“Zein... mengapa kamu meninggalkan aku? apa kamu tahu aku membutuhkanmu Zein,” ratap Inda pada pria tampan yang telah menghilang selama 2 tahun silam.
Hari itu begitu indah, cerah nan sejuk yang terlihat hanya pemandangan alam dengan kabut putih yang tersorot cahaya matahari. Inda berjalan menyusuri taman bunga yang terhampar sejauh mata memandang. Ia duduk di kursi kayu tepat di bawah pohon yang daunnya berwarna kemerahan, entah apa namanya, yang jelas pohon itu adalah pohon satu-satunya yang berada di taman bunga tersebut.
Pria tampan dengan rambut sedikit panjang, bagian depan terbelah dua ala Angga Yunanda, kulitnya putih tubuhnya berisi, semakin terlihat perfect dengan outfit kaos dan celana jeansnya. Ia menghampiri wanita yang tengah duduk menatapi bunga, lalu duduk di sampingnya dan menggenggam tangannya. Sambil menatap pria itu dalam-dalam ia balas genggamannya erat, lalu memeluknya sambil terisak.
“Inda, aku tidak akan pernah membiarkanmu tersakiti, aku tetap bersamamu disini. Tapi maaf saat itu aku harus pergi, karena cita-citaku belum tercapai. Aku selalu menyayangimu, aku ingin terus bersamamu,” jelasnya sambil memegang tangan Inda dan tatapan yang penuh kasih.
“Tapi, sekarang aku sudah menikah Zein! Tidak ada gunanya kamu menyatakan cinta lagi,” ujarnya, matanya menatap sendu pada Zein.
“Aku akan tetap menyayangimu!” kekeh Zein meyakinkan.
Air mata Inda terus berderai, mengingat Zein adalah pria impian yang selalu membuatnya bahagia. Namun sayang, ia sirna, tenggelam di ujung lautan.
“Astaghfirullahal adzim!” kumandang subuh menyadarkan Inda dari mimpinya.
“Huff... memang pria impian,” lirihnya sambil menghela nafas.
Di sampingnya terlihat pria lain yang masih tertidur pulas.
Benar, dia adalah suamiku, lebih tampan dan menawan dari Zein. Gumamnya dalam hati sambil tersenyum.
***
Rutinitas harian mereka sangat padat, hingga membuat mereka sulit untuk saling bercerita meski di sela-sela kesibukan. Menjelang tidurlah kesempatan keduanya untuk berbagi cerita tentang hari ini, hingga hal yang tidak penting sekalipun.
“Mas... mas sudah mulai bicara dengan Umi dan Abi soal kita ingin melanjutkan S2 kita di Mesir Mas?” tanya Inda yang sedang duduk di meja rias sambil menyisir rambutnya, memulai percakapan.
“Pernah, tapi belum serius banget ngobrolnya. Besok coba Mas bicarakan lagi dengan Abi,” jawabnya sambil merebahkan diri di bad ranjang.
“Oke Mas, tapi... tolong yakinkan mereka ya Mas,” pinta Inda mulai bermanja.
“Iya sayang... mas usahakan. Sini tidur, jangan bersolek terus,” goda Jiddan sambil menepuk bad ranjang sebelahnya yang masih kosong.
Esoknya, sepulang mengajar di pesantren milik abinya, Jiddan mampir terlebih dahulu ke rumah orangtuanya itu, hanya untuk menyampaikan pembicaraannya semalam.
“Assalamu’alaikum Umi,” ucapnya sambil mendekatkan wajah ke sela-sela pintu kayu.
Tanpa mengetuk pintu, beberapa detik ia menunggu jawaban, lalu mengulanginya sekali lagi, hingga terdengar suara yang mendekat dari balik pintu tersebut.
“W*’alaikumussalam Nak, masuk Nak, kebetulan kami lagi mempersiapkan makan siang nih,” jawab wanita paruh baya yang tengah membukakan pintu untuk putranya.
Kemudian Jiddan mencium tangan wanita paruh baya yang terlihat masih cantik itu. Harum tangannya masih tetap sama, parfum Sabaya dari Mekkah yang membuatnya terngiang-ngiang saat di Mesir lalu.
Jiddan berjalan menuju ruang keluarga, mendekati abinya yang sedang duduk di sofa, dengan pakaian sederhananya, dikhiasi tasbih yang selalu berputar di tangan kanannya, membuat aura wibawanya begitu terpancar.
Jiddan mulai menyampaikan niatnya pada kyai yang berwibawa di depannya tersebut. Setelah semua tersampaikan, tidak menunggu lama dan basa-basi, kyai Nur langsung menanggapinya.
“Umi sudah bercerita pada Abi soal kalian ingin ke Mesir, Umi setuju, tapi menurut Abi, tetaplah di sini Jiddan, pesantren ini kamu yang kembangkan, kalau kamu berkenan lanjutlah s2 di dekat sini saja, agar kalian masih bisa membantu Abi, kalian tahu sendiri, Umi khususnya Abi ini kan sudah mulai tua Nak, cobalah pikir-pikir lagi,” tutur kyai Nur santai penuh harap.
Mendengar jawaban abinya, Jiddan tidak bisa berkutik, mau tidak mau dia harus mematuhi orang yang amat ia hormati itu,di sisi lain ia tidak ingin mematahkan impian Inda yang ingin terus belajar.
“Baik Abi, akan Jiddan pikirkan lagi , terimakasih Bi, izin pamit pulang dulu Bi,” Jawab Jiddan kemudian mencium tangan abinya.
***
Hari-hari terlewati seperti biasa, sudah seminggu, Jiddan baru bisa membahas tentang keberangkatan mereka ke Mesir, karena segala Kemungkinan masih ia pertimbangkan sebelumnya.
“Tentang S2 kita, Abi menyarankan kita untuk melanjutkan S2 di sini, sambil membantu Abi dan Umi. Lalu sedikit-sedikit kita bisa membangun rumah di dekat pesantren,” jiddan mulai menjelaskan maksudnya pada Inda.
“Kita kan sudah membuat komitmen Mas,” pintanya itu dijawab ketus oleh Inda.
“Kamu sudah janji Mas, bahwa pernikahan kita tidak akan mengganggu cita-cita kita! Di sanalah cita-cita aku Mas, masih banyak yang harus aku cari di negeri Kinanah sana, Mas pasti tau itu,” emosinya meluap, mengungkit semua komitmen mereka sebelum menikah.
“Iya, kita cari solusinya bersama, kita pertimbangkan, mana yang terbaik untuk kita,” jawab sang suami dengan tenang.
DING !
Ponsel Inda berbunyi, Rena sahabatnya mengabarkan bahwa Jiddan dan Inda diterima masuk S2 dan mendapatkan beasiswa majistir.
“Tuh kan Mas, kita diterima!” ujarnya bersemangat.
“Serius?” tanya Jiddan memastikan
“Iya Mas serius, ini coba lihat,” Inda menyodorkan ponselnya.
“Alhamdulillah, kita bisa bicarakan lagi dengan Abi. Semoga dengan berita ini, Abi bisa mengizinkan kita untuk berangkat ke sana lagi,” lanjut Inda masih dengan wajah berserinya.
“Iya sayang, insyallah bisa,” hanya sedikit meyakinkan. Jiddan amat tahu bagaimana abinya jika sudah membuat keputusan.
***
Di balik kebahagiaan itu esoknya.
Langit pagi terlihat mendung, angin menghembus syahdu, tidak dingin tidak juga panas, semuanya terasa tentram, tidak seperti biasanya. Mereka sudah bersiap akan menuju pesantren, bertemu abi dan umi, membantu aktifitas rumah sang ibu mertua.
Namun tiba-tiba, seorang santri datang menaiki motor milik pesantren, penampilannya compang-camping, sangat tergesa-gesa, wajahnya merah, bukan karena mabuk atau ditampar, tapi terlihat juga air matanya berderai. Ia mengucapkan salam dengan suara bergetar, dan mengabarkan bahwa.
“Ustadz... A-abi Ustadz,” kata santri itu terbata, tak kuat menahan tangis, santri yang masih berdiri di samping motor itu tiba-tiba berlari menuju Jiddan yang berdiri di pelataran rumah bersama Inda, lalu memeluk Jiddan layaknya seorang adik yang tidak bertemu kakaknya selama sepuluh tahun.
“A-abi meninggal Ustadz,” tangis santri itu pecah kembali. Perkataannya melesat seperti tombak, tepat mengenai jantung Jiddan dan Inda.
Keduanya bergetar mendengar kabar yang bak petir menyambar, air matapun berderai cepat.
Sesampainya mereka di rumah sang abi, di sepanjang jalan menuju gerbang pesantren, terparkir mobil-mobil pengunjung untuk Menyelawat.
Lapangan pesantren penuh dengan para santri dan penyelawat, mereka semua menangis, tak menyangka kyai yang paling mereka sayangi dan hormati pergi begitu cepat.
Ketika mereka masuk, terlihat segujur tubuh diselimuti kain batik panjang dan kain putih menutupi kepala sang pemimpin itu.
Dengan sigap Jiddan memeluk tubuh tak bernyawa itu dengan kuat, menangis meraung-raung, dadanya sesak, terhimpit, sakit karena perpisahan tak terduga ini.
Ia peluk tubuh ibunya yang lemas, mereka menangis, suasana semakin kelam. Tidak ada lagi abi, tidak ada lagi Kyai yang sangat disegani dan terhormat di tengah-tengah mereka. Abi yang selalu bijaksana dalam mengambil tindakan, yang selalu berbaur pada santri, yang banyak sekali mengajarkan segala hal untuk anak-anaknya.
“Abi... semua telah usai Bi, aku tidak akan bisa sesempurna dirimu dalam memimpin. Kenapa engkau pergi begitu cepat di saat aku masih membutuhkan bimbinganmu untuk mengemban amanah besar ini,” hatinya berdesir, tak kuasa menahan perih.
Beberapa hari setelah kepergian kyai Nur, langit pesantren masih kelam dan haru, suasana terasa sunyi. Kini mereka hanya menunggu dan bertanya-tanya, siapakah yang akan menggantikan kyai Nur, akankah seperti abi yang bagi mereka kyai Nur adalah abi terbaik tak tergantikan.
Hati mereka tertuju pada satu nama. Bukan karena hanya ia salah satu dari 3 anak laki-laki kyai Nur yang berhasil menyelesaikan S1nya di luar negeri, tapi juga kepribadiannya yang sungguh mirip dengan abinya, membuat santri selalu nyaman berada dalam bimbingannya selama ia mengajar.
Sementara itu...
Bencana yang tidak disadariSetelah shalat maghrib di Masjid, Jiddan langsung kembali pulang, ingin mengatakan sesuatu pada istrinya, yang sedari sore tadi ia mencoba melatih dan memilih kata dalam fikirannya yang akan ia sampaikan..Kini keduanya berada di ruang keluarga, lampu kuning menjadi latar suasana obrolan mereka, tidak ada televisi yang menyala atau HP yang sedang dimainkan. Keduanya santai saling menatap.“Inda... maaf aku harus mengatakan ini,” Jiddan memulai pembicaraan. Diambillah tangan putih halus di hadapannya itu, dan menggenggamnya dari punggung tangan. Insting Inda sudah melayang menerka perkataan yang akan diucapkan sang suami.“Menurut saya, alangkah baiknya kita menuruti perintah Abi, sekarang beliau sudah tidak ada, kitalah yang menggantikannya,” lanjutnya dengan hati-hati.Jiddan langsung membicarakan inti percakapannya malam ini. Wajah cantik Inda mulai menangkap segala isi dan maksud dari perkataan suaminya yang merupakan keinginan mertuanya.“Apa itu arti
Hari menunjukkan pukul 8:10, itu artinya kurang dari satu jam pesawat akan lepas landas. Tegang sekali, bukan hanya dirinya, tapi seisi mobil pun ikut dalam ketegangannya.“Tenang Nda, waktu masih lama, paling sebentar lagi sudah tidak macet,” suara lirih Jiddan dari kursi depan menenangkan Inda yang gugup setengah mati.“Memang ada apa sih di depan itu, ko sampai tidak bisa jalan sama sekali?” tanya mamah Inda yang duduk di sebelahnya. “Entah” lalu dijawab sama dengan supir dan umi Jiddan.20 menit berada dalam kemacetan, akhirnya mereka terbebas dan melaju dengan cepat seperti anak burung yang di lepas dari sangkarnya.“Oh ternyata truk angkutan barang yang mogok toh!” kata umi Jiddan, serempak sorot mata mereka tertuju pada truk yang di gerek dengan mobil lain di depannya.***Inda harus mempercepat langkahnya, ia hanya membawa 1 koper besar dan kecil untuk di bagasi dan 1 koper kecil lagi untuk di kabin, untuk mempermudah perjalanannya.Lima orang tersisa yang mengantri di sana, s
Mereka sudah sampai pada permukaan pukul 09: 45. Suasana airport selalu ramai, mereka berdiri di area masjid hendak memesan uber. Namun belum berhasil mereka memesan uber, datang laki-laki paruh baya menawarkan tumpangan.“Assalamu’alaikum,” bapak itu mengucapkan salam, dengan logat penduduk Mesir pada umumnya.“Wa'alaikumussalam,” jawab mereka sambil memandangi laki-laki paruh baya itu.“Apa kalian mau naik taxi saya? Hanya 30 pound saja untuk kalian,” lanjut bapak itu menawarkan taxinya dengan bayaran yang kurang masuk akal, karena hanya separuh yang diminta dari harga biasa yang ditarifkan oleh supir taxi lain.Inda dan Rena saling berpandangan, tidak yakin dengan bapak itu, mereka hanya tersenyum dan menolak halus tawaran laki-laki yang bertubuh tegap dan masih segar bugar itu.“tenang, kalian jangan takut, saya Amu Isom, saya biasa memberikan tumpangan pada orang asing seperti kalian ko,” bapak itu meyakinkan mereka karena bukan hanya mereka yang pernah menolaknya, kebanyakan ala
Di rumah umi, di meja makan, beberapa menu makan malam sudah lengkap tersaji. Hanya ada Jiddan, umi dan adik bungsunya di rumah megah itu. Ia kini tinggal bersama ibundanya, jika sebelumnya ia mengontrak bersama Inda di kawasan tak jauh dari pesantren.“Ayo makan dulu Nang, Sofia,” seru umi Rukoyyah pada Jiddan yang duduk di sofa ruang tamu sedang membaca buku, dan adiknya yang sedang bersantai dengan ponselnya.Mereka bergegas ke meja makan. Suasana terasa amat ganjil karena tidak adanya kyai Nur juga Inda yang sudah menjadi keluarga ini, kedua adik laki-lakinya pun tengah merantau di Jogja sejak 2 tahun lalu.“Pondok putri bagaimana Nang? Semua baik-baik saja?” tanya umi di sela-sela makan.“Aman Mi, Jiddan mendapat bimbingan penuh dari Pakde Khairul,” jawabnya diiringi suapan nasi ke mulutnya.“Besok pagi mereka mengadakan acara pentas seni, dihadiri oleh beberapa guru,” jelasnya.“Inda bagaimana? sudah menghubunginya belum?” tanya umi ingin mengetahui kabar menantunya.“Belum ada
“Ren... keamanan PPMI!” senggol Inda memberikan ponselnya pada Rena. Suara itu sungguh mengejutkan, hingga ia tak mampu untuk menjawabnya. “J 3251 nomor platnya ka, taxi putih, supirnya memakai rompi hitam. Kami berada di belakang mobil pribadi merah ka,” beber Rena, sambil menoleh ke arah belakang mencari sang penelpon. Beberapa menit kemudian muncul dua lelaki berhelm, dengan tubuh dibalut jaket kulit, memakai motor besar mencoba menyusul taxi mereka. Sadar mobil mereka diikuti, sang supir pun tidak tinggal diam, bereaksi menghalau setir ke kanan, searah dengan pengendara lain yang berada di sisi kanan. Mereka berhenti tepat di halaman toko pizza Abu Ali, berbarengan dengan motor dua pria di belakang. “Ada apa kalian mengikuti saya?” tanya bapak paruh baya itu yang sudah berada di hadapan mereka. Diikuti dengan keluarnya dua wanita dari dalam mobil. “Kami dari ketua keamanan mahasiswa Indonesia, telah dilaporkan bahwa bapak membawa dua mahasiswi kami dan memaksa meminjam paspo
Pria itu hanya terdiam menatap, mencerna apa yang dikatakan Inda.“Maaf, saya dari Singapur, saya hanya bisa berbahasa Inggris dan Arab saja,” pria itu tersenyum ramah pada Inda. Pria tampan, dengan lesung pipit di wajah itu, beberapa detik memamerkan sederet gigi putihnya, melihat perubahan wajah Inda yang mulai merona ke merahan karena malu.“Oh... maaf sekali, Saya kira kamu orang Indonesia,” wajahnya semakin merona.“Tidak apa-apa, Indonesia dan Singapur itu sama-sama Asia,” jawab pria itu mengakrabi dua wanita yang tersipu dihadapannya.“Kalau begitu kami pergi dulu, thank you ya,” izin Inda tidak mau berlama-lama malu di hadapan pria itu.Mereka membalikkan badan dan berlalu menyeberangi jalan. Rena masih terkekeh melihat tingkah Inda yang salah orang barusan. Sudah faham sahabatnya itu memang sembrono dalam memilih tindakan.“Hahaha... makannya Inda, tanya dulu, orang asing di kota ini kan bukan hanya Indonesia saja,” Rena menggoda dan tertawa lepas.“Ya mana ku tahu, lagian d
Bus merah melaju dengan kecepatan rata-rata, membawa Inda dan Rena ke suatu perkumpulan komunitas musik anak rantau yang berada jauh dari tempat tinggal mereka. Lagi-lagi hembusan angin menerpa wajah cantik di balik jendela, memandangi hiruk pikuk aktifitas penduduk di tepi jalan. Ada yang membawa sebongkah barang di atas punggungnya, yang sedang memilih-milih barang rumahtangga, hingga pejalan kaki yang hendak kembali ke rumahnya masing-masing. Rasa rindu tiba-tiba menyerbu kalbu, tembus mendobrak dinding kokoh hingga ambruk seluruh pertahanan rindu yang kian terjaga sempurna. [Mas... aku merinduimu] pesan chat sukses terkirim. [Bertahanlah, maksimalkan waktumu untuk menjemput keinginanmu] balas Jiddan menguatkan, namun sama rapuhnya dengan sang istri. Butiran bening tak sengaja terjatuh meninggalkan garis halus di pipi. Perjalanan malam kota ini selalu mengisahkan ke syahduan, samping jendela memang menjadi tempat favorit Inda saat menaiki bus, bukan hanya pemandangan dan angin
Waktu seakan berjalan melambat, memberi kesempatan untuk dua netra bertemu pada titik tengah pandangan. Ada desiran hebat dalam dada pria gagah itu. Bergemuruh meluncurkan kerinduan di setiap pori-pori tubuh. “Kakinya terkilir saat diinjak dari belakang oleh penjahat di bus tadi,” sahut Rena. “Naik motor saja bersama saya kalau begitu,” ajak Zein. “Eh? tidak-tidak, kami naik taxi saja Zein,” menolak tawaran Zein karena ia tidak bisa bebas seperti dulu, ada kepercayaan Jiddan yang harus ia jaga. Namun sepertinya Zein tidak tahu kalau dirinya sudah menikah dengan pria lain. “Oke saya akan mendampingi kalian di taxi, dan Firhan tolong kamu yang pakai motor ya,” pinta Zein menengahi. *** “Sepertinya aku tidak bisa tanpamu Mas,” air mata yang kian menggenang kini tumpah tak terbendung. “Istriku... apa yang menjadi kekhawatiranku kini telah terjadi. Bukankah aku telah memperingatimu?” lagi-lagi Jiddan berhasil meledakkan tangis seorang wanita meski dengan suara lembutnya. “Jika tida