Share

TOPENG BAHAGIA

"Lepasin, Mas!" Refleks, aku berteriak. Walau suaraku sedikit tertahan karena leher yang tengah ditarik ke atas, tapi aku berharap entah Naya atau Aqilla akan mendengarnya. 

"Sampai kapanpun, aku tidak akan melepaskanmu. Jadi, jangan harap kamu bisa bebas dari aku. Ngerti kamu?!" Tangannya makin erat mencengkeram daguku. 

"Ayah …." 

Kami beruda kaget mendengar suara tiba-tiba itu. Tanpa dikomando, kami pun serempak menoleh ke arah pintu. Aqilla sedang berdiri di sana dan menatap kami dengan pandangan takut takut. Tubuhnya yang mungil terlihat merapat ke daun pintu yang terbuka.

Berbeda denganku yang merasa terselamatkan, wajah Mas Dewo justru merah padam. Setelah mendengar helaan nafas panjangnya, kulihat dia berjalan pelan mendekati Aqilla. 

"Sayang, ngapain di sini?" tanyanya.

Pria itu berjongkok saat di depan anak bungsu kami. Mungkin, Aqilla takut akibat perlakuannya padaku barusan, karena kemudian kulihat anak itu makin merapat ke tembok. 

"Jangan kurung ibu lagi, Yah," ucapnya lirih saat tangan Mas Dewo menyentuh pipinya lembut. 

"Qilla, makan yuk! Ayah tadi bawain ikan bakar lho," ucap pria itu mengalihkan perhatian. Aku hanya menghela nafas mendengar itu. 

"Aqilla belum laper, Yah." Anak itu pun menggeleng. 

"Ya udah kalau gitu ikut ayah, yuk! Tadi, nenek kirim pesan ke ayah katanya kangen sama Qilla. Kita telpon nenek, oke?" Lalu Mas Dewo menggandeng tangan Aqilla dan mengajaknya menjauh dari dapur.  Langkahnya terlihat ragu mengikuti langkah lebar ayahnya sambil sesekali menoleh ke arahku dengan raut kekhawatiran.

Setelah Mas Dewo meninggalkan dapur, aku segera menyiapkan makan malam untuk kami. Di ruang tengah kulihat Naya masih sibuk dengan televisi di depannya. Anak itu bahkan tak terganggu sedikit pun dengan bunyi piring dan sendok yang kutata di meja makan.

Sementara itu, dari serambi rumah sayup-sayup aku bisa mendengar suara Mas Dewo sedang berbicara dengan seseorang ditelepon. Sesekali kudengar suara Aqilla ikut menyahut. 

"Memangnya mau ada acara apa besok siang, Bu?" tanyanya.

"Oke Nek, nanti Qilla dan Kak Naya pasti datang. Aqilla kasih tahu ibu dulu, ya?" Lalu terdengar suara anak bungsuku yang manja.

Entah apa yang dibicarakan Mas Dewo lagi di telepon itu dengan ibunya, karena kemudian suara Aqilla yang memanggil-manggilku menenggelamkan suara pembicaraan itu.

"Bu, besok nenek nyuruh kita ke sana," ucapnya. Aku langsung mengelus kepalanya dengan lembut menanggapi antusiasnya.

"Ada acara apa memangnya, Sayang?" tanyaku.

"Bapak ngadain acara silaturahmi dengan teman-teman pensiunannya. Kita semua disuruh ke sana." Tiba-tiba suara Mas Dewo sudah ada di dekatku.

Aku begitu malas menanggapinya. Jadi, kuputuskan hanya diam saja, bahkan berpura-pura sibuk menata makanan di meja. Dia pun sepertinya cuek. Lalu tak ada lagi pembicaraan setelah itu.

***

Malam harinya, kami makan malam seperti biasa. Hanya saja, kali ini suasana lebih lengang dari biasanya. Aqilla yang beberapa kali mengajak bicara kami, tapi aku menjawabnya sekedarnya. Mas Dewo yang sepertinya lebih antusias menanggapi pertanyaan-pertanyaan dari bungsu kami itu.

Usai makan malam, Mas Dewo meminta Naya dan Aqilla masuk ke dalam kamar. Lalu dia pun menyusulku ke dapur.

"Besok, aku akan pulang dari kantor lebih awal. Anak-anak biar aku yang jemput. Kamu siap-siap saja. Kita langsung ke rumah bapak kalau aku sampai." 

Aku diam mendengarkan, tapi tak menanggapi sepatah kata pun. Aku justru pura-pura sibuk dengan piring-piring kotor di bak cuci. Sepertinya, dia gusar dengan tingkahku, hingga kemudian dicekalnya lenganku dan dibalikkannya badanku untuk menghadap ke arahnya.

"Kamu dengerin aku nggak, sih?" tanyanya marah.

Dengan malas, aku hanya menggangguk.

"Aku nggak mau di sana nanti sikapmu seperti ini. Bersikaplah seperti biasa. Aku nggak mau keluargaku tahu ada masalah di antara kita," putusnya lalu pergi.

Aku tidak kaget dia mengatakan hal seperti itu. Mas Dewo memang orang yang tidak pernah mau terlihat buruk di depan semua orang. Walau selama ini dia tidak pernah mengatakan itu, tapi bahasa tubuhnya selalu ingin aku tampil baik-baik saja di hadapan siapapun saat sedang bersamanya.

***

Hari berikutnya, seperti yang dia katakan, Mas Dewo menjemput Naya dan Aqilla lebih awal. Acara di tempat mertuaku dimulai jam 1 siang. Jadi, mereka ingin kami sudah sampai di sana sebelum acara dimulai.

Usai mendandani Naya dan Aqilla, kami pun mulai meninggalkan rumah. Di sepanjang perjalanan, aku lebih banyak diam. Kulihat beberapa kali Mas Dewo melirikku dari kaca spion depan sambil mengomentari apa yang dilakukan Aqilla di kursi penumpang depan. Ada kesan sepertinya dia khawatir aku tidak akan bersikap baik di hadapan keluarganya dan pada tamu undangan nanti.

Saat kami tiba di rumah orangtuanya, Mas Dewo membiarkan anak-anak keluar sendiri dari mobil. Ini sedikit aneh, karena biasanya dia akan mendahulukan mereka dalam hal apapun dibanding aku.

Anehnya lagi, dia justru membukakan pintu mobil untukku.

"Senyumlah! Mukamu itu nggak enak banget dilihat," katanya sambil merangkul lenganku dan mengajakku bergerak menyusul anak-anak yang sudah berlarian menuju rumah kakeknya.

Kuhela nafas dalam-dalam mendengar ucapannya. Rasanya, sangat sulit untuk tersenyum di tengah situasi seperti ini. Tapi, melihatku tidak segera tersenyum, Mas Dewo malah menekan lenganku sedikit kasar. Sepertinya dengan itu, dia ingin menunjukkan betapa berkuasanya dia padaku.

Karena merasa sedikit kesakitan, hampir saja aku meneriakinya saat itu juga. Namun kuurungkan niat saat kulihat ibu sudah berdiri di depan pintu menyambut kami.

"Duh kalian kok baru datang? Itu adik-adikmu udah datang lho dari tadi, Wo. Ibu pikir kalian tidak jadi ke sini," ucap ibu mertuaku dengan sumringah.

"Maaf Bu, tadi di kantor agak banyak kerjaan. Jadi aku telat minta izinnya," jelas Mas Dewo. Tanpa bicara, aku langsung meraih tangan ibu dan menciumnya dengan takzim.

"Ni, kamu sehat kan? Kok ibu lihat sepertinya kamu kurang tidur. Matamu kayak lagi sakit lho, Ni," ucap ibu yang seketika membuatku langsung gugup. 

Dari ujung mataku, aku bahkan melihat mata Mas Dewo membulat.

Comments (3)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
kebanyakan membatin dlm hati si ani jakang ini. klu mau melawan kumpulkan keberanian dan jgn sok2an hebat nyet. klu kau tau suami mu juga pengkhianat harusnya kau lebih berani dikit. klu penulis dungu kayak kau gini,apa yg mau diharapkan dari tulisan mu selain hanya menyuguhkan kebodohan dan kelemah
goodnovel comment avatar
Muhammad Sakrani
keren ceritanya
goodnovel comment avatar
Meyke Sartika
up jgn lama2 thor
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status