Mag-log inChloe menatap langit-langit kamar, tubuhnya terasa berat. Semakin lama ia menatap, semakin besar keinginannya untuk pergi dari rumah ini. Namun kenyataan menampar keras. Tabungannya tidak akan cukup.
“Aku belum mulai bekerja. Aku juga tidak mau merepotkan ibu,” gumamnya getir, suara nyaris pecah.
Ponselnya masih tergeletak di lantai, layar padam. Ia menunduk, lalu meraih benda itu hendak menutup semua tab kost-an yang ia buka. Tapi tiba-tiba, ponselnya berdering beberapa kali.
Tring! Tring!
Pesan masuk dengan cepat dan bertubi-tubi.
Chloe terdiam. Angka di ikon pesan naik seperti deret hitung gila. Mulai dari 15… 27… 39… hingga lebih dari 50 pesan masuk hanya dalam hitungan menit.
Ia membuka satu. Isinya sama, hanya satu kata sapaan ‘hai’. Pesan berikutnya? ‘hai’. Dan berikutnya lagi masih ‘hai’.
“Orang bodoh mana yang sebar spam seperti ini?” Chloe mendengus, buru-buru memblokir nomor itu. Ia melempar ponsel ke kasur, lalu menutupi wajah dengan bantal mencoba menenangkan diri.
Belum sempat menarik napas lega, pintu kamarnya berdecit. Chloe refleks bangkit.
Di ambang pintu, berdiri sosok yang paling tidak ingin ia lihat saat ini. Dante.
Pria berambut hitam berantakan itu masuk tanpa aba-aba, menutup pintu dengan tenang tapi tatapannya menusuk. Sebuah ponsel yang layarnya menyala tergenggam di tangan dan Chloe langsung sadar.
“Kau… jangan bilang yang mengirimiku pesan—”
“Kenapa kau blokir aku?” Dante memotong, suaranya rendah.
Chloe memelototinya, ternganga tak percaya. “Jadi benar kau?! Serius? Kau psikopat, Dante!”
Pria itu hanya menyeringai tipis, langkahnya mantap mendekat. Aura tubuhnya begitu kuat sampai Chloe merasa kamarnya menyusut jadi sekecil kotak korek.
“Aku harus pastikan kau membaca pesanku.”
“Dengan cara menerorku?” Chloe menahan napas.
“Kalau aku tidak lakukan itu, kau pasti terus menghindar.”
Senyum Dante makin jelas. Chloe merasa wajahnya memanas, tapi buru-buru menarik selimut seolah melindungi diri.
“Kalau kau berani blokir aku lagi, aku akan masuk kamarmu setiap malam.” Suara Dante nyaris berbisik, tapi begitu menekan.
Chloe tersentak. Jantungnya berdetak gila. Mulutnya ingin menyemburkan makian, tapi suaranya tercekat.
Sebelum sempat berkata apa-apa, suara Sarah tiba-tiba terdengar memanggilnya dari luar kamar.
“Chloe, kau di dalam?”
Chloe panik. Ia tidak mau sampai ibunya melihat Dante di sini. Tanpa pikir panjang, ia berdiri dan menarik lengan Dante dengan kasar.
“Masuk lemari!” desisnya.
“Serius?” Dante terkekeh, tapi sempat menunduk melihat lemari sempit itu dengan tatapan geli.
“Cepat!”
Mereka berdua terhimpit di dalam lemari. Dinding kayu terasa dingin di punggung Chloe. Aroma sabun dan parfum Dante menguar, menusuk hidungnya. Nafas mereka beradu dalam udara pengap.
Chloe buru-buru menempelkan telunjuk ke bibir, memberi kode agar pria itu diam.
Namun Dante tidak menuruti. Tatapannya justru semakin nakal. Dari jarak sedekat itu, Chloe bisa melihat jelas sorot matanya yang berbahaya. Ia bisa merasakan dada Dante bergerak naik-turun nyaris menempel ke miliknya.
“Kenapa kita harus sembunyi?” bisiknya lembut. Suara rendah itu nyaris seperti godaan.
Chloe hampir meledak. “Diam!” desisnya setengah panik.
“Kita saudara, apa yang mau kau sembunyikan dari ibumu?”
Kata itu membuat Chloe spontan menoleh dengan sorot tajam. “Saudara apanya? Jangan omong kosong!”
Dante berhenti menatapnya. Senyum tipis kembali muncul. Lalu tanpa aba-aba, bibirnya menempel ke bibir Chloe.
Chloe membeku. Dunia seolah berhenti. Jantungnya berdentum keras dan tubuhnya kaku. Otak menjerit memaksa menolaknya, tapi tubuh tak bergerak. Rasa asing sekaligus akrab menyergap, seolah membuka kotak yang selama ini ia kunci rapat.
Tangannya sempat menekan dada Dante, tapi berhenti di sana tanpa tenaga, hanya menggigil.
Dante menarik diri perlahan. Keningnya hampir menyentuh kening Chloe, suaranya berat saat berbisik, “Dengar baik-baik, Chloe. Aku tidak akan pernah melihatmu sebagai saudara. Tidak sekarang atau selamanya.”
Chloe menelan ludah. Bibirnya masih panas, tubuhnya gemetar, sementara suara ibunya di luar kamar akhirnya menjauh.
Namun di dalam lemari sempit itu, napas Dante masih terasa di wajahnya, menyapu kulit seperti bara. Chloe memejam sesaat, mencoba menguasai diri, tapi hatinya seperti berkhianat, berdenyut mengikuti jarak tipis di antara mereka.
Ia tahu, satu gerakan kecil saja bisa menjatuhkannya lagi ke dalam pelukan pria itu.
“Apa kau mengusir Zoya, Dante?”Suara Sarah terdengar datar, namun di dalamnya terselip nada yang membuat udara di ruang tamu terasa lebih dingin. Wanita itu berdiri di dekat meja makan dan ekspresi wajahnya menyiratkan kekecewaan.Di sampingnya, Chloe berdiri diam tanpa bersuara. Sorot matanya sulit dibaca.Dante menghela napas kasar, memijat pangkal hidungnya. Kelelahan akibat konfrontasi dengan Zoya kini berhadapan langsung dengan introgasi ibunya.“Sudah kubilang, aku tidak pernah punya hubungan apa pun dengan dia, Bu. Aku membencinya. Dia wanita licik dan manipulatif.”“Kau bilang begitu setiap kali ada masalah. Tapi dia terus datang. Setiap hari. Dia tampak akrab. Dia menyebut namamu dengan manja,” balas Sarah, menatap Dante seolah ia sedang menginterogasi seorang kriminal yang sudah sering berbohong.“Sudah kubilang dia itu licik, bu. Dia melakukan ini agar aku bi—”“Bisa apa? Ada sesuatu yang kau selalu sembunyikan, Dante. Aku sudah menganggapmu sebagai putraku sendiri. Kau bi
Dante menarik tangan Zoya dengan gerakan kasar, sebuah tarikan tiba-tiba yang menyeret wanita itu menjauh dari suasana tegang di dalam rumah. Langkahnya cepat, penuh energi terpendam dari emosi yang ia tahan sejak lama seolah satu detik lagi ia bisa meledak dan menghancurkan semua yang ada di dekatnya.“KAU TIDAK MENGERTI BAHASA MANUSIA, YA?!” bentakny. Suaranya yang serak dan berat menghentikan langkah Zoya secara paksa dan berbalik menatapnya dengan rahang mengeras. “Kalau kau mau aku bayar penalti karena mengabaikan kontrak, aku akan bayar! Aku akan bayar semua yang kau minta! Kau tidak perlu datang dan mengganggu hidupku!”Zoya sama sekali tidak goyah. Matanya yang gelap memantulkan amarah Dante, namun tatapannya tetap tenang, bahkan terlalu tenang untuk seseorang yang baru saja ditarik seperti boneka. Di matanya, Dante hanyalah target yang sudah dipahami polanya.Begitu Dante melepaskan cengkeramannya, Zoya segera mengibaskan tangannya seolah kulit Dante adalah debu yang menjijik
Hari itu dimulai dengan cengkeraman kasar Dante dan senyum manis yang dipaksakan Zoya. Sejak berhasil masuk ke rumah itu dan membuat Sarah percaya pada status yang bahkan tidak pernah ada, rumah terasa seperti miliknya sendiri.Ia datang hampir setiap hari. Kadang sore membawa kue, kadang pagi hanya untuk menyapa, kadang muncul menjelang makan malam dengan alasan kebetulan lewat. Dalam hitungan hari, keberadaannya sudah menyatu dengan rutinitas keluarga.Hal yang paling menyayat hati justru datang dari arah yang tidak diduga. Sarah yang biasanya formal dan sulit tertawa kini terlihat begitu hidup ketika berbicara dengan Zoya. Tawanya lepas, wajahnya bersinar, bahkan matanya sampai berkerut di sudut karena terlalu sering tersenyum.Pemandangan itu terasa asing bagi Chloe seolah orang yang membuat ibunya sebahagia itu bukan dirinya, melainkan wanita lain yang jelas tidak sebaik yang Sarah kira.Seolah Zoya adalah anak perempuan yang selama ini diinginkan Sarah. Penampilannya cantik, sup
Dante sudah berdiri kaku di ambang pintu. Aura gelapnya memenuhi teras yang seharusnya menyambut pagi hari dengan damai. Dan di sana, berdiri di bawah sinar matahari pagi adalah sumber kekacauan itu.Rambut sebahu Zoya yang dipadu dengan midi dress merah muda yang ia kenakan terlihat begitu kontras dengan suasana tegang. Ia terlihat cantik, sangat cantik, tapi kehadirannya di depan rumah ini terasa seperti minyak yang disiram ke kobaran api amarah Dante.Mata Dante menyipit. Tidak ada sapaan atau basa-basi. Hanya kemarahan murni yang merayap di wajahnya. Kedatangannya jelas merusak ketenangan pagi hari.Sesaat setelah Zoya tersenyum tipis—senyum yang sangat Dante benci—pria itu bergerak cepat. Tangan kokohnya menyambar pergelangan Zoya dengan cengkeraman keras dan hampir menyakitkan.“Pergi,” desis Dante dingin. Suaranya rendah dan penuh ancaman. Ia mulai menarik wanita itu menjauhi ambang pintu, berniat mengusirnya sejauh mungkin dari kediamannya.“Dante! Hentikan!”Langkah Dante ter
Pintu itu terbuka hampir bersamaan. Di satu sisi, Chloe melangkah keluar mengenakan piyama satin berwarna biru muda yang longgar. Rambut panjangnya dikuncir asal-asalan ke belakang, menyisakan anak rambut halus yang membingkai wajahnya hingga membuatnya tampak manis.Dante keluar dari kamar yang tepat berhadapan. Ia hanya memakai celana training abu-abu dan kaus putih polos yang memperlihatkan sedikit lengannya yang berotot. Rambut tebalnya tampak acak-acakan khas bangun tidur dan beberapa tindik perak kecil berkilauan samar di telinganya.Koridor lantai atas rumah itu terasa hangat oleh cahaya matahari pagi. Mereka berdua berdiri diam. Dipisahkan oleh lantai keramik yang dingin.Chloe menatap Dante yang balas menatapnya. Senyum mereka merekah, bukan hanya di bibir, tetapi juga terasa sampai ke mata.Ini adalah pagi yang baik.Setelah beberapa hari sakit, wajah Chloe terlihat segar dan cerah. Kulitnya kini merona sehat dan jauh dari pucat. Sementara Dante, meskipun belum sepenuhnya pu
Aroma debu yang terangkat oleh angin senja adalah hal pertama yang tercium. Dante tidak tahu di mana dia, tetapi di sana ada kehangatan yang lembut dan bunyi daun-daun yang bergesekan. Terasa akrab seperti bunyi detak jantungnya sendiri.Ia mendongak. Di atasnya ada kanopi pohon rindang menyaring cahaya matahari sore menjadi serpihan emas yang menari di wajahnya. Dan di sampingnya terdengar tawa itu.Dante melihat dirinya sendiri saat tiga tahun lalu. Ia sedang duduk di samping Chloe, di anak tangga belakang gedung olahraga, tempat yang selalu sepi sepulang sekolah.Chloe menyandarkan kepala di bahunya. Helai rambutnya yang beraroma vanila menggelitik leher Dante. Di jari manis kiri Chloe melingkae cincin kertas pemberian Dante."Sepertinya aku satu-satunya alumni yang sering datang ke sini," bisik Chloe.Dante melingkarkan lengannya di bahu gadis itu, lalu menariknya lebih dekat. Keindahan sore itu terasa seperti sebuah kanvas yang telah selesai dilukis oleh alam semesta. Di usia mer







