What Icarus wants is what he gets. And he wanted Diantha. At lahat ay gagawin niya upang maangkin ang dalaga. He does not give a damn if she is his younger brother's girlfriend. Diantha was his the moment he laid his eyes on her. Diantha was made for him. She's his to claim.
View MoreSekumpulan anak lelaki menertawakan. “Hahahah kalo lo bisa ambil sendal di pohon itu, kita nggak akan gangguin lo lagi,” jelas Haidan. "Lemah! Cewek kampungan!"
"Huuuh! Kampungan!" sahut Andre. Saat itu, Haidan menjadi anak kecil paling di takuti diusia sebayanya. Sikapnya menjengkelkan. Alana terus berupaya mengambil sandalnya di pohon. Haidan yang melemparnya. Walaupun sudah memanjat-manjat pohon tetap saja tidak terambil. “Ciah nangis, gitu aja nangis, lemah!” ejek Haidan. “Enggak! Alana nggak lemah! Kamu aja! Beraninya ke perempuan!” Hingga diikuti tangisan yang tersedu-sedu. “Bilangin—“ (ucap Alana langsung disergah Haidan). “Siapa? Emang aduan!” Membuat Haidan dengan paksa melepas sebelah sendal Alana dan melemparnya lagi. “Biar tahu rasa! Sana bilangin!” “Kamu kenapa sih? Gangguin Alana terus!” “Karena gue benci sama lo. Kenapa nggak terima?" Haidan mengangkat satu alisnya. Alana terdiam. "Ayo guys! Tinggalin aja anak lemah ini.” Haidan membalikan badannya. Mereka mulai berjalan menjauh. Hingga dimana, seseorang melemparnya dengan kerikil. “Aw!” Haidan melihat ke arah lemparan batu itu dilemparkan. “Woi! Beraninya!" Tatapan Haidan menatap Alana. "Oh ... jadi berani sekarang?" Alana menatap polos. "Apa? Emang Alana lakuin apa?" Seorang Anak Lelaki tiba-tiba saja keluar dari semak-semak. Sakunya dipenuhi oleh batu. “Ngapain? Berani lo? Sini maju!” Ia terus melemparkan batu kerikil. "Sini lo maju!' "Aduh! Aduh!" "Aduh!" "Aw!" Mereka berlarian. “Awas ya!” Membuat Haidan dan teman-temannya menjauh. "Gue tandain muka lo!"" Anak lelaki itu terus mengamati Haidan dan teman-temannya, perlahan mereka sudah tidak terlihat di pandangannya lagi. Kini lirikannya beralih menatap Alana. “Lagian ngapain sih kamu diem aja? Kan bisa lawan mereka! Kamu bakalan diem aja walaupun dibully? Lemah!" “Siapa sih kamu?” tukas Alana, seraya mengelap air matanya. “Lain kali lawan aja. Jadi perempuan lemah banget. Tinggal ambil batu, lempar.” Anak laki-laki itu memanjat pohon. Mengambilkan kedua sendal Alana yang tersangkut. "Nih pake lagi." Tanpa basa-basi Ia berjalan mengambil sepedanya di semak-semak tepat di depan Alana. “Dari tadi kamu di situ kok baru bantuin Alana?” tanya Alana. “Buat apa? Males.” Ia masih sibuk membersihkan sepedanya yang penuh dengan rerumputan. Lalu, Ia pergi. Alana penasaran. Ia mengikuti anak lelaki itu dari belakang seraya memberikan beberapa pertanyaan yang berada di dalam pikirannya. “Kok Alana nggak pernah liat kamu?” Ia menghiraukan pertanyaan Alana. “Kok kamu nggak jawab? Alana punya salah, ya?” Masih melakukan hal yang sama. “Kamu rumahnya di mana?” Ia menghentikan langkah kakinya. Raut wajahnya terlihat malas. “Kenapa? Sana pulang! Ngapain lagi? Mau diusilin anak nakal itu lagi?" Alana tersenyum manis seraya bertanya. “Kita boleh temenan, kan?” sambil mengajaknya bersalaman. Ia menghiraukannya. Melanjutkan lagi langkah kakinya dan meninggalkan Alana. “Aku hari ini main sama kamu, ya? Ya? Ya?" Matanya berbinar menanti sebuah jawaban. Tanpa menoleh Ia berucap. "Lupain aja. Kita nggak kenal juga. Sana pulang!" "Kok kamu gitu sih? Jahat banget!" "Karena aku nggak mau temenan sama anak lemah." Ia berjalan. Kini Alana tak mengikutinya lagi. "Pulang!" **** Sore itu sangat indah dan cerah. Sunset oranye menyinari wajah Alana. Gadis mungil itu tetap fokus pada mainannya yang baru yang dibelikan papanya, Fadli. "mau beli berapa? Tunggu yaa," ucap Alana, berimajinasi sedang melayani pembeli. "Silakan duduk." Takut hal sama kembali terjadi lagi, Alana menjadikan sandalnya sebagai alas duduk. Sejak dahulu, tidak ada anak perempuan seusianya, hanya ada anak-anak nakal, itupun diatas usia Alana. “Beli berapa? Satu ya? Oke tunggu ya, harap antri,” kata Alana lagi. Percakapan itu terdengar oleh Haidan dan teman-temannya. Haidan mengangkat kedua alisnya, sebagai kode bahwa mangsanya sudah ada di depan sana. “Idih si gila. Ngomong sendiri,” kata Andre, di barengi tawa. Haidan menimpal. “Enggak punya temen sampe gila gini, hahahaha." Raut wajahnya langsung berubah. Sandalnya dengan cepat Ia kenakan. Semua barang-barangnya Alana masukkan ke dalam tas. Melihat itu membuat Haidan tersadar. Tujuannya hanya satu, mengganggu Alana hingga menangis. Dengan cepat tangannya merampas sandal di kaki Alana. "Lepasin!" "Nggak!" teriak Alana. Haidan terus berusaha merampas sandal Alana. Hingga sandalnya berhasil Ia genggam. "Wleee! Ambil nih!" ejek Haidan. "Sini Haidan, lemparin sini." Andre menangkapnya. "Sini ambil!" Mereka terus mengoperkan sandal Alana. "Sini ambil!" ejek Andre. "Sini kalo berani ambil," ejek Galih. Sandalnya dioperkan lagi. Dengan tatapan yang tajam, Alana membalikkan badannya seraya berjalan menuju rumah. “Ambil aja. Sendalnya juga udah jelek, hitam dan buluk. Kalo kamu mau ambil, silakan. Sekalian cuci sana,” ketus Alana seraya menyilangkan kedua tangannya dan tetap terus berjalan. Mereka keheranan. Sikap Alana tak sama seperti biasanya. Tentunya membuat hatinya gundah. "Gue robek! Biar tau rasa!" ancam Haidan. "Robek ah," timpal Andre. "Boleh ... nih satu lagi." Alana melempar sendal satunya lagi. "Makan tuh sendal! Nggak punya uang buat beli sendal, ya? Kasian." Hatinya semakin gundah. Tak terima diperlakukan seperti itu, Haidan terus mengancamnya. “Yaudah! Gue robek-robek sandalnya, terus gue bakalan buang ke sungai!" Alana menghiraukannya. “Sendal kamu udah aku buang!!!” teriak Haidan. Alana membuka pagar rumahnya, lalu berbalik. “Berisik! Buang aja! Sana buang ke sungai!” Lalu, Alana masuk ke dalam rumahnya. **** "Jadi, bebek itu nggak punya teman seperti Alana ya, Papa?" tanya Alana polos, ketika Fadli selesai membacakan buku cerita sebelum tidur. Fadli menatap Alana. "Beda dong, Nak." "Bedanya apa? Sama-sama kesepian dan sedih, Alana juga rasain itu, Papa." Fadli tersenyum. "Tapi, bebek itu nggak punya Papa yang sayang seperti Papa ke Alana ... nggak punya Mama yang tulus seperti Mama ke Alana." "Bebek itu kasian ya, Pa." Alana menatap wajah Fadli. "Papa ... papa bakalan tinggalin Alana, nggak?" Alana menunjuk gambar bebek. "Mamanya kan udah pergi, Papanya juga ... Mama kan sering kerja, Papa kerja juga, tapi sering main sama Alana. Kalo Papa pergi, Alana gimana?" "Nggak dong sayang." **** Alana mencari Anak Lelaki itu lagi. Tetapi tetap saja sulit untuk ditemukan. Matahari sudah berada di barat. Keindahannya, akan di ganti dengan gelapnya malam. Alana akhirnya memutuskan untuk mengakhiri pencariannya dan pulang menuju rumahnya. Berjalan seorang diri seraya berandai-andai untuk bisa dekat dengan anak lelaki itu. Karena didekatnya Alana merasa aman. Melihat anak-anak bercanda ria bermain peperangan, perlahan membuat ukiran di dalam senyumnya. “Kapan ya ... Alana kan juga pengen punya temen,” kata Alana seraya mengayunkan kedua tangannya. "Kenapa sih nggak ada yang mau jadi temen Alana. Alana kan juga nggak nakal." Alana berjalan menuju rumah. Pandangannya tak lepas pada anak-anak itu. Brughh!!!! “Papa!” jerit Alana. Tubuhnya tersungkur dalam kerikil.ICARUSI was holding my breath as I stared at Diantha's naked body. I knew she would have this effect on me, that I would be feeling like this the moment I see her naked, and I foolishly thought that I'll be able to take it, that I'll be able to keep on doing what I have been doing since yesterday, that I'll be able to behave until she finally gives in to me, but I was wrong. I was so fucking wrong. Because it hasn't even been a minute since I undressed her and yet my body's already in fucking heat; my breathing going fast, and my manhood getting hard.But who can blame me? It's been so long since the last time I saw her naked and tasted her body that even a simple glance on her bare legs was enough to make me go crazy with lust. Paano nalang ngayong kitang-kita at klarong-klaro na ng mga mata ko ang buong kahubdan niya.The horny and degenerate side of me was telling me to just go and own Diantha again, but the sensible, at least a little, side of me not to do anything that'll ruin m
DIANTHAUmabot ng dalawang oras ang inuman ko kasama si Icarus at ang mga trabahador.Wala naman talaga akong balak na uminom at magpakalasing. Ang gusto ko lang naman sana ay makipagkwentuhan sa mga trabahador. Ngunit pagkatapos ng mga sinabi ni Icarus, my need to get drunk had been awakened, and so, now here I am, letting Icarus help me, even though that's the last thing I wanted right now, because I can't walk on my own anymore. I mean, I tried getting to my room all by myself, but I hadn't even taken my second step yet, and I already felt like the world was fucking spinning.I am quite sure if the others have already gone home. I swear I heard them say goodbye and good night to me, but I wasn't sure if it's because they're going home already or because I'm going to my room and sleep.But whatever, they can take care of themselves naman na. I should only be worrying myself, lalo na't pakiramdam ko anumang oras ay bibigay na ang mga tuhod ko.I felt Icarus's hand on my waist tighten
DIANTHAHindi maalis ang ngiti sa aking mga labi habang nakatingin ako sa mga trabahador na nagkakantahan habang nag-iinuman.After eating, doing some karaoke, and taking the dance floor, most of the workers had already gone back to their homes. Now, there were only less than ten left on the outside of Icarus's home, where my welcome party had been held, and they had decided to drink some more.They formed a circle around the table, where two pitchers of mixed lime juice and brandy and four plates of sisig and lechon had been set. Sa harap naman mismo ng lamesa ay doon nakaupo ang isa sa mga lalaking trabahador na siyang naglalagay ng alak sa iisang baso, na iniikot sa bawat isa na nakapalibot sa lamesa."Did you enjoy your welcome party?"Bahagya akong nagulat nang bigla akong tanungin ni Icarus, na hindi ko namalayang nasa likod ko na pala.He was with Ruby and Aling Gemma, Ruby's mother, just a few moments ago, helping the two na alalayan si Mang Berto, Ruby's father, dahil halos h
DIANTHAI grabbed a knife for myself, then stood beside Icarus again, and started peeling the vegetables that he bought. And since I didn't want the silence and I also didn't want the atmosphere around us to get awkward again, especially since Icarus seemed to be in a really good mood, I started another conversation."The meat and these vegetables all looked fresh," I said, which I know was pretty lame to start up another conversation, but I can't think of any other topic.Thankfully, Icarus did not mind. In fact, okay nga siguro sa kanya kahit ano pa ang pag-usapan namin basta lang makapag-usap kami.Without looking at me and still cutting the meat, "They indeed are all fresh. Itong mga manok at mga baboy ay bagong katay lahat, habang ang mga gulay naman ay bagong ani lang. As for the fishes, well, ang sabi ni Ate na nagtitinda ay bagong huli daw kaya sariwa pa, at mukhang totoo naman base sa itsura ng mga isda."Tumango-tango ako habang nakapokus ang aking tingin sa hinihiwa kong si
"Hey!" pagtawag ko sa atensyon ni Icarus, na nasa kusina at abala sa paghiwa ng mga iba't-ibang uri ng karne. From pork, chicken, and beef. There's also tons of seafood, which I could guess was one of the many things he bought when they went to town.Nilingon ako ni Icarus, surprise written all over his face. Well, he was so focused on cutting the meats that he probably didn't hear my footsteps."Hey," tugon niya. "Is there anything you need?" Tanong niya."Wala naman," sagot ko naman sa kanya."Okay," he responded before going back to cutting the meat.I made my way towards him and stood right beside him. I looked at the bunch of meat he was cutting and was going to cut and commented, "That's a lot. May okasyon ba?"Of course I acted as if I knew nothing, as if hindi pa nasabi sa akin ni Klarisse ang tungkol sa welcome party na para sa akin. Para just in case that it really is supposed to be a surprise, hindi mapapagalitan si Klarisse.But to my surprise, Icarus answered me with hone
DIANTHAMy first day at Icarus's hacienda was quite eventful. Pagkatapos naming mag-agahan ay ipinasyal ako ni Ruby sa buong hacienda. Icarus told me that he wanted to do it himself—giving me a tour around the hacienda—but because there was something important he needed to attend to, si Ruby nalang ang inatasan niya na magpasyal sa akin.Actually, sa una ay tinanggihan ko pa siya nang sabihin niya na ipapasyal ako sa hacienda. As much as I love being toured around, ayoko namang makaabala sa trabaho ni Ruby, since I thought that touring me around doesn't mean she would be spared from working at Icarus's house and that even though she would be tired from touring me around, she will still have to work. Ngunit tila nabasa ni Ruby ang nasa isip ko, so she immediately said, "Kung iniisip po ninyo na makakaabala po kayo sa akin, Ma'am, ay, wag po. Gustong-gusto ko po na ipasyal kayo sa buong hacienda. Sa katunayan nga po ay kahapon pa po ako excited na ipasyal kayo.""Pero may trabaho ka. Ay
Maligayang pagdating sa aming mundo ng katha - Goodnovel. Kung gusto mo ang nobelang ito o ikaw ay isang idealista,nais tuklasin ang isang perpektong mundo, at gusto mo ring maging isang manunulat ng nobela online upang kumita, maaari kang sumali sa aming pamilya upang magbasa o lumikha ng iba't ibang uri ng mga libro, tulad ng romance novel, epic reading, werewolf novel, fantasy novel, history novel at iba pa. Kung ikaw ay isang mambabasa, ang mga magandang nobela ay maaaring mapili dito. Kung ikaw ay isang may-akda, maaari kang makakuha ng higit na inspirasyon mula sa iba para makalikha ng mas makikinang na mga gawa, at higit pa, ang iyong mga gawa sa aming platform ay mas maraming pansin at makakakuha ng higit na paghanga mula sa mga mambabasa.
Comments