Masuk
“ Ugh… ahh.. “
“Mas… pelan-pelan… sakit perutku,” Renita meringis, tangannya mencengkeram sprei. Reza justru mendengus, gerakannya diatas ku melambat nada suaranya terdengar kesal. “Kenapa sih kamu? Baru juga mulai. Bikin nggak mood aja.” Renita menggigit bibir menahan nyeri. “Aku… udah dua bulan telat datang bulan.” Reza langsung berhenti. Ia melepas diri duduk di ranjang dengan wajah tak percaya. “Dua bulan?” katanya ketus. “Nita, kamu nggak mungkin hamil, aku selalu pakai pengaman.” “Aku juga nggak tau, Mas,” lirih Renita dari bawah, tubuhnya masih menahan sakit. Reza sudah sibuk meraih celananya di lantai. Ia memakainya dengan gerakan kasar. “Kalau kamu hamil… itu malah akan jadi masalah. Mama bisa marah besar. Cicilan apartemen ini belum luas, adik-adik ku masih kuliah kalau kamu hamil biayanya akan semakin besar.” Renita hanya menunduk. “Apa salah kalau aku hamil? Toh aku sudah punya suami tidak lajang…” Reza tidak menjawab. Ia hanya mendengus lalu keluar kamar tanpa menoleh. Dengan lemas, Renita meraih piyamanya yang tergeletak di lantai. Ia mengenakannya perlahan, menahan napas setiap kali nyeri menyengat perut dan pinggangnya. Ketika keluar kamar mengikuti Reza, ia terkejut melihat Ayu ibu mertuanya sedang duduk di sofa ruang TV dengan tangan terlipat di dada.Seminggu sekali Ayu selalu datang ke apartemen, sejak dua tahun sejak Renita menikah dengan Reza. Ayu selalu ikut campur urusan rumah tangga mereka, bahkan soal anak, keuangan dll.Dia selalu berlindung dengan kata hemat,untuk menyetir kehidupan rumah tangga kami. Suami ku yang merupakan anak sulung berkewajiban menafkahi, adik perempuannya yang sedang kuliah dan ibunya sejak ayah mereka meninggal. Aku selalu menggunakan gajiku untuk kebutuhan rumah dan cicilan apartemen dan mobil. Karena semua gaji Mas Reza untuk keluarganya. Ayu melirik tajam. “Renita, kamu ngapain sampai Reza bisa semarah itu?” Renita duduk perlahan di sampingnya. “Perut dan pinggang ku sakit, Mama. Rasanya kayak mau haid… tapi aku sudah dua bulan telat.” Ayu menoleh cepat. “Dua bulan telat datang bulan? Maksud kamu… kamu hamil?” “Gak tau, Mah,” Renita menunduk. “Makanya aku bilang ke Reza.” Ayu menarik napas panjang, wajahnya berubah muram. “Ren, cicilan apartemen dan mobil masih banyak Tania masih kuliah.Kalau kamu hamil biaya hidup kita akan semakin besar, apalagi nanti kamu gak kerja lagi siapa yang mau membayar rumah sakit?” “Tapi… ini bukan salahku, Mah…” “Mama tahu Reza selalu pakai pengaman,jadi seharusnya tidak mungkin kamu hamil.” Ayu mendekat, suaranya menajam. “Atau… kamu ada main di belakang Reza? Kamu selingkuh?” Renita terkejut, matanya terbelalak. “Ma-mama! Enggak! Aku nggak mungkin—” “Kalau begitu jelaskan! Dari mana telat dua bulan itu kalau bukan karena kamu macam-macam?” “Mah, sumpah aku nggak selingkuh,” suara Renita bergetar. “Aku takut… aku juga bingung kenapa bisa telat.” Ayu tidak melunak. Ia justru bangkit berdiri, menatap Renita seolah dia kriminal. “Mulai besok, kamu periksa ke dokter. Mama mau hasil yang jelas. Mama nggak mau Reza ketularan penyakit karena kamu suka jajan atau selingkuh diluar.” Renita hanya bisa menahan air mata yang mulai tumpah. Dari dapur terdengar suara Reza berteriak, keras dan memerintah. “Nita! Bikinin kopi!” Ayu ikut menambahkan tanpa menoleh, nada suaranya tak kalah menusuk. “Nita kamu denger gak suami kamu manggil? Cepat sana bikinin. Jangan lelet.” Renita refleks bangkit. “Iya, Mah…” Ia berjalan cepat ke dapur. Baru satu langkah masuk, Reza muncul dengan tatapan kesal. “Cepetan! Jalan kok lemot banget, kayak siput.” Ia berdecak lalu berjalan ke sofa, duduk berselonjor di samping ibunya sambil memainkan ponselnya. Dari ruang TV, Ayu kembali berteriak, “Nita! Sekalian bikinin Mamah teh tawar anget!” Renita menjawab lirih, “Iya, sebentar…” Ia memandang dapur yang tadi sudah ia bersihkan sepulang kerja kini berantakan lagi. Piring menumpuk, gelas kotor, bungkus makanan tercecer di meja. Ia bergumam pelan, hampir tak terdengar, “Dua tahun menikah dengan Mas Reza… nggak pernah sekalipun bantuin bersihin apartemen. Suruh panggil petugas kebersihan aja nggak mau keluar uang… semua harus aku yang kerjakan. Rasanya aku seperti hidup bersama bukan tinggal bersama.” Renita mengambil kopi, teh, gelas, merebus air, dan menyiapkan semuanya dengan cepat. Begitu air mendidih, ia meracik kopi Reza dan teh Ayu, lalu meletakkannya di nampan. Ia membawa nampan itu ke ruang TV. “Mas, Mah… ini minumnya.” Reza langsung menyambar cangkir kopi, menyeruput tanpa pikir panjang. Detik berikutnya— “BYURR!” Kopi panas itu disemburkan tepat ke wajah Renita. Renita terpaku. Cairan panas mengalir di pipi dan dagunya, membuatnya tersentak. Reza berdiri dengan amarah membara. “Panas begini kamu suruh aku minum?! Kamu sengaja mau bikin lidahku melepuh?!” Renita menggeleng cepat, matanya memerah. “Mas, aku—aku nggak sengaja… aku cuma—” Ayu ikut menyudutkan. “Nita, kamu itu bikin apa sih? Masa kopi dikasih panas begitu. Nggak kasihan sama Reza?” “Maaf, Mah…” suara Renita hampir hilang. Ayu tiba-tiba beralih ke topik lain, lebih tajam. “Za, mama heran. Gimana bisa kamu kebobolan?” Reza mengernyit. “Kebobolan gimana?” Ayu menatap Renita sinis. “Nita bilang sudah dua bulan telat datang bulan. Dua bulan, Za! Kamu gimana sih?” Reza langsung menepis dengan nada sinis. “Aku selalu pakai pengaman, Mah. Dua tahun aman-aman aja, kenapa sekarang tiba-tiba telat?” Ayu mendecak keras. “Mama nggak mau tahu. Cicilan apartemen, dan mobil kalian masih banyak kalau Renita hamil siapa yang melunasi. Belum lagi kuliah adek mu mama pusing.Besok kalian periksa ke dokter!” Reza menunjuk Renita, seolah memerintah bawahan. “Besok kamu periksa sebelum berangkat kerja.” Renita menelan ludah. “Mas… temenin aku ya? Aku takut kalau sendiri.” Reza menoleh tajam, seolah permintaan itu penghinaan. “Manja banget! Aku sibuk. Banyak kerjaan di kantor pergi sendirikan bisa.” “Tapi Mas…” suara Renita melemah. “TIDAK ADA tapi-tapian!” Reza berbalik dan masuk ke kamar, pintu dibanting keras. Ayu ikut bangkit sambil membawa teh. “Mama mau ke kamar. Kamu beresin dulu semuanya. Jangan berani-berani tidur sebelum selesai.” Tanpa menunggu jawaban, Ayu masuk ke kamar, menutup pintu di belakangnya. Tinggallah Renita berdiri sendiri di ruang TV, wajah masih perih oleh kopi panas, tangan gemetar, dan hati remuk. Di dalam batinnya, suara lirih bergema penuh luka: “Apa aku akan terus sanggup menjalankan pernikahan ini?? ”Alarm ponsel Renita berbunyi pelan. Ia membuka mata dengan kepala berat dan perut yang nyeri. Cahaya matahari menembus tirai, menerangi kamar yang masih remang.Ranjang di sampingnya sudah kosong. Hanya tersisa cekungan bantal bekas kepala Reza.Dengan nafas panjang, Renita bangkit dan keluar kamar.Reza sudah duduk di meja makan, kemeja kerjanya rapi, ekspresinya masam. Secangkir kopi di depannya tinggal setengah.“Kamu bangunnya telat,” ucap Reza tanpa menoleh.Renita membuka kulkas, mengambil air. “Aku kecapekan, Mas… semalam kita bertengkar. Perutku sakit dari tadi pagi.”Reza mendengus. “Yang mulai siapa? Aku cuma minta hak aku sebagai suami. Kamu aja yang drama.”Renita menahan sesak. “Aku cuma minta dipahami, Mas. Badanku sakit.”Reza menurunkan cangkirnya dengan suara keras.“Kamu itu penuh alasan. Nggak heran PCOS kamu makin parah. Kamu sendiri yang bikin hidup kamu ribet.”Renita menatap meja, menahan air mata.“Mas, aku lagi berusaha sembuh…”“Ya bagus.” Reza berdiri, menga
Renita tersentak. Napasnya tercekat.Ia baru sadar… warna itu—warna kesukaan Deva.Jantungnya kembali memukul dadanya keras.Reza sempat mengernyit ketika melihat Deva sedikit mencondongkan badan ke arah Renita.“Mas ngapain?” tanya Reza dengan kecurigaan.Deva langsung mengalihkan pandangannya ke Reza sambil tersenyum tipis.“Oh, nggak kok. Aku cuma mau perkenalan secara formal. Soalnya aku belum pernah kenalan sama istrimu. Aku kan nggak hadir di pernikahan kalian waktu itu masih di Inggris.”Reza menatap istrinya.“Ren, kamu gimana sih? Harusnya kemarin kamu kenalan sama Mas Deva. Dia nggak bisa datang karena lagi Kuliah di Inggris.”Tangan Reza mencubit pinggang Renita pelan.“Aduh… mas, sakit,” keluh Renita sambil meringis.“Maaf ya Mas Deva,” Renita buru-buru merapikan rambutnya yang jatuh. “Aku lupa banget memperkenalkan diri. Aku Renita.” Ia mengulurkan tangan dengan sopan.Deva menyambut uluran itu dengan genggaman yang lembut dan hangat.“Deva,” jawabnya sambil menatap Renit
Setelah pekerjaan selesai, Renita keluar dari lobby perusahaan. Mobil Reza sudah berhenti tepat di depan, klakson pendek menyambutnya. Reza menurunkan kaca jendela. “Lama banget kamu ngapain aja? Lelet amat.” Renita menahan napas, tidak ingin berdebat di depan umum. “Maaf, Mas… tadi ada urusan sedikit di divisi.” Reza mendengus. “Alesan.” Renita masuk dan menutup pintu perlahan. Mobil melaju menuju apartemen mereka, atmosfer di dalam mobil terasa sesak. Sesampainya di basement, mereka turun. Renita berjalan cepat mengikuti Reza ke lift. “Jangan lama-lama dandannya,” Reza mengingatkan. “Bisa telat ke acara tunangan Mas Deva.” “Iya, Mas,” Renita menjawab pelan. Dalam hati ia berkata getir, Kenapa dia nggak bisa lebih lembut sedikit? Reza sekarang benar-benar berbeda… atau memang dari dulu aku yang buta? Jangan bandingkan dia dengan Mas Deva, Renita. Jangan… Lift terbuka. Mereka masuk unit apartemen. Reza langsung menuju kamar mandi tanpa bicara. Renita membuka lema
Setelah obat ditebus, Reza dan Renita masuk ke dalam mobil. Reza langsung menutup pintu dengan kasar. “Pokoknya mulai sekarang kamu nurut aja sama Mas Deva,” ucap Reza tanpa menatapnya. “Biar kamu cepat sembuh.” Renita mengangguk pelan. “Iya, Mas. Aku bakal banyak makan buah, minum vitamin, dan ikuti semua saran Mas Deva.” Reza mendengus. “Ya bagus. Kalau kamu sakit terus gini, biaya hidup kita makin tinggi. Yang seharusnya bisa dipakai buat hal lain malah buat bayar rumah sakit.” Renita hanya menatap kaca mobil, hatinya mengerut. Padahal semua aku bayar pakai uangku… kenapa dia yang paling perhitungan? Tapi ia memilih diam. Tiba-tiba Reza menyalakan ponselnya, menekan loudspeaker. Renita menoleh. “Mas mau telepon siapa?” “Mama lah,” jawab Reza malas. Astaga… apa-apa ngadu. Aku kayak menikah sama anak kecil, bukan pria dewasa, Renita mengumpat dalam hati. Suara Ayu langsung terdengar dari loudspeaker. “Halo, Za. Gimana tadi hasilnya? Istrimu hamil?” Reza menja
Renita menelan ludah, telapak tangannya dingin. Jantungnya berdebar keras saat mata dokter itu menatapnya. “Iya… Jadi Mas Deva itu kakaknya Mas Reza?” ia tersenyum kikuk. “Sekarang Mas sudah jadi dokter, ya. Seperti cita-cita kamu dulu. Aku ikut seneng lihatnya.” Ada getir samar dalam suaranya. Deva tersenyum tipis, tatapannya sulit dibaca. “Dunia sempit ya. Ternyata kamu istri Reza…” Renita mengangguk. “Iya, Mas. Aku juga nggak nyangka ketemu Mas di sini.” Ia menarik napas kecil. “Jadi… aku manggilnya Mas atau dokter, nih?” Deva menatapnya lama sebelum menjawab. “Mas aja. Kamu kan istri Reza.” Suaranya menurun, hampir seperti gumaman. “Dulu aku pergi ke luar negeri kuliah kedokteran tanpa pamit sama kamu. Aku tahu aku nyakitin hati kamu,Ren.” Renita memaksa tersenyum, padahal dadanya terasa sesak. “Sudahlah, Mas. Itu sudah lama banget. Kita sudah punya hidup masing-masing sekarang. Kita sudah jadi… ipar.” Kata ipar itu terasa aneh di lidahnya. Deva masih menatapnya, kali i
Pagi hari. Renita sudah berdandan rapi, menenteng tas kerja sambil merapikan rambutnya di depan cermin. Dia sudah siap berangkat ke dokter saat Reza keluar dari kamar mandi sambil merapikan rambutnya. "Mas…" Renita menatapnya dari cermin. Reza menyela cepat, "Mama tadi pagi bilang sama aku pas nganterin dia pulang. Katanya kita mending ke klinik Mas Deva aja. Kakak tiriku dia baru saja buka klinik di Jakarta." Renita menoleh penuh tanda tanya. "Kenapa gak ke rumah sakit aja sih? Kan sekalian dekat kantorku. " "Kalau di rumah sakit mahal, Ren." Reza merapikan ujung dasinya. "Kalau sama Mas Deva, gak bayar. Uangnya bisa aku pakai buat hal-hal yang lebih penting." Dalam hati Renita bergumam, “Dasar pelit. Periksa kandungan kok dihitung-hitungan.” "Terus..." Renita melipat tangan di dada, "Katanya semalam kamu gak mau nganterin aku. Sekarang kenapa tiba-tiba berubah pikiran?" Reza mendesah berat, seperti bosan mendengar rengekan. "Mama tadi bilang kamu bisa aja bohong demi memper







