MasukAlarm ponsel Renita berbunyi pelan. Ia membuka mata dengan kepala berat dan perut yang nyeri. Cahaya matahari menembus tirai, menerangi kamar yang masih remang.Ranjang di sampingnya sudah kosong. Hanya tersisa cekungan bantal bekas kepala Reza.Dengan nafas panjang, Renita bangkit dan keluar kamar.Reza sudah duduk di meja makan, kemeja kerjanya rapi, ekspresinya masam. Secangkir kopi di depannya tinggal setengah.“Kamu bangunnya telat,” ucap Reza tanpa menoleh.Renita membuka kulkas, mengambil air. “Aku kecapekan, Mas… semalam kita bertengkar. Perutku sakit dari tadi pagi.”Reza mendengus. “Yang mulai siapa? Aku cuma minta hak aku sebagai suami. Kamu aja yang drama.”Renita menahan sesak. “Aku cuma minta dipahami, Mas. Badanku sakit.”Reza menurunkan cangkirnya dengan suara keras.“Kamu itu penuh alasan. Nggak heran PCOS kamu makin parah. Kamu sendiri yang bikin hidup kamu ribet.”Renita menatap meja, menahan air mata.“Mas, aku lagi berusaha sembuh…”“Ya bagus.” Reza berdiri, menga
Renita tersentak. Napasnya tercekat.Ia baru sadar… warna itu—warna kesukaan Deva.Jantungnya kembali memukul dadanya keras.Reza sempat mengernyit ketika melihat Deva sedikit mencondongkan badan ke arah Renita.“Mas ngapain?” tanya Reza dengan kecurigaan.Deva langsung mengalihkan pandangannya ke Reza sambil tersenyum tipis.“Oh, nggak kok. Aku cuma mau perkenalan secara formal. Soalnya aku belum pernah kenalan sama istrimu. Aku kan nggak hadir di pernikahan kalian waktu itu masih di Inggris.”Reza menatap istrinya.“Ren, kamu gimana sih? Harusnya kemarin kamu kenalan sama Mas Deva. Dia nggak bisa datang karena lagi Kuliah di Inggris.”Tangan Reza mencubit pinggang Renita pelan.“Aduh… mas, sakit,” keluh Renita sambil meringis.“Maaf ya Mas Deva,” Renita buru-buru merapikan rambutnya yang jatuh. “Aku lupa banget memperkenalkan diri. Aku Renita.” Ia mengulurkan tangan dengan sopan.Deva menyambut uluran itu dengan genggaman yang lembut dan hangat.“Deva,” jawabnya sambil menatap Renit
Setelah pekerjaan selesai, Renita keluar dari lobby perusahaan. Mobil Reza sudah berhenti tepat di depan, klakson pendek menyambutnya. Reza menurunkan kaca jendela. “Lama banget kamu ngapain aja? Lelet amat.” Renita menahan napas, tidak ingin berdebat di depan umum. “Maaf, Mas… tadi ada urusan sedikit di divisi.” Reza mendengus. “Alesan.” Renita masuk dan menutup pintu perlahan. Mobil melaju menuju apartemen mereka, atmosfer di dalam mobil terasa sesak. Sesampainya di basement, mereka turun. Renita berjalan cepat mengikuti Reza ke lift. “Jangan lama-lama dandannya,” Reza mengingatkan. “Bisa telat ke acara tunangan Mas Deva.” “Iya, Mas,” Renita menjawab pelan. Dalam hati ia berkata getir, Kenapa dia nggak bisa lebih lembut sedikit? Reza sekarang benar-benar berbeda… atau memang dari dulu aku yang buta? Jangan bandingkan dia dengan Mas Deva, Renita. Jangan… Lift terbuka. Mereka masuk unit apartemen. Reza langsung menuju kamar mandi tanpa bicara. Renita membuka lema
Setelah obat ditebus, Reza dan Renita masuk ke dalam mobil. Reza langsung menutup pintu dengan kasar. “Pokoknya mulai sekarang kamu nurut aja sama Mas Deva,” ucap Reza tanpa menatapnya. “Biar kamu cepat sembuh.” Renita mengangguk pelan. “Iya, Mas. Aku bakal banyak makan buah, minum vitamin, dan ikuti semua saran Mas Deva.” Reza mendengus. “Ya bagus. Kalau kamu sakit terus gini, biaya hidup kita makin tinggi. Yang seharusnya bisa dipakai buat hal lain malah buat bayar rumah sakit.” Renita hanya menatap kaca mobil, hatinya mengerut. Padahal semua aku bayar pakai uangku… kenapa dia yang paling perhitungan? Tapi ia memilih diam. Tiba-tiba Reza menyalakan ponselnya, menekan loudspeaker. Renita menoleh. “Mas mau telepon siapa?” “Mama lah,” jawab Reza malas. Astaga… apa-apa ngadu. Aku kayak menikah sama anak kecil, bukan pria dewasa, Renita mengumpat dalam hati. Suara Ayu langsung terdengar dari loudspeaker. “Halo, Za. Gimana tadi hasilnya? Istrimu hamil?” Reza menja
Renita menelan ludah, telapak tangannya dingin. Jantungnya berdebar keras saat mata dokter itu menatapnya. “Iya… Jadi Mas Deva itu kakaknya Mas Reza?” ia tersenyum kikuk. “Sekarang Mas sudah jadi dokter, ya. Seperti cita-cita kamu dulu. Aku ikut seneng lihatnya.” Ada getir samar dalam suaranya. Deva tersenyum tipis, tatapannya sulit dibaca. “Dunia sempit ya. Ternyata kamu istri Reza…” Renita mengangguk. “Iya, Mas. Aku juga nggak nyangka ketemu Mas di sini.” Ia menarik napas kecil. “Jadi… aku manggilnya Mas atau dokter, nih?” Deva menatapnya lama sebelum menjawab. “Mas aja. Kamu kan istri Reza.” Suaranya menurun, hampir seperti gumaman. “Dulu aku pergi ke luar negeri kuliah kedokteran tanpa pamit sama kamu. Aku tahu aku nyakitin hati kamu,Ren.” Renita memaksa tersenyum, padahal dadanya terasa sesak. “Sudahlah, Mas. Itu sudah lama banget. Kita sudah punya hidup masing-masing sekarang. Kita sudah jadi… ipar.” Kata ipar itu terasa aneh di lidahnya. Deva masih menatapnya, kali i
Pagi hari. Renita sudah berdandan rapi, menenteng tas kerja sambil merapikan rambutnya di depan cermin. Dia sudah siap berangkat ke dokter saat Reza keluar dari kamar mandi sambil merapikan rambutnya. "Mas…" Renita menatapnya dari cermin. Reza menyela cepat, "Mama tadi pagi bilang sama aku pas nganterin dia pulang. Katanya kita mending ke klinik Mas Deva aja. Kakak tiriku dia baru saja buka klinik di Jakarta." Renita menoleh penuh tanda tanya. "Kenapa gak ke rumah sakit aja sih? Kan sekalian dekat kantorku. " "Kalau di rumah sakit mahal, Ren." Reza merapikan ujung dasinya. "Kalau sama Mas Deva, gak bayar. Uangnya bisa aku pakai buat hal-hal yang lebih penting." Dalam hati Renita bergumam, “Dasar pelit. Periksa kandungan kok dihitung-hitungan.” "Terus..." Renita melipat tangan di dada, "Katanya semalam kamu gak mau nganterin aku. Sekarang kenapa tiba-tiba berubah pikiran?" Reza mendesah berat, seperti bosan mendengar rengekan. "Mama tadi bilang kamu bisa aja bohong demi memper







