Bus merah melaju dengan kecepatan rata-rata, membawa Inda dan Rena ke suatu perkumpulan komunitas musik anak rantau yang berada jauh dari tempat tinggal mereka. Lagi-lagi hembusan angin menerpa wajah cantik di balik jendela, memandangi hiruk pikuk aktifitas penduduk di tepi jalan. Ada yang membawa sebongkah barang di atas punggungnya, yang sedang memilih-milih barang rumahtangga, hingga pejalan kaki yang hendak kembali ke rumahnya masing-masing. Rasa rindu tiba-tiba menyerbu kalbu, tembus mendobrak dinding kokoh hingga ambruk seluruh pertahanan rindu yang kian terjaga sempurna. [Mas... aku merinduimu] pesan chat sukses terkirim. [Bertahanlah, maksimalkan waktumu untuk menjemput keinginanmu] balas Jiddan menguatkan, namun sama rapuhnya dengan sang istri. Butiran bening tak sengaja terjatuh meninggalkan garis halus di pipi. Perjalanan malam kota ini selalu mengisahkan ke syahduan, samping jendela memang menjadi tempat favorit Inda saat menaiki bus, bukan hanya pemandangan dan angin
Waktu seakan berjalan melambat, memberi kesempatan untuk dua netra bertemu pada titik tengah pandangan. Ada desiran hebat dalam dada pria gagah itu. Bergemuruh meluncurkan kerinduan di setiap pori-pori tubuh. “Kakinya terkilir saat diinjak dari belakang oleh penjahat di bus tadi,” sahut Rena. “Naik motor saja bersama saya kalau begitu,” ajak Zein. “Eh? tidak-tidak, kami naik taxi saja Zein,” menolak tawaran Zein karena ia tidak bisa bebas seperti dulu, ada kepercayaan Jiddan yang harus ia jaga. Namun sepertinya Zein tidak tahu kalau dirinya sudah menikah dengan pria lain. “Oke saya akan mendampingi kalian di taxi, dan Firhan tolong kamu yang pakai motor ya,” pinta Zein menengahi. *** “Sepertinya aku tidak bisa tanpamu Mas,” air mata yang kian menggenang kini tumpah tak terbendung. “Istriku... apa yang menjadi kekhawatiranku kini telah terjadi. Bukankah aku telah memperingatimu?” lagi-lagi Jiddan berhasil meledakkan tangis seorang wanita meski dengan suara lembutnya. “Jika tida
“Mas, siapa yang duduk di kursi belakang Mas?” tanya Inda mengernyitkan dahi, karena tahu wanita itu bukanlah ibu mertuanya.“Ketua pondok putri, dia ikut rekaman siang tadi,” katanya mengenalkan Naya.“Ohh...,” jawabnya singkat tak peduli.“Tadi mau bicara apa?” lanjutnya.“Nanti saja kalau begitu, kalau sudah sampai rumah,” kilahnya.Mentari senja mulai terbenam, menyisakan segaris jingga di langit kelam. Mengiringi Fortuner yang memasuki gerbang pesantren.“Silahkan Pak Yai, saya sudah menyiapkan teh anget untuk Pak Yai,” sambut wanita ayu kala sang kyai telah memasuki rumah.“Terimakasih Kana,” ucap Jiddan sambil berlalu.‘Hah? beliau memanggil namaku tanpa sebutan Mbak? artinya Pak Yai sudah menganggapku seorang wanita yang berharga’ gumamnya bahagia.***“Festival music Nusantara dimajukan acaranya bulan September Mas,” ujarnya lirih.“Lalu bagaimana kepulanganmu?” selidik Jiddan“Aku bingung Mas, kalau pulang pasti tidak bisa lama di sana, awal November sudah harus balik ke sin
Seisi ruangan hanya saling melirik dan merasakan memang ada kejanggalan dalam penerimaan beasiswa tersebut, Dani merasa kikuk, jika alasannya masuk akal, ia akan lolos dari mata-mata buas di hadapannya, jika tidak, semua akan berpihak pada Jiddan, dan tanggung jawabnya akan diambil alih oleh Jiddan.“Setelah saya tinjau kembali nilai 200 anak ini sedikit mendekati nilai rata-rata, tidak ada salahnya kita masukkan mereka dalam daftar penerima beasiswa,” jawabnya santai, namun ada kebohongan di balik wajah santainya.“Namun Pak, target kita adalah 1500 anak, kita memilih kualitas bukan hanya kuantitas Pak, kalaupun jumlah melebihi batas, dipastikan nilai mereka memang memadai,” tegas Jiddan kembali.“Ya saya kira gelombang ke dua ini akan kurang dari 500 anak pada beasiswa Mesir, maka saya tarik 200 anak tadi karena kesungguhan mereka ingin belajar di sana,” balas Pak Dani mempertahankan argumennya.“Sebaiknya tunda dulu ya Pak, karena kita memakai penyeleksian bersih, karena dari perta
Sementara itu di balik kedok seorang Dani.“Mereka ini berani membayar dua kali lipat Pak, asalkan anak-anak mereka terjamin kuliah di sana,” ujarnya melalui saluran ponsel.“Akan saya pertimbangkan dulu, tidak semudah itu menerima sogokan seperti ini,” balas seorang mentri.“Ayolah Pak, 10% dari biaya mereka untuk pengurus keberangkatan mereka Pak, termasuk bapak pastinya, jika bapak bersedia menanda tangani ini, sisanya biar saya yang urus,” rayu Dani.“Oke besok berikan saya berkas-berkasnya, akan saya cek dulu sistemnya,” pinta mentri tersebut.Keesokan harinya, map cokelat yang berisikan berkas nama-nama penerima beasiswa sudah berada di atas meja sang mentri.Di keluarkan secara perlahan, diperhatikan nama dan nomor urut calon mahasiswa luar negeri. Seperti yang direncanakan, beasiswa Mesir akan diberikan lebih dari jumlah seharusnya, yaitu 1200 anak, sedangkan 500 yang lain, diberangkatkan ke Maroko dan Sudan, sesuai dengan kapasitasnya.“Apa bisa dipastikan semua ini aman ke d
Menangkap gelagat wajah sang adik ipar, ia langsung memahami bahwa adik iparnya mulai terpesona pada Zein.Mungkin bukan hanya adik iparnya yang bertanya-tanya siapa Zein, wajar saja, sejauh ia mengenal Zein, banyak sekali akhwat yang tertarik padanya. Dia memang memiliki pesona yang menawan, wajar saja mereka mengaguminya.“Kalian pulang naik taxi kan?” tanya Zein kala breafing telah selesai.“Iya,” jawab Rena.“Aku akan mengantar kalian ya,” tawar Zein.“Tidak usah Zein, nanti merepotkan, kami pulang bertiga juga tidak masalah,” tolak Inda.“Tidak Inda, ini Mesir. Meskipun kalian bertiga kalau tidak ada laki-laki yang mendampingi itu bahaya. Banyak kejadian yang menimpa mahasiswa kita, terutama perempuan, meski mereka berlima, tetap saja pelecehan dan pencopetan terjadi karena tidak ada yang mendampingi mereka,” jelas Zein yang ingin melindungi mereka.“Hah? seperti itukah ka di Mesir?” Sofia menoleh ke arah Zein yang berjalan mengiringi mereka di belakang.“Iya, bermacam-macam kasu
“Zein bagaimana Ren,” tanya Inda dengan rintik airmata yang menggelayut di ujung bulu mata, hampir terjatuh.“Aku akan menghubungi Firhan, siapa tahu dia bersama Zein,” memanggil Firhan melalui sambungan telpon. Namun, tidak ada jawaban.“Gak diangkat Nda,” Rena menggelengkan kepala.“Duuuh... kalau kaya gini aku semakin khawatir Ren,” jemari saling merekat, gelisah memikirkan sang mantan.“Apa kita langsung ke RS Asyifa saja biar lebih pasti?” usul Rena.“Tapi ini sudah malam Ren, apa ada yang bisa dihubungi lagi?”Tiba-tiba ponsel Rena berdering.“Firhan...” lirih Rena memberitahu Inda.“Ya... halo Firhan, apa Zein bersama kamu?” tanya Rena yang juga panik.“Iya Zein baru saja dipindahkan ke ruang rawat inap,”“Hah? jadi Zein bener dalam bus merah itu?”“Iya,”“Lalu bagaimana keadaannya sekarang?”“Masih lemah,”Percakapan Firhan dan Rena mendentum sampai ke dalam hati Inda. Gelisah, takut akan terjadi sesuatu pada Zein.***Zein sengaja enggan untuk berbicara pada mereka setelah me
‘ah perasaan apa ini,' merutuki perasaannya sendiri. Cemburu pada adik ipar? Bukankah ia yang menyerahkan apel pada Sofia lalu adik iparnya itu menurut duduk di kursi samping ranjang menggantikan posisi sang kakak ipar.“Sofia, kita harus mengurus berkasmu di asrama,” tegur Inda memecah suasana romantis Sofia dan Zein.“Sekarang Ka?” Sofia enggan beranjak dari situasi itu sebenarnya.“Iya, kalau sudah tengah hari mereka tidak menerima pemberkasan lagi,” beber IndaMereka pamit keluar, Rena dan Firhan tetap di sana menunggu Zein, sebelum yang lain datang berbondong-bondong ingin menjenguk sang ketua keamanan.Di bus, Inda dan Sofia hanya terdiam, saling mengingat sesuatu di ruang rawat tadi.Masih terlihat dengan jelas dalam bayangan Sofia bagaimana jemari Zein dan Inda menyatu dengan erat. Begitu juga dengan Inda yang melihat adik iparnya menyuapkan sepotong apel pada Zein, mekipun mantan, rasanya aneh sekali kalau harus bersama Sofia.“Aku dan Zein dulu memiliki hubungan, sebelum akh