hari? Pasti semuanya hanyalah isu. Ya, benar. Semuanya hanya isu."Beberapa kali Milla mengatakan kata-kata yang sama. Berat baginya menerima kebenaran siapa Diana yang sebenarnya. Padahal dia sudah melihat dengan mata kepalanya sendiri media cetak dan sosial mengabarkan hal itu. Tapi tetap saja hati dah pikirannya tidak bisa menerima hal itu."Apa kau tahu direktur utama yang baru? Aku sungguh tidak menyangka kalau Dirut dari F2 Group adalah seorang wanita muda yang cantik," ucap salah seorang wanita di sebuah jalanan yang penuh dengan orang-orang."Sama. Aku juga sangat tidak menyangka, apalagi beliau sepertinya terlihat sangat rendah hati," ucap yang lainnya.Hati Milla menjadi semakin penuh kebencian dan dengki. Matanya pun semakin memerah serta lebih tajam. Ia pun kembali melakukan sepeda motornya menuj
Milla berteriak mengumpat setelah mengetahui kalau Diana sebenarnya adalah orang kaya. Dia benar-benar sudah sangat kecewa dengan dirinya sendiri yang sudah merendahkan Diana.Padahal berbagai cara sudah dilakukannya untuk membuat Diana jatuh dan semakin terpuruk, bahkan enggan untuk bertahan. Tapi ternyata, dia bukanlah orang sembarangan bisa disentuh begitu saja.Rasa kecewa tidak dapat disembunyikan lagi dari wajahnya yang dalam waktu sekejap berubah menjadi amarah."Pantas saja selama ini kau baik-baik saja setelah apa yang telah aku lakukan!" geram Milla ketika hendak berjalan di antara kerumunan orang.Secara tidak sengaja, Burhani ternyata berada di dekatnya dan mendengar umpatan istri kedua yang sudah membuatnya melupakan istri dan kedua putranya."Apa sebenarnya yang sudah kubela dari wanita ini? Dia tidak lebih hanya seorang penghancur!" lirihnya geram dan sangat kesal. Namun tidak tahu lagi apa yang harus dilakukannya.Bagi Burhani, kata penghancur adalah kata yang paling t
"Maaf, Pak, kami akan segera tutup," ucap salah seorang karyawan restoran.Burhani mengangkat wajahnya menatap sayup seorang karyawan wanita yang tengah berdiri di sampingnya. "Tahun berapa restoran ini di bangun dan diresmikan?"Karyawati tersebut tampak heran dengan pertanyannya, dia merasa pertanyaan yang bagus ini harusnya dilontarkan dengan wajah yang cerah dan tersenyum. Bukan seperti wajah orang yang ada di sampingnya ini. Kusam dan sama sekali tidak ada senyuman. Justru malah terlihat sendu dan akan menangis.Apa karena orang ini terharu?Beberapa kali pertanyaan itu muncul dalam benaknya, tapi tetap saja ekspresi itu tidak pantas."Bisa jawab atau tidak? Oh, mungkin anda karyawan baru di restoran ini?" Burhani menatap remeh. Dia merasa kesal karena pekerja wanita ini hanya menatapnya dan tidak mengatakan apapun.Wanita yang di depannya tersenyum ramah, dia seolah tidak peduli dengan kata-kata yang menyakitkan dari Burhani, "Perkenalkan, saya Deswina, manager di sini dan sekal
Beberapa kali Burhani meyakinkan kalau apa yang dilihatnya tidak nyata. Dia sama sekali tidak menerima kalau istri yang selama ini bersamanya ternyata tidak terbuka dalam beberapa hal.Dia merasa telah dibohongi setelah sekian tahun lamanya.Kedua tangannya mengepal kuat dan matanya menatap ke arah Diana, Dion, dan kedua putranya bergantian. Tidak terkecuali kedua orang tuanya Diana yang dulu ketika akad nikah mengakui pekerjaan mereka adalah petani, tapi ternyata dari keluarga Gardan Pradipta.Dion tersenyum penuh kemenangan ketika melihat bagaimana reaksi Burhani. "Saatnya kau sadar dan menerima kekalahan. Pada dasarnya semua orang akan menebus semua dosa yang dilakukannya di masa lalu. Tapi hanya DP saja." gumamnya pelan sambil terkekeh.”Jujur awalnya saya sangat kecewa. Tapi kedua orangtua terus meyakinkan saya kalau ini memang jalan terbaik dari yang maha kuasa. Banyak juga para ibu yang mengalami hal sama seperti saya yang memberikan kata-kata mutiara dan beberapa pengalamannya