Ceg kleeek...Suara pintu perlahan terbuka.‘wanita itu, posisi tidurnya persis sekali dengan Inda’ batin Jiddan saat melihat Naya sudah terkulai di atas permadani biru bercorakkan bunga-bunga. Dengan posisi miring ke kanan, dan telapak tangan menjadi bantalannya, tampak seperti putri yang tertidur di atas hamparan bunga.Jiddan melangkah mendekati pemilik alis tebal itu, memandanginya sebentar.‘maafkan aku santriku, aku terlalu sibuk dengan duniaku, hingga aku melupakan kewajibanku, melupakan janjiku’ batinnya menyesal.Tak terasa lutut kaki menekuk hingga menyentuh permadani, menjadikan tubuhnya dekat dengan wanita yang tertidur pulas itu.“Pak Kyai, Kana minta maaf, ini salah Kana Kyai,” ratapnya memelas, ia sudah duduk simpuh pada jarak tiga langkah dari mereka.Jiddan pun menoleh, lalu mengisyaratkan dengan jari telunjuknya agar Kana tidak bersuara karena takut membangunkan Naya.Akan tetapi Naya adalah type manusia yang jika mendengar sedikit suara saja ia akan terbangun dari
Ke empatnya menatap audiens, memberikan jeda terlebih dahulu untuk merilekskan diri, menarik nafas lalu dalam ketukan ketiga...Pria dengan rambut yang selalu belah tengah datang dengan gagahnya dari sisi yang tak terduga, melangkah maju dan terus maju hingga berdiri paling depan di antara kursi yang ditempati oleh ketua PPMI beserta stafnya.Pria itu datang berbarengan dengan Inda yang memulai permainannya sebagai intro. Suara tepukan tangan dan siulan terdengar bersahutan, menyambut ke indahan alunan musik yang ia mainkan.The song of secret garden.Lagu yang ia suka dan sering ia mainkan.Nada demi nada mengalun begitu syahdu merasuk ke setiap inci tubuh para penonton, hingga mereka dibuat merinding merasakan lembutnya irama musik yang dimainkan oleh wanita anggun nan cantik di atas sana.‘Kamu selalu membuatku tergila-gila Inda. Aku gila melihatmu bermain musik seperti ini Inda, kamu milikku, selamanya akan menjadi milikku’ ucap Zein dalam hatinya.Instrument itu kini terdengar d
Perasaan ini? Mengapa begitu nyaman sekali? Zein datang pada waktu yang tepat saat Inda patah hati dengan suaminya.Semua bersenang-senang di atas panggung, melompat dan menari riang mengekspresikan kebahagiaan mereka di akhir acara.“Dan kau hadir...Merubah segalanyaMenjadi lebih indahKau bawa cintakuSetinggi AngkasaKau buat ku merasa sempurna”Bait lagu dinyanyikan sang vokal mengiringi kekompakan mereka di atas panggung.Zein masih terus menghibur Inda agar bersemangat, entah apa yang membuatnya begitu gelisah setelah perform, Zein tidak mau bertanya dulu.“Lihat ke penonton... mereka ikut asik bersenang-senang,” wajahnya sedikit mendekat ke telinga Inda agar ia mendengarnya.Inda hanya tersenyum mencoba untuk bersemangat, namun kegelisahan masih tetap terpancar di wajahnya.***Pagi itu rapat terpaksa harus diundur pada sore hari karena berbagai urusan di kantor.Pukul 02 siang, beberapa orang terkait telah berkumpul di ruang rapat begitu juga dengan Jiddan yang siap mengut
Tiba-tiba ia teringat, malam ini akan ada pertemuan untuk membahas keuangan dengan Naya. ‘hampir saja terlupa’ gumamnya. Ia langsung beranjak dan langsung melanjutkan perjalanannya. *** [Maafkan aku Sayang, aku tidak bermaksud untuk mengabaikanmu. Karena rapat siang tadi sungguh menyita waktuku, aku tidak bisa mengabarkanmu] balas Jiddan saat dirinya sudah bersantai dalam senggang waktu sebelum bertemu Naya. Pesan yang ia kirim masih belum berwarna biru, melihat angka jam di ponsel, langsung memperkirakan bahwa istrinya pasti sudah tertidur. Perbedaan waktu yang cukup jauh, membuat ke duanya sulit untuk berkomunikasi, belum lagi harus terpotong karena kesibukannya masing-masing. [Sudah tidur ya? Selamat beristirahat bidadariku, mimpi yang indah. Besok pagi aku ingin melihat senyuman manis di wajahmu] pesan itu di lengkapi dengan emoticon peluk. “Bagaimana rapat tadi Nang? Apa sudah mendapat solusi?” tanya umi Ruqoyyah yang menghampiri Jiddan, ikut bersantai di atas sofa. “Mere
Setelah membaca pesan mengejutkan dari sang istri, Jiddan dengan sigap menekan tombol hijau menghubungi sang istri.“Ada apa denganmu bidadariku, bukankah aku menunggu senyumanmu ketika kamu terbangun?” selidiknya saat Inda sudah menerima panggilannya setelah beberapa kali hanya berdering.“Aku...” kalimat Inda terhenti, terdengar isakan tangis dari seberang saluran sana.“Sayang, kenapa begini? Jangan menangis bidadariku. Ceritalah apa yang kau rasakan saat ini?” rayu Jiddan tak kuasa mendengar isakan itu.***Kebiasaan Inda sebelum tidur adalah menuliskan rentetan kegiatan yang akan ia lakukan untuk esok, mengurutkannya dari mulai bangun tidur hingga menjelang tidur kembali, seperfecsionis itulah seorang istri kyai muda, wanita ambisius nan pintar memanfaatkan waktu.Wanita ayu berjalan kemudian melihat sebuah biola di dalam lemari yang terbuat dari kaca. Tampilannya amat menawan, jenis biola Jerman yang dimix dengan advenced Italian yang terukir mengikuti liukan indah badan biola.
Jiddan melangkahkan kakinya memasuki pintu ruang pertemuan. Kali ini ia berpakaian layaknya seorang ustadz, memakai sarung corak berwarna biru tua beraksen putih, koko lengan panjang serta lengkap mengenakan peci dan sorban yang semua itu serba putih. Dengan gagah kharismatik, santai nan santun ia menyapa.“Assalamu’alaikum,” Jiddan mengatupkan tangan ke arah semuanya mengisyaratkan tidak bisa bersalaman satu persatu.“Wa’alaikumussalam,” semua menundukkan kepala memberi tanda hormat padanya.Di sana sudah ada umi Ruqoyyah dan Ust Hanan selaku pembimbing santri. Pun sudah berkumpul keluarga korban dan 3 santri pulang pergi yang terlibat pada perkelahian.“Silahkan wali santri Fikri apa yang ingin disampaikan,” ucap Jiddan mempersilahkan.“Saya ingin meminta pertanggung jawaban atas kelalaian pesantren dalam menjaga santri, bagaimana bisa pondok sebesar ini tidak diawasi oleh pengurus? Kemana saja pengurusnya?” ketus seorang bapak yang terlihat masih bugar, berbicara dengan lantang tan
Beberapa kali mata indah melirik pada arloji yang menempel di tangan, sudah pukul empat sore. Jika bus tak kunjung datang ia akan segera melambaikan tangan menghentikan taxi. Terdengar suara candaan seseorang dari jarak sepuluh langkah dari halte, mengundang tatapan untuk segera menoleh ke arah sumber suara tersebut. Ya, wanita cantik dan seorang pria tampan terlihat berjalan bersamaan mendekati Inda.“Bisa minta waktunya sore ini?” tanya Zein tersenyum, begitu juga dengan wanita cantik di sampingnya.“Mau kemana?” tanyanya heran.“Kamu? Kalian?” tanya Inda lagi melirik pada Zein dan Sasa.“Ini Sasa, adik saya, anak baru juga sama seperti Sofia,” jelas Zein.“Oooh... ternyata kalian adik kakak, pantas saja tadi saat ngobrol terbersit mirip Zein,” ujar Inda tak menyangka. Mereka tertawa bersama.“Yuk?” ajak Zein.“Baiklah, tapi mau kemana?” tanyanya lagi sambil beranjak dari kursi semen panjang.“Ada deeeh,” goda Zein.Mereka menaiki taxi, melesak dengan cepat menuju ke suatu tempat y
“Ma... Kami sedang bersama calon menantu Mama loh, mau kenalan tidak Ma?” Sasa mengabarkan mamanya lalu mengarahkan ponsel ke arah Inda.Inda yang semula tersenyum melihat tingkah mereka, kini sontak terkejut mendengar kata calon menantu yang barusan terlontar dari bibir Sasa. Ia mencoba menolak ponsel yang diarahkan padanya, namun wajah Inda terlanjur terlihat oleh mama Nadia.“Assalamu’alaikum Tante,” sapa Inda tersenyum simpul.“Wah ini ya calonnya Zein, cantik sekali Nak. Orang mana?” tanya mama Nadia semakin membuat Inda tidak enak hati untuk melanjutkan obrolannya.“Dari Banten Tante,” jawab Inda singkat, bingung harus berbasa-basi seperti apa.“Ooh pantesan ayu sekali,”“Terimakasih Tante,” ucapnya tersenyum lagi.Tak lama mengobrol dengan mama Nadia, ponsel Sasa ia kembalikan, berharap tidak ada drama lagi bersama mama mereka.Suasana hati Inda kian berubah drastis menjadi kecewa dan marah pada Zein, ia terdiam tanpa kata. Zein yang menangkap perubahan Inda setelah vidiocall b