Share

Bab2 - Bencana yang tak disadari

Bencana yang tidak disadari

Setelah shalat maghrib di Masjid, Jiddan langsung kembali pulang, ingin mengatakan sesuatu pada istrinya, yang sedari sore tadi ia mencoba melatih dan memilih kata dalam fikirannya yang akan ia sampaikan..

Kini keduanya berada  di ruang keluarga, lampu kuning menjadi latar suasana obrolan mereka, tidak ada televisi yang menyala atau HP yang sedang dimainkan. Keduanya santai saling menatap.

“Inda... maaf aku harus mengatakan ini,” Jiddan memulai pembicaraan.

 Diambillah tangan putih halus di hadapannya itu, dan menggenggamnya dari punggung tangan. Insting Inda sudah melayang menerka perkataan yang akan diucapkan sang suami.

“Menurut saya, alangkah baiknya kita menuruti perintah Abi, sekarang beliau sudah tidak ada, kitalah yang menggantikannya,” lanjutnya dengan hati-hati.

Jiddan langsung membicarakan inti percakapannya malam ini. Wajah cantik Inda mulai menangkap segala isi dan maksud dari perkataan suaminya yang merupakan keinginan mertuanya.

“Apa itu artinya mimpi kita akan berhenti di sini?” tanyanya mengernyitkan dahi.

“Tidak begitu sayang, pesantren ini membutuhkan pemimpin, akulah yang dipinta Abi untuk menggantikannya, tidak mungkin aku meninggalkannya begitu saja, Umi pun sudah mulai tua,”  jelasnya mendapati wajah istrinya yang berubah muram, ia sangat mengetahui sekali perasaan istrinya.

“Belum saatnya mas kita memimpin pesantren, Al-Hidayah itu terlalu besar untuk dipimpin seorang yang hanya lulusan S1 saja Mas, terlalu beresiko, aku tidak siap!” tolaknya

“Aku harus bagaimana? Memang ini yang Abi perintahkan padaku,” tegas Jiddan.

“Itu yang aku tidak suka darimu Mas, kamu tidak pernah teguh dalam prinsipmu, dari awal kita menikah, bukankah kita sudah saling menguatkan prinsip kita  untuk tetap melanjutkan S2 di luar negri?” beber Inda yang kian kecewa dengan tanggapan Jiddan.

“Tapi sekarang keadaannya berbeda Nda, Abi yang berpesan begitu! aku tidak mampu untuk menolaknya, ini wasiatnya!” cecar Jiddan.

“Aku sudah menduga kamu akan terbawa arus keadaan tanpa memegang erat komitmen kita Mas,” keluhnya sambil memalingkan wajahnya ke samping dengan pelan.

 “Oke kalau begitu, aku saja yang akan pergi melanjutkan S2, sendiri!” kekeh Inda lalu beranjak dari hadapan Jiddan.

Pukul 14: 20 sore, Inda sudah bersiap untuk  pergi ke rumah sahabatnya, sekalian akan pergi ke toko buku.

TOK! TOK! TOK!

“Ren...!” suara lirih Inda terdengar dari balik pintu.

“Yaaa... Inda,” sahut Rena sahabatnya dan mempersilahkan Inda masuk.

Keduanya berada di ruang TV, menyeruput green tea kesukaan, dan bercerita. Rena mengetahui gelagat yang terpampang di wajah sahabatnya, ada kekecewaan yang baru saja terjadi dalam hatinya.

“Ren... sepertinya aku tidak bisa melanjutkan S2 ku di Mesir Ren,” desis Inda sedikit putus asa.

“Hah? kenapa bisa? Kamu sudah terdaftar di sana Nda!” sahut Naya terkejut.

“Kita, aku dan Mas Jiddan sudah terdaftar di sana. Tapi entahlah mertuaku berpesan agar Jiddan tetap di sini membimbing pesantren,” ujarnya kecewa.

Mereka menghela nafas panjang, karena melihat rancangan hidup Inda mulai kusut.

“Beasiswa di sana itu adalah keberuntungan Nda, apalagi kalian berdua yang diterima,” Rena memberi nasehat pada sahabatnya

“Tapi ya Nda, Istri itu harus ikut suami, meski keinginanmu besar ingin ke sana,” ujarnya kembali menasehati.

Inda hanya tertegun merenungi.

***

“Mas aku ingin bicara dengan Umi! Aku akan izin pada Umi untuk berangkat kuliah S2 ku di Mesir!” ucap Inda ketus.

Ia sadar bahwa keputusannya akan menimbulkan banyak resiko, terutama pernikahannya. Ia akan meninggalkan suami tercintanya. jika benar ia saja yang akan berangkat, lalu bagaimana kedepannya? inda tetap menjadi wanita yang keras kepala, kehidupan masa depan nanti ia fikirkan lagi, itulah kecerobohannya.

“Kamu akan meninggalkanku?” tanya Jiddan kecewa.

“Untuk ilmu, Mas, aku tidak bisa hanya sampai di sini, perjalananku masih cukup panjang, umurku masih 23 tahun!” balas Inda menangkis pertanyaan Jiddan yang seakan melarangnya.

“Nda, mengertilah, pernikahan tidak akan aman jika saling berjauhan, kamu tahu itu kan. Sementara menuntut ilmu bisa di mana saja, kita lanjutkan S2 di sini bersama,” suara Jiddan lirih, memahamkan wanita yang amat ia cintai di hadapannya.

“Kalau kamu pergi, siapa yang akan kuajak diskusi jika aku membutuhkan sesorang untuk itu. Jika kamu sendirian di sana, tanpa aku, siapa yang akan menjagamu di sana? Di negara Timur Tengah itu tidak mudah, kamu sudah hafal itu Nda, dengan tabi’at mereka dan hiruk pikuk kehidupannya,” lanjutnya mengingatkan istri tercintanya.

Ditataplah dalam-dalam wajah tampan nan bercahaya yang tepat berada dihadapannya , memberikan tatapan hangat dan meyakinkan. Ke dua tangan mengatup di wajah, lalu ibu jari menyeka pipi tanpa air mata tersebut.

“Sayang... aku akan baik-baik saja, aku akan kembali untukmu, percayakan aku hal itu oke? kita jalani sebagaimana sebelum kita menikah, itu akan lebih mudah,” pinta Inda seraya mengecup punggung tangan suaminya.

Sementara Jiddan masih tenggelam dalam sorot matanya yang dalam, dihiasi dengan bulu mata lentik nan tebal. Meluluhkan hati siapa pun yang menatapnya. Sungguh sempurna penciptaan wanita di hadapannya ini.

‘Inikah caramu Nda, membuat aku nyaris tidak bisa mengatakan tidak, bahkan untuk hal seberat ini. Tegakah kamu membuatku menunggu -lagi- seperti sebelum kita menikah?’ batin Jiddan.

 Ada rasa tak yakin dengan keputusan ini, namun di sisi lain ia meridhoi istrinya untuk menuntut ilmu. Perasaan itu berkecamuk dalam dadanya.

“Aku akan berangkat bersama Rena bulan depan Mas, jika kamu mengizinkan. Dan tinggal bersama dia di rumah sewaannya. Aku juga akan segera pulang Mas, setelah ujian diploma selesai, aku akan mengerjakan tesis di Indonesia. Atau aku akan pulang sesuka yang Mas inginkan, setahun sekali juga bisa Mas,” kekeh Inda melanjutkan.

“Jangan berhubungan dengan lelaki lain meski itu untuk pelajaran ya! atau hal apapun itu!” seru Jiddan menampakkan aura ke setujuannya.

Inda tersenyum merekah, matanya mengedip lalu mendelik merespon bahagia perkataan yang memiliki aura ke setujuan suaminya itu. Yes Inda akan kembali belajar dan belajar.

Sebulan kemudian, pukul 6 pagi, hari ini adalah hari keberangkatan Inda ke negri Mesir bersama Rena sahabatnya. Meski keberangkatan Inda memunculkan banyak kontroversi di kalangan keluarganya, namun ini adalah suatu keputusan antara suami dan istri, antara prinsip dan tujuan bersama. Maka biarlah mereka yang menjalani semua, tanpa pengalaman sendiri mereka tidak akan percaya bahwa resiko setiap keputusan itu memang ada.

“Pak, agak cepat ya pak, kami take off jam 9!” Pinta Inda gugup karena perjalanan menuju bandara dari rumahnya memakan waktu 1 jam, belum lagi kena macet. Mereka bisa terlambat.

Benar sekali dugaan semua masyarakat, bahwa di antara jam itu kemungkinan besar mereka terjebak macet. Matahari mulai beranjak ke atas kepala, menghangatkan mereka yang bermotor, menyemburatkan cahaya melalui jendela mereka yang bermobil.

Inda mulai panik, celingak-celinguk dari jendela kanan dan kedepan, memastikan apakah kemacetan ini akan berlangsung lama. Bibir indahnya terus berdo’a, dadanya berdegup kecang.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status