MasukLeon menarik nafasnya panjang lalu menghembuskannya pelan. Dia sengaja melakukan itu untuk mengatur emosinya.
Selanjutnya, dia melangkah santai menuju sofa untuk bergabung dengan istri dan kedua mertuanya.
“Ini rumahku, Pa. Kenapa harus takut untuk pulang?” jawab Leon santai, lalu duduk di depan Papa mertuanya.
“Setelah kamu sakiti putriku, beraninya kamu begitu?!” hardik Mama mertua Leon sambil mengacungkan jari telunjuknya.
“Sudah jelas aku katakan tadi ‘kan, Ma. Ini rumahku,” ucap Leon.
Papa Mertua Leon melempar air ke arah Leon, tepat mengenai wajahnya. Leon mengusap air itu dengan telapak tangannya, lalu menatap Papa mertuanya seolah menantangnya.
“Ini rumah putriku bukan milikmu!” seru Papa Mertua Leon dengan garang. Dia sangat marah karena putri yang sangat dia cintai harus disakiti oleh suaminya sendiri.
“Rumah ini dibangun olehku, bukan sepenuhnya milik putri kalian,” ucap Leon, berusaha tenang.
“Tapi sertifikat rumah ini atas nama putriku. Jadi kalau kamu berselingkuh, silahkan angkat kaki dari rumah ini!”
Leon menertawakan mertuanya. Jadi mereka marah hanya karena ingin menguasai rumah ini? Mereka pikir hanya karena rumah beratasnamakan Monica, lantas bisa mengusir Leon begitu saja?
“Kalau mengusirku, berarti aku dan Monica harus bercerai. Dan aku akan menuntut harta gono-gini di pengadilan,” ujar Leon.
“Tidak bisa!” seru Papa Monica, kesal.
“Kamu yang selingkuh, jadi kamu pergi dari rumah ini tanpa membawa apapun,” ucap Mama Monica tak terima.
“Tidak ada perjanjian tertulis antara aku dan Monica mengenai siapa yang selingkuh harus angkat kaki meninggalkan rumah ini,” balas Leon.
Leon tidak takut dengan kedua mertuanya. Justru sebaliknya, sekarang adalah waktu yang tepat untuk melawan mereka.
“Walau tidak ada perjanjian tertulis, kamu harus angkat kaki dari rumah ini hanya membawa diri!” tegas Mama Monica.
“Monica bicaralah. Sejak tadi kamu terus diam. Hanya orang tuamu saja yang bicara,” sindir Leon yang memalingkan wajahnya dari mertua ke istrinya.
“Aku masih punya orang tua, biar saja mereka mewakili aku untuk berbicara,” ucap Monica.
Leon menggelengkan kepalanya. Bukan jawaban seperti ini yang ditunggu oleh Leon.
Sejak dulu, Monica memang selalu mengandalkan orang tua. Apa-apa harus melalui orang tuanya.
“Kamu sungguh kekanak-kanakan, Monica. Kalau sudah berumah tangga seharusnya kamu tidak melibatkan orang tua dalam menyelesaikan masalah,” tegur Leon, penuh sindiran.
Monica diam saja.
“Siapa kamu berani berbicara seperti itu pada putriku? Apa kamu ingin menjauhkan putriku dari orang tuanya, hah!?” bentak Mama Monica.
“Aku suaminya. Jadi aku berhak menasehatinya. Jika urusan rumah tangga selalu ada campur tangan pihak luar seperti ini tidak akan langgeng,” ucap Leon dengan suara tinggi.
Orang tua Monica tidak terima dengan ucapan Leon. Walau sudah menikah, sampai kapanpun rasa sayang orang tua terhadap anak itu tidak akan terputus begitu saja.
“Terus kamu mau kami diam saja melihat Monica sedih diselingkuhi oleh kamu,” ucap Mama Monica.
“Kami akan terus ikut campur karena demi kebaikan kalian berdua,” imbuh Papa Mertua Monica.
“Mau sampai kapan Monica akan terus bersembunyi di balik ketiak orang tuanya untuk menyelesaikan masalah,” balas Leon sambil mengangkat kedua tanganya.
“Sampai kami bisa melihat hasil jerih payah kalian berdua sebagai suami istri kelihatan wujudnya,” ucap Papa Mertua.
“Harta terus yang dipikirkan, dari mulai kendaraan, rumah, sampai membeli baju pun harus diatur oleh kalian, keterlaluan sekali hidup kami seperti tidak punya privasi,” bantah Leon.
“Sudah seperti ini saja kami masih kecolongan kamu selingkuh, bagaimana jika kami tidak ikut campur dalam rumah tangga kalian berdua,” bentak Papa Mertua Leon.
“Bisa-bisa uangmu habis untuk berselingkuh dan Putri kami, Monica. Tidak mendapatkan apapun,” balas Mama Monica.
Leon terdiam sejenak, hatinya sangat kecewa terlebih terhadap Monica yang selalu apa-apa mengadu ke orang tua lalu mereka akan menghakimi secara sepihak tanpa tahu hal yang sebenarnya terjadi.
Padahal tadinya Leon ingin menyelesaikan masalah ini hanya berdua saja dengan Monica. Tapi siapa sangka, kedua orang tua Monica sudah berada di rumah untuk ikut campur menyelesaikan masalah perselingkuhan yang dilakukan olehnya.
“Semua yang kami punya ini adalah hasil kerja kerasku. Lalu uang gaji Monica itu kemana dia saja masih minta jatah bulanan terhadapku?” tanya Leon yang sudah muak dengan mertua dan istrinya.
Selama ini Leon sudah cukup untuk bersabar dengan hiruk pikuk rumah tangganya. Saat ini amarahnya keluar semua.
“Kamu sebagai suami kok itung-itungan. Bukannya sudah jelas kalau uang istri ya milik istri,” ucap Mama Monica.
“Iya, tugas suami itu menyediakan tempat tinggal, pakaian, dan makan untuk istri,” lanjut Papa Monica.
“Memang benar uang yang dihasilkan oleh istri adalah milik istri, tapi kemana perginya uang gaji Monica selama ini?” tanya Leon.
Tentu saja Leon harus bertanya Monica tidak transparan masalah gaji. Lalu apapun yang dibeli untuk keperluan rumah tangga semua memakai uang Leon. Belum lagi, saat tanggal gajian Leon tiba atau saat bonus dari perusahaan Leon cair. Orang tua monica sudah sibuk mengurus membeli ini dan itu serta mempersiapkan liburan keluarga.
“Kamu tidak usah mengurusi penghasilan istri, tugasmu ya menafkahi istrimu!” seru Mama Mertua.
“Menafkahi memang kewajibanku. Tapi yang namanya suami istri harus saling terbuka,” ucap Leon.
Perdebatan antara menantu dan mertua itu terjadi sengit. Leon tidak mau terus dipermainkan oleh keluarga istrinya seperti ini. Mertua terlalu ikut campur dan mengatur urusan rumah tangga dan penghasilan Leon. Sedangkan Monica selalu mengadu ke orang tuanya ketika ada masalah.
“Sudahlah Leon, intinya saja. Kamu memilih Monica atau selingkuhanmu?” tanya Papa Mertua Leon.
Leon menghela nafas panjang mengontrol emosinya. Lalu Leon menatap kedua mertuanya juga Monica yang terlihat sedang bergelendot manja di samping orang tuanya.“Aku memilih Dona,” jawab Leon mantap.Sontak saja Monica yang tadinya santai saja karena ada kedua orang tuanya langsung menegakkan kepalanya, matanya juga melotot saking kagetnya.“A-pa?” ucapnya tidak percaya. Monica melihat ke arah Leon lalu bergantian ke arah kedua orang tuanya.“Dasar lelaki brengsek. Aku tidak sudi putriku dimadu!” seru Papa Mertua Leon kesal.“Memangnya siapa yang akan memadu Monica. Bukankah tadi Papa memintaku memilih antara Monica dan Dona?” tanya Leon.“Jadi kamu mau menceraikanku,” jawab Monica yang air matanya langsung tumpah ke pipi.Leon tersenyum serta mengangguk pelan. Pertanda dia mengiyakan apa yang diucapkan oleh Monica barusan. Leon sudah lega bisa mengungkapkan perasaannya saat ini. Dia sudah terlanjur jatuh cinta pada Dona, wanita yang selalu membuatnya jatuh cinta lagi dan lagi.“Tidak b
Leon menarik nafasnya panjang lalu menghembuskannya pelan. Dia sengaja melakukan itu untuk mengatur emosinya. Selanjutnya, dia melangkah santai menuju sofa untuk bergabung dengan istri dan kedua mertuanya.“Ini rumahku, Pa. Kenapa harus takut untuk pulang?” jawab Leon santai, lalu duduk di depan Papa mertuanya.“Setelah kamu sakiti putriku, beraninya kamu begitu?!” hardik Mama mertua Leon sambil mengacungkan jari telunjuknya.“Sudah jelas aku katakan tadi ‘kan, Ma. Ini rumahku,” ucap Leon.Papa Mertua Leon melempar air ke arah Leon, tepat mengenai wajahnya. Leon mengusap air itu dengan telapak tangannya, lalu menatap Papa mertuanya seolah menantangnya.“Ini rumah putriku bukan milikmu!” seru Papa Mertua Leon dengan garang. Dia sangat marah karena putri yang sangat dia cintai harus disakiti oleh suaminya sendiri.“Rumah ini dibangun olehku, bukan sepenuhnya milik putri kalian,” ucap Leon, berusaha tenang.“Tapi sertifikat rumah ini atas nama putriku. Jadi kalau kamu berselingkuh, sila
Pertanyaan Leon membuat perasaan Dona tak karuan. Dia pun bingung ingin mengatakan apa. Dia cemburu karena sudah terlanjur jatuh cinta pada Leon, tapi Dona juga tidak ingin egois dan melanjutkan hubungan yang salah ini.“Apakah pantas aku cemburu pada istri sah?” tanya Dona, matanya kembali berkaca-kaca. “Kamu pantas cemburu karena kita adalah sepasang kekasih,” kata Leon sembari mengusap pipi Dona dengan lembut.“Tidak. Hubungan kita terlarang,” ucap Dona yang hatinya masih sedih ditampar kenyataan.Leon menatap Dona lekat. Ada perasaan bersalah atas cintanya terhadap wanita itu. Tapi baginya, pertemuannya dengan Dona adalah sebuah takdir yang sudah ditentukan.“Maafkan aku, Dona. Tapi bagiku mencintaimu bukanlah sebuah kesalahan,” ucap Leon pelan.“Bukan kesalahan bagaimana? Kamu sudah punya istri tapi dengan sadar mendekatiku!” hardik Dona.Andai saja waktu dapat diputar kembali, mungkin Dona akan mencari tahu lebih jauh mengenai identitas Leon yang sebenarnya. Seorang kepala divi
Leon menatap Dona yang pias, kekecewaan menghiasi wajahnya yang ayu.Pria itu menelan ludah ketika menjawab, “Ada alasan tersendiri kenapa aku membohongimu, Dona,” jawabnya lirih.Dona menggeleng tak percaya. Air mata jatuh membasahi pipinya. “Kembalilah pada istrimu, Leon,” pintanya. Sungguh, ia tidak mau terperosok lebih jauh ke dalam cinta terlarang ini. Jika sejak awal tahu Leon sudah beristri, Dona tidak akan menjalin hubungan dengannya.Namun, Leon justru menggelengkan kepala. “Aku tidak mau berhenti berpacaran denganmu,” ucapnya dengan nada tegas.Tidak hanya Dona, Monica juga tampak terkejut mendengarnya.“Ini tidak benar, Leon! Jika melanjutkan hubungan ini, sama saja aku menyakiti hati sesama wanita,” balas Dona. Ia mundur selangkah, hendak menjauh. Tapi Leon lebih dulu menahan tangannya.“Hubungan ini sudah benar,” ucap Leon keras kepala.Monica yang mendengar suaminya berkata seperti itu langsung menamparnya. Kekecewaan yang dirasakannya kian mendalam. Bahkan hingga deti
Dona sudah agak mengantuk, tapi Leon tampaknya masih enggan beranjak dari restoran itu. Pria itu terus bercerita, dan Dona mendengarkannya sambil tersenyum simpul. Ia suka mendengar suara berat Leon. Pria itu tampak lebih hidup, berbeda saat di kantor yang penuh wibawa dan terkesan dingin. Selain saat mereka bermesraan, tentu saja.Namun, suasana hangat dan menyenangkan itu mendadak buyar….Byur!Guyuran soft drink mendarat tepat di wajah Leon, membuat mereka terkejut dan sontak memisahkan diri.“Apa-apaan ini?!” ucap Leon, langsung berdiri mengelap wajahnya dan menatap siapa yang mengguyur minuman itu.“Dasar tidak tahu malu, bermesraan di tempat umum dengan wanita lain padahal sudah beristri!” seru wanita itu dengan lantang. Tangannya juga berusaha untuk menampar Leon tapi berhasil ditangkis oleh pria itu.“Monica…?” lirih Leon, masih dengan wajah kaget.“Iya, ini aku Monica, istri sahmu!” sahut Monica yang masih dipenuhi rasa amarah di dada.Dona membelalak melihat wanita yang me
Dona menatap wajah Leon yang terlihat serius mengatakan kesungguhan hatinya. Wanita mana yang tidak klepek-klepek mendengar pria yang diperebutkan banyak wanita malah memilih dirinya?“Apa betul seperti itu?” tanya Dona untuk meyakinan diri.“Tentu saja. Di luaran sana banyak wanita yang menyatakan cintanya padaku. Tapi pilihanku jatuh di kamu,” jawab Leon sembari menggenggam kedua tangan Dona dan mengecupnya dengan mesra.“Kalau begitu, wanita tadi hanya salah satu wanita yang mengagumimu?” tanya Dona sekali lagi, masih ada keraguan di wajahnya yang ayu.“Hmm,” balas Leon bergumam. “Sekarang ayo kita makan malam. Kamu pasti sudah lapar,” ajaknya kemudian.“Oke,” sahut Dona disertai anggukan kecil. Dia memang sangat lapar. Memikirkan kejadian hari ini membuat energinya terkuras.Ia lantas mengikuti Leon yang membawanya ke sebuah rumah makan yang menghidangkan makanan favoritnya. Leon langsung memesan makanan untuk makan malam mereka berdua.“Aku harap kamu juga suka gurame asam manis







