Share

Hadiah Madu Untuk Suamiku
Hadiah Madu Untuk Suamiku
Penulis: Junatha Rome

Bab 1: Ujian itu bermula

“Zein... mengapa kamu meninggalkan aku? apa kamu tahu aku membutuhkanmu Zein,” ratap Inda pada pria tampan yang telah menghilang selama 2 tahun silam.

Hari itu begitu indah, cerah nan sejuk yang terlihat hanya pemandangan alam dengan kabut putih yang tersorot cahaya matahari. Inda berjalan menyusuri taman bunga yang terhampar sejauh mata memandang. Ia duduk di kursi kayu tepat di bawah pohon yang daunnya berwarna kemerahan, entah apa namanya,  yang jelas pohon itu adalah pohon satu-satunya yang berada di taman bunga tersebut.

Pria tampan dengan rambut sedikit panjang, bagian depan terbelah dua ala Angga Yunanda, kulitnya putih tubuhnya berisi, semakin terlihat perfect dengan outfit kaos dan celana jeansnya. Ia menghampiri wanita yang tengah duduk menatapi bunga, lalu duduk di sampingnya dan menggenggam tangannya. Sambil menatap pria itu dalam-dalam ia balas genggamannya erat, lalu memeluknya sambil terisak.

“Inda, aku tidak akan pernah membiarkanmu tersakiti, aku tetap bersamamu disini. Tapi maaf saat itu aku harus pergi, karena cita-citaku belum tercapai. Aku selalu menyayangimu, aku ingin terus bersamamu,” jelasnya sambil memegang tangan Inda dan tatapan yang penuh kasih.

“Tapi, sekarang aku sudah menikah Zein! Tidak ada gunanya kamu menyatakan cinta lagi,” ujarnya, matanya menatap sendu pada Zein.

“Aku akan tetap menyayangimu!” kekeh Zein meyakinkan.

Air mata Inda terus berderai, mengingat Zein adalah pria impian yang selalu membuatnya bahagia. Namun sayang, ia sirna, tenggelam di ujung lautan.

“Astaghfirullahal adzim!” kumandang subuh menyadarkan Inda dari mimpinya.

“Huff... memang pria impian,” lirihnya sambil menghela nafas.

Di sampingnya terlihat pria lain yang masih tertidur pulas.

Benar, dia adalah suamiku, lebih tampan dan menawan dari Zein. Gumamnya dalam hati sambil tersenyum.

***

Rutinitas harian mereka sangat padat, hingga membuat mereka sulit untuk saling bercerita meski di sela-sela kesibukan. Menjelang tidurlah kesempatan keduanya untuk berbagi cerita tentang hari ini, hingga hal yang tidak penting sekalipun.

“Mas... mas sudah mulai bicara dengan Umi dan Abi soal kita ingin melanjutkan S2 kita di Mesir Mas?” tanya Inda yang sedang duduk di meja rias sambil menyisir rambutnya, memulai percakapan.

“Pernah, tapi belum serius  banget ngobrolnya. Besok coba Mas bicarakan lagi dengan Abi,” jawabnya sambil merebahkan diri di bad ranjang.

“Oke Mas, tapi... tolong yakinkan mereka ya Mas,” pinta Inda mulai bermanja.

“Iya sayang... mas usahakan. Sini tidur, jangan bersolek terus,” goda Jiddan sambil menepuk bad ranjang sebelahnya yang masih kosong.

Esoknya, sepulang mengajar di pesantren milik abinya, Jiddan mampir terlebih dahulu ke rumah orangtuanya itu, hanya untuk menyampaikan pembicaraannya semalam.

“Assalamu’alaikum Umi,” ucapnya sambil mendekatkan wajah ke sela-sela pintu kayu.

 Tanpa mengetuk pintu, beberapa detik ia menunggu jawaban, lalu mengulanginya sekali lagi, hingga terdengar suara yang mendekat  dari balik pintu tersebut.

“W*’alaikumussalam Nak, masuk Nak, kebetulan kami lagi mempersiapkan makan siang nih,” jawab wanita paruh baya yang tengah membukakan pintu untuk putranya.

Kemudian Jiddan mencium tangan wanita paruh baya yang terlihat masih cantik itu. Harum tangannya masih tetap sama, parfum Sabaya dari Mekkah yang membuatnya terngiang-ngiang saat di Mesir lalu.

 Jiddan berjalan menuju ruang keluarga, mendekati abinya yang sedang duduk di sofa, dengan pakaian sederhananya, dikhiasi tasbih yang selalu berputar di tangan kanannya, membuat aura wibawanya begitu terpancar.

Jiddan mulai menyampaikan niatnya pada kyai yang berwibawa di depannya tersebut. Setelah semua tersampaikan, tidak menunggu lama dan basa-basi, kyai Nur langsung menanggapinya.

“Umi sudah bercerita pada Abi soal kalian ingin ke Mesir, Umi setuju, tapi menurut Abi, tetaplah di sini Jiddan, pesantren ini kamu yang kembangkan, kalau kamu berkenan lanjutlah s2 di dekat sini saja, agar kalian masih bisa membantu Abi, kalian tahu sendiri, Umi khususnya Abi ini kan sudah mulai tua Nak, cobalah pikir-pikir lagi,” tutur kyai Nur santai penuh harap.

Mendengar jawaban abinya,  Jiddan tidak bisa berkutik, mau tidak mau dia harus mematuhi orang yang amat ia hormati itu,di sisi lain ia tidak ingin mematahkan impian Inda yang ingin terus belajar.

“Baik Abi, akan Jiddan pikirkan lagi , terimakasih Bi, izin pamit pulang dulu Bi,” Jawab Jiddan kemudian mencium tangan abinya.

***

Hari-hari terlewati seperti biasa, sudah seminggu, Jiddan baru bisa  membahas tentang keberangkatan mereka ke Mesir, karena segala Kemungkinan  masih ia pertimbangkan sebelumnya.

“Tentang S2 kita, Abi menyarankan kita untuk melanjutkan S2 di sini, sambil membantu Abi dan Umi. Lalu sedikit-sedikit kita bisa membangun rumah di dekat pesantren,” jiddan mulai menjelaskan maksudnya pada Inda.

“Kita kan sudah membuat komitmen Mas,” pintanya itu dijawab ketus oleh Inda.

“Kamu sudah janji Mas, bahwa pernikahan kita tidak akan mengganggu cita-cita kita! Di sanalah cita-cita aku Mas, masih banyak yang harus aku cari di negeri Kinanah sana, Mas pasti tau itu,” emosinya meluap, mengungkit semua komitmen mereka sebelum menikah.

“Iya, kita cari solusinya bersama, kita pertimbangkan, mana yang terbaik untuk kita,” jawab sang suami dengan tenang.

DING !

Ponsel Inda berbunyi, Rena sahabatnya mengabarkan bahwa Jiddan dan Inda diterima masuk S2 dan mendapatkan beasiswa majistir.

“Tuh kan Mas, kita diterima!” ujarnya bersemangat.

“Serius?” tanya Jiddan memastikan

“Iya Mas serius, ini coba lihat,” Inda menyodorkan ponselnya.

“Alhamdulillah, kita bisa bicarakan lagi dengan Abi. Semoga dengan berita ini, Abi bisa mengizinkan kita untuk berangkat ke sana lagi,” lanjut Inda masih dengan wajah berserinya.

“Iya sayang, insyallah bisa,” hanya sedikit meyakinkan. Jiddan amat tahu bagaimana abinya jika sudah membuat keputusan.

***

Di balik kebahagiaan itu esoknya.

Langit pagi terlihat mendung, angin menghembus syahdu, tidak dingin tidak juga panas, semuanya terasa tentram, tidak seperti biasanya.   Mereka sudah bersiap akan menuju pesantren, bertemu abi dan umi, membantu aktifitas rumah sang ibu mertua.

Namun tiba-tiba, seorang santri datang menaiki motor milik pesantren, penampilannya compang-camping, sangat tergesa-gesa, wajahnya merah, bukan karena mabuk atau ditampar, tapi terlihat juga air matanya berderai. Ia mengucapkan salam dengan suara bergetar, dan mengabarkan bahwa.

“Ustadz... A-abi Ustadz,” kata santri itu terbata, tak kuat menahan tangis, santri yang masih berdiri di samping motor itu tiba-tiba berlari menuju Jiddan yang berdiri di pelataran rumah bersama Inda, lalu memeluk Jiddan layaknya seorang adik yang tidak bertemu kakaknya selama sepuluh tahun.

“A-abi meninggal Ustadz,” tangis santri itu pecah kembali. Perkataannya melesat seperti tombak, tepat mengenai jantung Jiddan dan Inda.

Keduanya bergetar mendengar kabar yang bak petir menyambar, air matapun berderai cepat.

 Sesampainya mereka di rumah sang abi, di sepanjang jalan menuju gerbang pesantren, terparkir mobil-mobil pengunjung untuk Menyelawat.

 Lapangan pesantren penuh dengan para santri dan penyelawat, mereka semua menangis, tak menyangka kyai yang paling mereka sayangi dan hormati pergi begitu cepat.

Ketika mereka masuk, terlihat segujur tubuh diselimuti kain batik panjang dan kain putih menutupi kepala sang pemimpin itu.

Dengan sigap Jiddan memeluk tubuh tak bernyawa itu dengan kuat, menangis meraung-raung, dadanya sesak, terhimpit, sakit karena perpisahan tak terduga ini.

Ia peluk tubuh ibunya yang lemas, mereka menangis, suasana semakin kelam. Tidak ada lagi abi, tidak ada lagi Kyai yang sangat disegani dan terhormat di tengah-tengah mereka. Abi yang selalu bijaksana dalam mengambil tindakan, yang selalu berbaur pada santri, yang banyak sekali mengajarkan segala hal untuk anak-anaknya.

“Abi... semua telah usai Bi, aku tidak akan bisa sesempurna dirimu dalam memimpin. Kenapa engkau pergi begitu cepat di saat aku masih membutuhkan bimbinganmu untuk mengemban amanah besar ini,” hatinya berdesir, tak kuasa menahan perih.

Beberapa hari setelah kepergian kyai Nur, langit pesantren masih kelam dan haru, suasana terasa sunyi. Kini mereka hanya menunggu dan bertanya-tanya, siapakah yang akan menggantikan kyai Nur, akankah seperti abi yang bagi mereka kyai Nur adalah abi terbaik tak tergantikan.

Hati mereka tertuju pada satu nama. Bukan karena hanya ia salah satu dari 3 anak laki-laki kyai Nur yang berhasil menyelesaikan S1nya di luar negeri, tapi juga kepribadiannya yang sungguh mirip dengan abinya, membuat santri selalu nyaman berada dalam bimbingannya selama ia mengajar.

Sementara itu...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status