Share

02. Lima Orang Anak

    Birdben adalah desa di mana aku dilahirkan dan dibesarkan. Tak ada yang spesial di desaku ini. Bahkan pemukiman manusia yang terletak di dalam hutan ini pun tak lebih luas dari lapangan golf skala sedang.

    Yang membedakan desaku dari desa-desa di wilayah lain seperti desa Nyalzh, desa Azwath, dan desa Banshee yang letaknya ada di sebelah Utara dan Selatan hanyalah pagar kayu setinggi 20 meter yang bertujuan melindungi kami semua dari serangan makhluk asing. Contohnya seperti serigala, beruang, atau dari serangan goblin yang telah menjadi momok warga desa ini sejak puluhan tahun yang lalu.

    Walau hanya terbuat dari kayu, setidaknya pagar tersebut bisa melindungi kami semua dari ancaman makhluk buas di luar sana. Tapi, kenapa tidak dibuat dari batu saja, ya? Bukankah batu lebih kuat dan kokoh? Bahkan jika ada banteng yang membenturkan kepala beserta tanduknya ke dinding, maka dinding itu tidak akan runtuh.

    Yah, aku tahu jika menggunakan bebatuan apalagi membeli material lainnya di ibukota itu akan menyita banyak waktu juga uang. Ah, ya, aku lupa memberitahukan jika sebenarnya desaku ini dahulunya juga pernah diserang oleh binatang yang muncul dari hutan Lakebark. Selain menjadi tempat persembunyian para goblin, hutan itu juga menjadi tempat bersarangnya para beruang grizzly yang kelaparan.

    Sebenarnya beruang itu merupakan hewan yang melakukan hibernasi. Mereka melakukannya pada saat musim dingin demi menghemat energi yang ada di tubuh besar mereka, karena selama musim dingin itu seringkali makanan di habitat mereka menjadi langka dan susah didapat.

    Yah, sebenarnya aku hanya membagikan apa yang kudengar saja dari Nenek, bukan berarti aku meyakini di dalam hutan Lakebark itu ada goblin atau makhluk yang serupa dengannya. Aku tak ingin mempercayainya bahkan jika kenyataan itu sama sekali tidak mengancam nyawaku.

    Aku masih berharap cerita tentang desaku yang diceritakan oleh nenekku ini hanyalah omong kosong belaka darinya. Siapa yang akan percaya dengan wanita tua yang isi otaknya dipenuhi dengan hal-hal tak masuk akal?

    Bukannya aku membenci nenekku sendiri, hanya saja aku tak suka dengan caranya memperlakukanku seperti anak nakal yang harus selalu diberikan nasihat tentang dunia dan isinya. Terutama memberikan kisah mengerikan yang mampu membuatku tak bisa tidur semalaman!

    Kisah tentang beruang yang menyerang warga itu aku juga tidak bisa mempercayainya, karena di buku sejarah yang ada di sekolahku tak pernah tercatat kasus seperti itu pernah terjadi di desa ini.

    Kecuali jika beruang itu gagal berhibernasi dan sangat kelaparan. Maka beruang ini akan mulai beralih ke sumber makanan yang tidak ditemuinya dan tentu saja itu bukanlah makanannya yang biasa, tapi kenyataannya manusia juga tidak cocok menjadi salah satu mangsa beruang. Sebab, serangan predator oleh beruang pada manusia itu sangat jarang, guru matematikaku pernah berkata demikian.

    Jadi, tak ada cerita yang bisa kupercayai saat ini. Tidak goblin, tidak juga beruang.

    ***

    Kicauan burung masih terdengar menyapa gendang telinga, saling bersahut-sahutan menyanyikan melodi berirama. Suara ternak yang ribut di dalam kandang memancing beberapa orang peternak untuk memeriksa seluruh area peternakan, takut jika di sana mereka menemukan anjing liar kelaparan yang sedang memakan seekor ayam untuk menjadi santapan paginya setelah beberapa hari tak mengisi perut yang hanya terbalut dengan kulit, hingga tulang rusuknya terlihat.

    Aroma kayu bakar menguar keluar dari cerobong asap rumah-rumah warga, dengan berbagai aroma masakan yang khas dan membuat perut menjadi bergejolak.

    Rutinitas di pagi hari yang biasa saja bahkan sering dijumpai di pemukiman penduduk yang berada jauh dari kota. Desa kecil yang damai serta hanya mengandalkan apa yang didapatkan dari alam sekitar juga hewan ternak yang daging dan susunya yang menguntungkan.

    Sama seperti hari-hari sebelumnya, tak ada yang spesial di pagi Minggu yang tampak cerah ini. Orang-orang masih beraktivitas seperti biasa dan aku senang karena masih bisa menghirup aroma pagi hari yang dipenuhi dengan bau khas petualangan.

    Hari itu, aku dan teman-temanku berjanji akan bermain di dekat perbatasan hutan Lakebark.

    Kami akan memainkan permainan Gorodki, yaitu sebuah permainan yang menyerupai permainan bowling atau permainan yang dimainkan dengan cara menggelindingkan bola khusus menggunakan satu tangan, tetapi Gorodki ini berasal dari negara Rusia saja.

    Permainan ini memang terlihat cukup sulit bagi orang-orang yang tak tahu cara memainkannya.

    Padahal, cara memainkannya cukup mudah.

    Pertama, lima batang kayu akan disusun dalam sebuah kotak seluas tiga meter persegi yang disebut dengan Gorod. Kemudian, dari jarak sekitar 10 meter, seorang pemain harus menumbangkan susunan batang kayu tadi dengan menggunakan tongkat kayu panjang yang disebut dengan Gorodki.

    Setiap pemain dalam permainan ini akan diberikan kesempatan untuk menumbangkan kayu-kayu tersebut sebanyak tiga kali. Jika ternyata tak ada yang bisa menumbangkan kayu-kayu itu, maka timnya akan kalah dan yang menang bisa mengambil keuntungan dari kekalahan tim lawan. Permainan ini bisa dimainkan berdua saja, bisa juga dimainkan beregu. Yang penting bermainnya jangan sendiri, nanti dikira gila.

    Yah, karena aku tidak mungkin bisa memainkannya seorang diri, maka aku kemudian mengajak keempat orang sahabatku yang juga memerlukan sebuah sarana hiburan dari kota yang tak ada apa-apanya ini dan kemudian kami akan memutuskan sendiri cara bermainnya.

    Yang kalah maka wajahnya akan dicoret menggunakan spidol warna merah yang tidak permanen. Sebenarnya tidak harus di wajah, bisa juga dilakukan di bagian tubuh yang mana saja. Terserah kepada sang pemenang pokoknya, karena dialah yang akan memutuskan melukis di sebelah mana.

    Intinya dalam permainan ini, karena aku yang mencetuskan peraturannya pertama kali, maka akulah yang harus menjadi pemenang dan mencoret muka tim lawan. Bukankah menyenangkan jadi seorang pemenang dan mendapatkan apa yang kita inginkan? Hehehe.

    Yah, aku tak sabar ingin menunjukkan bakat seniku kepada semua orang. Diawali dengan hal-hal kecil dulu, misalnya seperti melukis di wajah Ivanoff, mhuhehehe. Semoga aku tak di satu tim dengannya.

    Aku lupa membagikan hal penting, aku punya empat orang sahabat di desa ini. Merekalah yang membuatku betah tinggal di tempat yang tidak ada wahana apa pun selain permainan tradisional. Teman-temanku itu sama penakutnya denganku, kau tahu? Mereka tidak suka dengan kisah Nenek yang kuberikan kepada mereka. Bagi mereka, itu mengerikan. Yah, memang penakut, kecuali salah seorang di antara mereka. Namanya Ivanoff, dia tak pernah takut dengan apa pun.

    Karena teman-temanku itu penakut, mereka tidak suka saat aku mencetuskan ide bahwa kami akan bermain di sebuah lapangan kosong yang letaknya terlalu dekat dengan hutan Lakebark. Suara-suara aneh terkadang menyapa kami dan itu berasal dari hutan terlarang itu, suaranya sangat mengerikan padahal saat itu siang hari. Namun setelah mengawasi sekitar selama beberapa saat, akhirnya teman-temanku setuju untuk bermain di dekat sana.

Toh, tak akan ada yang terjadi pada siang hari.

***

    Sesuai rencanaku, aku akan berbeda tim dengan Ivanoff, dan aku memilih untuk menggabungkan kekuatanku dengan Deinn, bertanding melawan Albert dan Ivanoff. Alasan kedua mengapa aku sengaja mengajaknya adalah karena jika Deinn dan kakaknya—Albert—bersama, maka mereka akan menang dengan mudah.

    Mereka itu cerdas dan berbakat. Sekali lihat saja, mereka akan mengerti cara mainnya. Itulah mengapa aku ngeri jika mereka satu tim.

    Salah seorang temanku lagi akan menjadi juri dalam permainan ini, sebab tak mungkin kubiarkan anak perempuan bertanding melawan anak laki-laki.

    Aku pernah cerita sebelumnya, bahwa kami mulai senang bermain di perbatasan desa dan hutan Lakebark. Suasananya begitu tenang dan memberikan kami kekuatan untuk memainkan suatu permainan, misalnya gorodki yang memerlukan penglihatan yang tajam dan otot lengan yang kuat.

    "Deinn, sekarang giliranmu!" Kuberteriak kepada teman sereguku, Deinn.

    Anak lelaki bermata hijau laksana zamrud yang berkilau terang itu tengah menatap serius pada balok-balok kayu yang berdiri beberapa meter darinya. Tangannya menggenggam tongkat gorodki dengan erat. Sekilas, postur tubuhnya bak seorang profesional yang sedang bersiap melakukan serangan dalam permainan golf.

    Begitu Deinn mengayunkan tongkatnya, dalam sekejap susunan balok kayu di depannya pun jatuh berantakan.

    "YES!" Aku bersorak gembira ketika teman satu timku itu berhasil menumbangkan susunan balok kayu milik lawan. Jika sebelumnya saat giliran tim Ivanoff dia berhasil menumbangkan dua milik kami, maka Deinn dengan bangga menyapu habis semuanya.

    "Kerja bagus!" Aku menghampiri Deinn, dan melakukan high five dengannya.

    "Bagaimana seranganku tadi?" Deinn bertanya dan kumenepuk pundaknya bangga.

    "Sempurna! Kau jenius, Deinn!"

    Kemudian kami berbalik badan dan langsung menggoyangkan pantat kami di depan Albert dan Ivanoff, sebab kami telah berhasil mengalahkan mereka. Keduanya memasang ekspresi masam, tak suka dengan pemikiran bahwa aku dan Deinn akan menggambar di wajah tampan mereka. Hahaha, rasakan!

    Sesuai perjanjian kami di awal, yang menang akan mencoret wajah lawan dengan spidol merah. "Hei, awas kau! Jangan gambar aneh-aneh!" ancam Ivanoff sambil menatapku tajam. Ancamannya hanya membuatku tertawa. Tentu saja aku akan menunjukkan bakat seniku~

    Begitu menyelesaikan lukisan di wajah Albert dan Ivan, kami berlima pun memutuskan beristirahat di bawah sebuah pohon besar yang rindang. Aku duduk bersebelahan dengan Elena, seorang gadis kecil berusia 5 tahun. Dia memiliki rambut emas yang indah, poninya panjang dan anak rambut di sisi wajahnya membingkai pipinya yang bulat. Bibirnya tipis dan warna matanya yang cokelat keemasan pun terlihat berkilauan.

    Elena merupakan sahabatku sejak 2 tahun silam, ketika dia masih balita. Keluarga kami sangat dekat dan rumah kami pun bersebelahan. Dia begitu cantik layaknya peri yang baik. Darinyalah aku tahu tentang dongeng seorang putri yang mencium kodok jelek yang kemudian berubah menjadi pangeran tampan yang jago menunggangi kuda.

   "Tadi menyenangkan, ya?!" Elena di sampingku angkat bicara dengan ceria, ia tersenyum secerah matahari pagi. Betapa cantiknya. "Aku bosan melihat kalian bermain, seharusnya aku juga ikut tadi!"

    Tangannya yang mungil memetik bunga-bunga liar di sekitar kakinya, lantas mengumpulkannya. Kulihat dia tak tertarik dengan bunga-bunga yang hanya dikumpulkan olehnya itu.

    "Iya, menyenangkan," sahut Albert dengan senyum ramah. "Tentu, kau harus mencobanya nanti, Len."

    Di antara yang lain, Albert lah yang paling dewasa. Kakaknya Deinn ini memiliki ciri fisik yang sedikit berbeda dengan adiknya. Iris matanya berwarna biru, di pipi dan hidungnya terdapat bintik-bintik berwarna cokelat.

    Deinn dan Albert itu kembar non-identik. Walau dari luar terlihat berani, faktanya adalah keduanya hanyalah para penakut dari kota. Pernah suatu ketika, di awal perkenalan kami dengan mereka yang baru saja pindah ke desa Birdben setelah menghabiskan beberapa tahun hidupnya di salah satu kota di Jerman, aku menceritakan sebuah kisah seram yang kudapat dari nenekku pada mereka berdua.

    Kupikir mereka tidak akan terkejut dan bersikap biasa saja, sebab mereka dari luar negeri. Nyatanya reaksi mereka begitu lucu. Deinn menangis ketakutan sambil menutupi wajahnya, sedangkan Albert mengucapkan sumpah serapah dalam bahasa Prancis yang tidak kami ketahui artinya.

    Ivanoff juga seorang pendatang dua tahun yang lalu, dia pindahan dari tempat yang kuketahui sebagai kampung halaman Nenek. Apa mereka punya sejenis hubungan, kerabat misalnya? Soalnya mereka berdua suka sekali membuatku takut!

    Ivanoff dan keluarganya sama-sama berasal dari bangsa Slavia, dan sama seperti Nenek, dia juga suka "mendongeng". Semua yang dia ceritakan begitu seram, bahkan sukses membuatku dimarahi Ibu karena menjadikan tempat tidurku basah setiap malam.

    Kau pasti mengerti maksudku.

    ***

    Tak biasanya, Elena yang ceria terlihat murung saat bermain. Aku yang menyadari perubahannya itu dengan cepat mengajak yang lain untuk berkumpul dan mendengarkan apa yang mengganggu gadis kecil itu, tapi Elena memilih diam.

    Ivan bertanya di sela tawanya, "Ada apa? Kau takut pulang ke rumah sendirian dan menemui monster di jalan?"

    Aku segera memelototinya, jika dia sudah tertawa seperti itu, dia pasti akan mulai bercerita.

    Elena menggeleng, mulutnya masih terkunci. Aku kemudian memeriksa keningnya, tapi suhu tubuhnya normal, tidak seperti orang sakit. Lantas, ke mana perginya keceriaan itu?

    Ivan yang semula duduk di sebuah batang pohon tumbang, beranjak menghampiri kami. Ia lalu duduk bersila dan memulai aksinya, "Kau kenapa?" tanyanya berbasa-basi. "Aku tahu sebabnya, kau pasti takut dengan hantu yang akan merayap keluar dari kolong tempat tidurmu malam ini, atau bisa saja kau akan takut dengan bola mata besar yang mengintipmu dari sela-sela bawah pintu kamar."

    "Apakah aku benar, Len?"

    Elena meringis, dan dengan cepat menutup telinganya. Ia terlihat ketakutan, aku yang membayangkan kata-kata Ivanoff pun merasa demikian. "Hei, hentikan!" Aku langsung menggertak Ivan dan memintanya untuk berhenti.

    "Kenapa? Kau juga takut, Ron?" Pertanyaan Ivan serasa menghujam jantungku.

    Aku memang takut mendengarnya. "Ti-tidak! Siapa yang takut?!"

    Ivan mengerutkan alisnya. "Kau selalu takut dengan ceritaku," balasnya.

    "Sudah kukatakan, aku tidak suka mendengarnya!"

    Keadaan mulai memburuk, beruntung Albert segera melerainya. "Sudah, sudah, kalian tidak boleh bertengkar."

    Karena tak ingin ada perkelahian di antara kami, Elena yang semula diam memperhatikan sepertinya memutuskan untuk bercerita. "Kumohon ... jangan berkelahi teman-teman," pintanya dengan suara rendah. Perhatian kami pun kembali teralihkan hanya padanya. "Aku seperti ini karena ... ada yang sedang kupikirkan."

    "Apa yang kau pikirkan, Len?" sembur Ivan tiba-tiba, Albert dengan segera menyikut perut anak itu. Rasakan!

    Elena mengembuskan napas secara perlahan, seolah berat mengutarakan isi pikirannya. "Sebenarnya ... aku ketakutan karena teringat dengan cerita nenek Bertie, neneknya Aaron." Elena berkata dengan pelan, seolah tak ingin membuatku tersinggung.

    "Nenekku cerita apa padamu, Len?" tanyaku penasaran. Cerita apa yang membuat Elena menjadi murung seperti ini?

    "Nenek bercerita tentang ... malam bulan purnama yang akan tiba sebentar lagi, juga ... ritual pemujaan warga desa Birdben yang sakral."

    Aku tercengang, ternyata Nenek juga menceritakan cerita itu kepada Elena! Dia tak hanya ingin melihatku menangis, tapi dia juga ingin membuat anak orang menangis, sama seperti cucunya.

    "Lalu, apa yang kau takutkan, Len?" Albert bertanya dengan lembut. Dia memang paling bisa menenangkan orang lain, bahkan jika dia sendiri juga terguncang.

    Elena menggeleng pelan. "Tak ada yang tak merasa takut ketika membayangkan para makhluk kegelapan akan tiba, dan membawa beberapa orang dari desa ini dalam sebuah ritual pengorbanan," jelasnya sendu. "Ritual itu nyata dan akan tiba sebentar lagi ...."

    Ketakutan Elena sama seperti kudulu saat mendengar cerita itu untuk pertama kalinya, kini setelah mendengarnya ratusan kali, aku pun yakin itu hanyalah bualan yang dikisahkan oleh seorang wanita tua.

    "Jangan dipikirkan," ucapku sambil menepuk pundak Elena. "Itu hanya cerita lama."

    "Tapi--"

    "Tak apa, Elena. Beliau hanya sedang bermain-main denganmu." Albert turut memberikan dukungan agar kepercayaan diri Elena kembali lagi. "Tak mungkin cerita itu nyata dan akan terjadi kepada kita semua."

    Deinn yang tak banyak bicara pun mengangguk, membenarkan ucapan sang kembaran. "Ya, Elena. Kau sendiri tau jika nenek Aaron itu senang sekali bercanda. Benar begitu, Ron?"

    Aku mengangguk mantap dan membalas, "Ya! Nenekku orangnya humoris sekali!"

    Secara tak sengaja aku melihat ekspresi Ivan, dan yang kudapati hanyalah ekspresi tak biasa darinya.

    "Terima kasih, teman-teman." Rona bahagia kini telah kembali lagi di wajah sang peri, membuatku lupa dengan ekspresi yang baru saja kulihat dari Ivanoff. Dengan segera, kupeluk Elena dan membisikkan kalimat agar dia selalu kuat menghadapi keadaan.

    Teman-teman yang lain mengikutiku memeluk Elena dan kami berlima pun saling berpelukan. Senyum di wajah kami begitu damai. Kami sangat menikmati kebahagiaan ini, sebab masa kecil takkan pernah bisa diulang kembali. Namun, ada sesuatu yang masih mengganjal pikiranku.

    Kapankah malam bulan purnama dengan sinarnya yang terang itu akan terjadi?

    Mungkin, hanya orang-orang tertentu sajalah yang lebih tahu menahu akan hal itu. Padahal, jika diberitahu dengan informasi resmi, tentu semua orang bisa menghindari malam itu, kan?

Semua orang pasti bisa selamat. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status