“Suasana rumah kenapa jadi sepi? Aku tidak mendengar suara Mas Angga. Apa dia sedang berduaan dengan Sandra?
Sandra adalah anak dari salah satu teman sosialita Merliam. Parasnya cantik, dan ia adalah lulusan terbaik di Universitas ternama di luar negeri. Tentunya, Safina kalah dari segala sisi jika dibanding dengan Sandra. Safina memang kalah dari segi kecantikan dan pendidikan, tetapi ia unggul dalam ketulusan dan kesabaran. “Sayang sekali kamu, Sandra. Kamu cantik dan pintar, tapi kenapa mau jadi perebut suami orang?” Malam yang dingin, di balik jendela terdengar suara rintik hujan. Ketika Angga tidak di kamar, Safina memanfaatkan kesempatan itu untuk menulis. Menulis adalah hobi Safina dan ia tidak ingin Angga mengetahui hobinya tersebut. Tok! Tok! Tok! Seseorang mengetuk pintu kamar. Safina membukanya. Ia melihat Angga dan Merliam berdiri. Di tangan Angga, terdapat kotak hadiah berwarna merah marun berukuran sedang. Safina kaget melihatnya. Ia curiga dengan sikap manis Angga. Tapi, bukankah ini yang diharapkan Safina? “Ini kado untuk kamu,” Angga menyerahkan kotak di tangannya. Tidak ada ekspresi apapun di wajahnya yang tampan. “Besok, Ibu akan mengadakan acara ulang tahun pernikahan pertama kalian. Kamu harus tampil cantik karena akan banyak tamu yang datang," ucap Merliam. “Aku tahu, kamu nggak punya gaun yang cantik. Makanya, aku sengaja belikan kamu gaun untuk kamu pakai di acara penting kita,” timpal Angga yang bersiap-siap ingin membaringkan badannya. Safina buru-buru membuka kotak tersebut. Ia mengeluarkan gaun pesta panjang berwarna putih yang sederhana. "Gaun ini cantik banget!" seru Safina. Walaupun sindiran yang dilontarkan Angga pedas, Safina cukup senang atas gaun pesta pemberian pertamanya. Bahkan, sebelum ia tidur, tatapannya masih terpaku pada bingkisan tersebut. Keesokan harinya. Safina terbangun dari tidurnya. Ia beranjak dari sofa panjang. “Mas, kenapa kamu nggak bangunin aku? Aku bisa membantumu, kok.” Selama menikah, Angga selalu meminta Safina untuk tidur di sofa. Karena Angga tidak sudi berbagi ranjang dengannya. Angga sudah bangun dan memilih jas yang akan dikenakan di acara ulang tahun pernikahan pertama mereka. Ia sama sekali tidak melirik istrinya. “Aku tak sudi tangan kotormu menyentuh jasku. Selama kamu tidur, aku liatin tanganmu menyentuh luka bakar itu.” Begitu mengetahui Safina sudah bangun, Angga langsung pergi meninggalkannya. 'Aku semakin curiga, katanya tidak cinta, tapi kok ingin membuat pesta annyversary?' Safina bertanya dalam benaknya. Setelah mandi, Safina bersiap memakai gaun pemberian Angga. Lalu, merias wajahnya dengan memoles bedak tipis-tipis dan memakai lipstik warna pink yang lembut. Setelah merasa hijabnya rapi, ia segera membuka pintu kamar. Ternyata, Angga dan Merliam menunggunya di depan kamar. “Safina, rupanya kamu sangat siap menghadiri acara ini,” ucap Merliam dengan memegang gaun putih itu. “Gimana, Mas? Aku suka sekali dengan gaun ini,” ceriah dan kepolosan Safina membuat Angga dan Merliam tertawa. Bukan hanya kecantikan gaun tersebut membuat Safina kegirangan, tetapi pemberian suami yang sudah lama ditunggu, akhirnya ia dapatkan juga. Angga mendekati istrinya. “Safina, ingat baik-baik yang mau aku katakan!" Kening Safina mengernyit. Firasatnya mengatakan hal buruk akan terjadi. Cerianya berubah jadi cemas. Angga berkata, "Di pesta nanti, kamu harus menyetujui aku untuk menikah lagi sama Sandra." "Hah?!" Safina terkejut. Ia memegangi dadanya yang terasa sesak dalam sekejap. "Kamu ngomong apa, Mas? Kamu mau menikah lagi? Dan, perempuan yang akan jadi maduku ... Sandra? Siapa Sandra?" Safina mendongakkan kepala, menatap Angga lekat-lekat. Ia berharap, telinga salah mendengarkan kata-kata Angga. Angga tidak memedulikan perasaan Safina. Ia berkata lagi, "Kamu harus mengatakannya di hadapan semua tamu bahwa kamu-lah yang menginginkan pernikahanku dan Sandra. Katakan pada mereka, kamu mandul." Safina terbelalak. "Ta—tapi, aku nggak mandul, Mas," sanggah Safina. "Jangan ngaco kamu!" Angga langsung mencengkeram leher istrinya. Kemudian, ia mendorong Safina hingga punggungnya membentur dinding. "Apa aku peduli?! Mau kamu mandul atau nggak, itu nggak ada urusannya sama aku." Benar! Sejak menikah, Angga memang tidak pernah memedulikan Safina. Jadi, apa yang Safina harapkan dari suami seperti Angga? "Kamu mau nurut, nggak? Atau aku akan menghentikan pengobatan Ibu kamu?" Air mata yang sudah ditahan sejak tadi pun akhirnya mengalir. Apakah Angga sedang mengancam Safina dengan nyawa ibunya? "Kamu benar-benar sudah kelewatan, Mas. Tolong, Mas, Ibu satu-satunya harapanku sekarang!" ujar Safina sambil terisak. Merliam mengambil alih situasi. "Angga, cepat lepasin tangan kamu dari leher Safina! Kalau dia mati, keluarga kita dalam masalah." Angga menuruti perintah ibunya. Ia segera menjauh dari Safina agar tidak tersulut emosi. Merliam melipat kedua tangannya di depan dada. "Keluarga Wirawan udah banyak banget bantu keluarga kamu, Safina. Jadi orang harus tau cara balas budi." Balas budi? Apakah dengan membiarkan suaminya menikah lagi adalah cara Safina membalas budi kepada keluarga Wirawan? Safina bahkan tidak berani memikirkannya. Merliam menatap Safina dari atas kepala hingga ujung kaki. "Percuma kamu rajin ibadah kalau nggak paham agama! Dengan mengizinkan Suami menikah lagi, kamu akan mendapatkan surga, Safina. Ingat itu!" Tapi, istri mana yang rela dipoligami? Merliam berkata lagi, "Udahlah, Safina! Cepat buat keputusan! Toh, Angga nggak akan menceraikan kamu."“Kenapa? Cepat sana ganti baju!” Randy mengira Safina tidak ingin ikut ke kafe. Randy merasa ada yang salah dengan tingkahnya. Ia berpikir Safina sudah bisa untuk diajak makan bersama di kafe, setelah beberapa lama Safina disibukkan dengan karirnya. Randy berdiri dan segera pergi, “Yah, udah kalo kamu belum ingin keluar makan bersamaku. Aku pamit dulu!” “Tunggu, Ran! Aku ikut,” cegah Safina. Bukannya Safina tidak ingin ikut, tetapi ada sesuatu yang ia ragukan. Akhirnya, ia ikut ke kafe dan berharap Randy tidak marah ketika Safina mengatakan ingin bertemu dengan Angga esok hari. Ia masuk ke kamar mengganti bajunya. Ia memasukkan tangannya ke dalam lemari, satu per satu pakaian dikeluarkannya untuk memilih yang paling nyaman digunakan. Safina keluar dengan penampilannya yang sederhana, namun sangat memukau. Kemudian, Randy berbalik ketika mendengar suara Safina. “Aku sudah siap, Ran!” ‘Waw! Safina memang sudah perlahan mengubah penampilannya. Aku yakin suatu saat kamu akan meneri
“Aku capek, Ran!”Safina merasa kelelahan dan kembali memikirkan orang yang ada di masa lalunya. Di saat ingin menikmati kesuksesan bersama Randy, Angga kembali hadir di kehidupannya. Angga terkenal dengan keinginannya harus segera tercapai. Randy tahu apa yang harus ia lakukan. Ia sigap menemukan solusi untuk keamanan dan kenyamanan Safina. “Untuk sementara kamu di sini aja dulu tinggal. Ntar aku ke satpam untuk minta tolong penjagaan ketat,” kata Randy.Randy mengambil ponsel di saku celananya.“Aku sempat merekam video kejadian tadi dan mengambil foto mobil Angga dan Sandra. Aku akan tunjukkan ke satpam nanti.”Dengan cara Randy melapor ke satpam tempat tinggal Safina, ia harap satpam tersebut melarang Angga dan Sandra masuk ke dalam kompleks. Sewaktu-waktu Randy akan mengajak Safina untuk pindah rumah dekat dari tempat tinggalnya.Safina berniat ingin istirahat sejenak dan meminta Randy untuk kembali ke kantornya. Namun, ketika Randy sudah melajukan mobilnya, beberapa warga mene
“Apa aku tidak salah dengar?”Safina melihat gerak-gerik Angga, tidak percaya dengan perkataan mantan suaminya itu. Semudah itu Angga meminta maaf kepada Safina, setelah bertahun memilikinya hanya untuk disiksa.Safina dan Randy saling bertatap. Randy sepertinya ingin mengusir Angga. Omong kosong yang mungkin akan menjebak Safina.“Kamu pergi dari sini! Aku sudah bilang, jangan ganggu Safina!” gertak Randy, mendorong pundak Angga.“Eh! Aku tidak ada urusan sama kamu. Ini adalah urusan aku dan Safina. Bagaimana pun Safina masih terikat janji dengan keluarga Dwicahyo,” bantah Angga.Safina semakin tidak ingin melihat dan mendengar suara Angga berlama-lama. Akhirnya, ia pun berani mengancam Angga. Safina meminta kepada Angga untuk segera pergi.Angga belum mendapatkan jawaban dari Safina. Ia tidak akan pulang, jika Safina tidak memaafkan Angga.“Kalau Safina sudah memaafkanku baru aku pergi dari sini.”Angga membujuk dengan gaya bicaranya yang menunjukkan kelembutan kepada Safina, “Oh iy
“Momen ini adalah hadiah terindah untukku.” Kesuksesan yang tengah dirasakan Safina adalah kesuksesan yang tertunda. Safina tidak mungkin bisa merasakan kebahagiaan tersebut apabila Randy tidak setia mendampingi dirinya. Dengan memikirkan semua pengorbanan Randy, Safina tidak bisa menyembunyikan perasaannya lagi. Namun, ia menjaga kehormatannya dengan tidak mengatakan langsung perasaannya. Akan ada waktu Safina menerima pernyataan sahabatnya tersebut. ‘Ran. Apa iya kamu bisa mendampingiku? Apa nantinya kamu tidak malu denganku yang sudah berstatus janda?’ tanya Safina dalam hati, netranya menatap Randy. Pada saat perjalanan pulang ke rumah, karena perasaannya menguasai dirinya, Safina tidak menyadari ia terus menatap Randy. “Hey! Napa kamu, Fin?” tegur Randy. Randy melambaikan tangan kirinya di depan paras Safina. Barulah, Safina sadar. Bukannya merespon pertanyaan Randy, ia hanya tersenyum dan seketika menutup bola matanya. “Ran. Aku turun di sini. Kamu ke kantor aja, biar aku
‘Jangan berpikir aneh, Safina! Sedikit lagi kamu melangkah, cita-citamu akan tercapai.’Semestinya Safina memikirkan apa yang akan dikatakan nantinya pada saat konferensi pers. Namun, pikirannya mengenai sikap Randy kepadanya selalu mengganggu konsentrasinya. Ketika Randy mengajak Safina berbincang, Safina kelihatan gugup merespon Randy.Safina yang hendak membuka pintu mobil, Randy tiba-tiba membuka pintu tersebut. Safina menatap wajah Randy.‘Kenapa kamu sangat meratukanku, Ran? Aku takut tidak bisa membalasnya,’ katanya dalam hati.Safina turun dari mobil kemudian berjalan dengan anggun memasuki kantor tempat berlangsungnya konferensi pers. Sementara, Randy berjalan di belakang Safina. Ia mengamati dan mengawasi Safina dari belakang.Safina berjalan menuju kursi yang sudah disiapkan dan para kameramen tertuju kepadanya. Safina terlihat percaya diri dengan berusaha menyembunyikan perasaan gugupnya.“Ibu Safina sudah hadir di tengah-tengah kita. Mari kita sambut dengan meriah Ibu Saf
Kujemput rezekiku dengan semangatku.”Rintik gerimis di pagi hari menemani Safina menanti kedatangan Randy. Duduk manis di ruang tamu dengan penampilan seadanya. Bagaimana dengan pendapat tetangga tersebut ketika melihat lagi Randy menjemputnya dan pergi bersama?“Hmm. Ntar kalau si Randy datang, trus ibu-ibu liat aku lagi bersama Randy. Mereka mau komentar apalagi, yah?” Safina mengkhayalkan sesuatu yang akan terjadi di luar rumah.Setelah tiba di depan rumah, Randy turun dari mobil membawa sekantong plastik dan payung untuk Safina. Rupanya, Randy telah menyiapkan baju baru untuk Safina. Tok! Tok! Randy mengetok pintu rumah Safina. Sementara, Safina sudah lama menunggu di kamarnya, sehingga ia memanfaatkan waktu menunggunya sembari melanjutkan cerita yang akan dibukukan nantinya.“Mana Safina? Gak mungkin dia pergi mana gerimis begini lagi,” Randy panik—ponsel Safina tidak bisa dihubungi.Randy kembali mengetok pintu dengan sedikit keras, barulah Safina mendengar ada seseorang yang