Besok adalah hari pernikahanku dengan Milla. Tapi hari ini aku masih masuk bekerja. Setelah berbohong pada Diana beberapa hari lalu, pikiranku tidak bisa tenang. Apalagi ketika melihat Diana dan anak-anak ketika di restoran, sangat dekat dengan lelaki itu.Bagaimana tidak, dia lelaki yang sudah lama menyendiri. Bisa saja dia menaruh hati pada Diana dan mendekat lewat anak-anak.Ahhh, aku mengacak rambut frustasi."Bagaimana kejutan untuk Faiznya, sukses?" Dokter Alena memasuki ruanganku."Itu, em, itu..." Aku benar-benar tidak tahu harus menjawab apa. Bahkan aku melupakan untuk memberikan hadiah padanya. Padahal kemarin aku membelikan Radit, Sifa, dan Azka mainan baru juga mahal.Bagaimana aku bisa melupakan Faiz."Kenapa? Apa ada masalah?" Dokter Alena menatapku lekat."Em, tidak ada," ucapku mengelak."Lancar sekali, ya, kau bilang tidak ada," sahut Dion yang tiba-tiba datang ke ruanganku. Darimana dia mendengar percakapanku dengan dokter Alena?"Apa maksudnya, Dok?" Dokter Alena me
Setelah mendengar perkataan Dion ketika menceritakan dirinya, aku memiliki perasaan takut Fahri dan Faiz juga akan mengalami itu. Sebenarnya aku sudah tahu apa yang terjadi dengan Dion, tapi tetap saja ketika dia cerita, seperti yang baru mendengarnya.Aku sedang berada di fase bingung. Jika pernikahanku dan Milla dibatalkan, entah apa yang akan terjadi pada anak-anaknya. Aku juga sudah menyuruh pak penghulu dan tetangga perumahan Milla untuk datang.Berat rasanya bagiku untuk bangun pagi ini, tapi aku tidak ingin melihat Milla cemburu. Bukankah aku sangat mencintainya, kenapa hatiku malah terasa bimbang?!Kuedarkan pandangan, menyapu ruangan kamar ini. Tapi mataku tidak melihat Diana. Dengan malas aku bangkit dari tempat tidur dan berjalan menuju anak-anak. Kosong.Dimana mereka? Aku ingin minta maaf atas kesalahanku.”Ana!!" panggilku pada Diana sambil menuruni tangga."Ana!!" kini aku dengan cemas memanggilnya karena dia tidak kunjung muncul.Mataku menangkap sosok seorang wanita t
Di hari pernikahan suaminya, Burhani. Diana bangun lebih awal dan langsung membangunkan kedua putranya. Dia juga langsung meminta Bik Rani yang baru datang bekerja pertama kali untuk membantu Fahri dan Faiz bersiap.Diana ingin suaminya itu merasakan penyesalan karena telah menelantarkan kedua putranya demi anak-anak orang lain. Dia sudah menyiapkannya jauh-jauh hari untuk membalaskan rasa sakit yang diterima anak-anaknya."Mas sama Abang ikut Bunda Salwa dulu, ya,? pinta Diana kepada kedua putranya. Alhamdulillah, mereka tidak bertanya lebih lanjut. Justru malah terlihat semakin mengerti."Waktu di restoran itu sebenarnya Mas lihat Papa," ujar Fahri membuat Diana kaget."Tapi Mas sengaja tidak bilang, Mas tidak mau Mama melihatnya dan menangis," lanjutnya sambil mencium pipi Diana.Diana terdiam sejenak. Ternyata sifat anak-anaknya sudah dewasa padahal usianya masih balita."Apa Mas marah sama Papa?" ujar Diana. Matanya memanas membayangkan sang melihat Papanya makan bersama dengan a
Ketika pulang, rumah terasa sangat hening. Kupikir anak-anak sedang diluar, jadi aku bersikap biasa, lalu memilih untuk membersihkan diri dan beristirahat sejenak.Tapi sepertinya ada yang aneh. Karena suara anak-anak ataupun Diana sama sekali tidak terdengar. Hanya keheningan yang kurasakan. Awalnya aku berniat untuk memberikan kejutan sama anak-anak dan bermain bersama. Tapi beberapa kali aku memanggil, mereka tidak kunjung terlihat.Sampai Bik Rani yang baru bekerja hari ini menghampiriku dan memberikan sebuah amplop. Katanya surat dari Diana. Ah, apa-apaan ini.Surat tidak penting.Kembali aku memanggil anak-anak, tapi tidak juga ada jawaban. Hatiku mulai risau. Kemana mereka, ini sudah mau malam?!"Sebaiknya Tuan segera membuka surat itu," lagi-lagi Bik Rani menyarankan agar aku membuka surat ini. Kenapa begitu harus membuka surat ini? Apa begitu penting?!Dengan malas, aku kembali memutar tubuh kembali ke kamar. Mencari posisi yang nyaman untuk duduk dan membaca surat ini. Kukel
Di kota lain, Diana mendaftarkan Fahri masuk TK terbaik di tempatnya. Diana tidak ingin anak sulungnya itu selalu dirumah. Meskipun Fahri mengatakan tidak akan rindu pada Papanya. Tapi Diana cukup faham kalau hati Fahri bisa saja mengatakan yang sebaliknya.Sedewasa apapun perkataan anak-anak, hati dan pikirannya tetaplah anak balita. Diana tidak ingin menjadi seorang Ibu yang egois. Cukup dokter Burhani tidak memikirkan perasaan dan hati anak-anaknya sendiri, tapi dirinya jangan. Karena dia tidak ingin Fahri dah Faiz merasa sendiri."Apa perlu saya memberikan pelajaran kepada dokter Burhani, Bu?" tanya asisten Kevin. Dia adalah orang yang ditempatkan orangtua Diana untuk selalu berada di sisinya. Tanpa sepengetahuan dokter Burhani dan keluarga besarnya.Mereka hanya tahu Diana orang kampung dan anak seorang petani. Padahal tanpa mereka duga, Diana bukan orang sembarangan yang bisa mereka sentuh."Itu tidak perlu. Saya tidak ingin membuat anak-anak sedih karena terjadi sesuatu pada Pa
Semenjak kepergian anak-anak, hidupku terasa hampa. Biasa pulang kerja disambut mereka, kini hanya ada angin. Sepi dan hampa. Tidak ada yang perhatian apalagi cerewet. Kemana aku harus mencari anak-anak? 'Mas, Bang, Papa rindu kalian.Semenjak itu juga, Dion semakin menjauh dariku. Entah apa yang membuatnya berubah seperti ini. Padahal biasanya apapun kondisiku, dia akan selalu ada untukku. Tapi kini, dia seperti menjadi orang asing."Dokter bisa langsung istirahat, karena masih belum ada pasien lagi," ucap asistenku memberitahukan.Aku hanya mengangguk diam dalam sepi.Benar. Akun sosial media Diana. Sepertinya masih sama. Tiba-tiba saja aku teringat untuk menghubungi Diana lewat sosial medianya. Karena nomor handphonenya sudah tidak bisa dihubungi. Sepertinya dia langsung mengganti kartu SIM-nya untuk menghindariku supaya tidak ada celah untuk bertemu anak-anak.Dasar licik.Belum sempat aku membuka aplikasi biru, ada beberapa pesan masuk ke aplikasi hijau. Ternyata dari Milla.[Ap
Aku tertegun mendengar perkataan Papa. Benar, anak-anakku berbeda. Mereka spesial. Itulah kenapa aku lebih menghawatirkan Radit dan anak-anaknya daripada Fahri dan Faiz. Tapi kenapa tidak ada yang faham dengan kondisiku? Termasuk Dion, dia malah semakin menjaga jarak denganku."Fahri dan Faiz anak hebat, Pa. Cara berpikir mereka tidak seperti anak-anak pada usianya. Itu salah satu alasan yang membuatku tidak terlalu mengkhawatirkan mereka," jelasku bangga. Papa dan Mama menatapku nyalang."Mereka memang anak-anak yang hebat. Tapi bukan karena kau! Mereka hebat karena terlahir dari wanita yang hebat," teriak Papa murka."Tentu saja karena gen dariku. Diana hanyalah anak kampung. Tepatnya anak seorang petani." ucapku menggebu. Tapi aku hanya bisa mengatakannya dalam hati. Bisa-bisa Papa tambah ngamuk jika aku mengatakannya langsung.Bagaimana bisa gen anak-anak dari Diana, pasti dariku. Tidak salah lagiAku sadar kesalahanku. Tapi juga tidak suka ketika mendengar siapapun menjelek-jelek
Setelah beberapa hari dari Fahri dan Faiz yang melihat Papanya menjemput anak orang kain membuat mereka tidak pernah menanyakan perihal papanya lagi. Biasanya tiap siang atau malam, mereka akan menanyakan beberapa pertanyaan.”Ma, apa Eyang tidak akan sedih ketika mendengar kita pergi?" tanya Faiz. Diana bernapas lega. Untunglah yang ditanyakan adalah eyangnya."Eyang pasti sedih. Tapi tidak akan lama," jelas Diana."Kenapa, Ma?" Faiz menimpali."Karena Eyang sudah tahu bagaimana Papa sekarang." Dengan hati-hati Diana menjelaskan. Meskipun Diana merasakan sakit yang luar biasa ketika anak-anak menyebut nama dokter Burhani, tapi tetap saja dia adalah ayah mereka."Jadi, apa benar kalau Papa sudah tidak sayang lagi sama kita?" tanya Faiz meratap. Lagi-lagi pertanyaan ini yang keluar. Tidak hanya Faiz, tapi Fahri pun demikian. Kembali Diana teringat luka yang setiap saat digoreskan oleh suaminya itu. Meskipun pikiran mereka seperti anak dewasa, tapi tetap saja mereka masih anak-anak yang