POV DavidAku melihat Yudi keluar dari salah satu restauran. Sengaja mengikuti dia untuk membalas perbuatan masa lalu kepadaku. Kalau saja dia tak menghamili Elsy tak akan seperti ini. Lelaki itu telah memberikan sisa kepadaku. Mengingat hal itu rasanya darah mendidih. Lelaki berjas coklat awal mula dari semua ini. Aku mencintai Elsy, tapi kenapa tak bisa setia. Berusaha mencoba beberapa waktu, nyatanya tak bisa. Sulit sekali melakukan hal itu. Sejak aku berada di luar kota entah sudah berapa wanita yang aku tiduri. Mereka semua milik orang lain bukan, single atau gadis. Elsy tak mengetahui hal tersebut. Mereka yang mengejar-ngejarku begitu juga Vivi. Dia yang lebih dulu mengodaku, kucing mana yang tidak menolak diberi ikan gratis. Kepada wanita lain aku mengunakan pengaman kecuali Vivi. Ia berkata rasanya tak nikmat maka dari itu tak memakai pengaman.Pernah aku bujuk untuk mengunakan alat KB atau Implan, seperti biasa akan menolaknya.“Aku tak mau KB nanti tubuhku melar. Menguna
Pov DavidYudi dan beberapa anak buahnya memasuki sebuah klub mewah. Klub yang dulu sering aku kunjungi dengannya. Yudi adalah sahabat dekatku sewaktu kuliah. Entah ada dendam apa hingga melakukan hal tersebut. Tak pernah memperlihatkan rasa suka di hadapanku. Lihat saja Yudi. Aku akan membuat perhitungan kepadamu tak akan memberi ampun. Tak peduli berapa banyak anak buah yang berada di sampingmu.Melangkahkan kaki masuk ke klub mencari bajingan itu dan akan kuhajar sampai sisa nyawa. Aku tahu posisi pintu klub bagian belakang. Tak ada penjaga di sana, biasanya para karyawan masuk melalui pintu tersebut. Memastikan keadaan sepi, bergegas masuk ke dalam. Lampu berkelap-kelip mengikuti irama musik Dj. Banyak para wanita berpakaian sexy dan terbuka. Memperlihatkan lekuk tubuhnya tanpa merasa risih. Hal ini sudah biasa aku lihat, aku tak akan tergoda mereka. Lebih menyukai wanita milik orang lain daripada penjaja cinta.“Hai Om, booking kita dong,” rayu salah satu dari mereka. Tak pedu
Menarik tubuh Yudi yang lemas akibat bogeman di wajah dan perut. Entah sudah berapa pukulan melayang. Melayangkan belati hendak menusuk perutnya. Tangan Yudi menahan dan memukul tubuhku. Belati terlepas dari genggaman dan terpental ke lantai. "Elu gak bisa bunuh gua." Yudi menatap tajam. Apa yang aku lakukan tak membuat dirinya jengah. "Elu, tak pantas hidup." Aku tak peduli lagi hukuman apa yang akan aku dapati. Dendam dan rasa benci menyiksa hati. Dia penyebab semuanya. Kebahagiaanku terenggut paksa. Yudi hendak meraih belati tersebut, tanganku segera menarik tubuhnya dan menendang perut kekar tanpa tertutup sehelai benang pun. Yudi berteriak meminta tolong. Suaranya mengema di kamar."Tolong! tolong!" “Bodoh! Mau teriak atau menjerit gua gak peduli. Elu harus mati!” Melayangkan belati yang berhasil aku raih sebelum lelaki itu merebut kembali. Suara pisau menusuk daging berkali-kali tak peduli noda merah membasahi. kulayangkan belati itu hingga tak ada suara lagi dari bibir pr
“Pak David sedang apa malam-malam di sini?” tanya pengendara motor hitam yang hendak aku tikam. “Kamu?” Memasukkan kembali belati ke dalam celana.“Saya Ridwan. Karyawan Bapak bagian cleaning servis. Bapak mau ke mana?”“Saya mau ke rumah sakit.” Aku mengatakan daerah tujuanku. Lokasi rumah sakit masih satu kota dari sini. “Wah, lumayan jauh Pak. Bagaimana kalau saya antar?” “Boleh.”Segera mengamankan belati agar Ridwan tak curiga. Aku kira mantan karyawan yang sering aku marahi telah melupakan dan dendam kapadaku. Ternyata, mereka masih baik dan hormat kepada mantan bos. Mobil polisi melewati kami, tubuhku menegang. Menyembunyikan wajah dari mereka di balik tubuh Ridwan.Tak berapa lama kemudian, suara ambulan melewati kami. Aku tak menoleh sedikitpun, ingatanku kembali berputar. Mengingat kejahatan yang telah aku lakukan. Setidaknya, perasaan tak ada beban telah membuat Yudi mati di tanganku. Ridwan mengunci mulutnya, ketika beberapa kali menanyakan sesuatu kepadaku dan aku tak
“Berita terkini di temukan tiga mayat dalam kamar di sebuah klub Jakarta Selatan. Korban mendapatkan luka tusukan berkali-kali hingga meninggal dunia. Diantaranya Yudi Damar 45 tahun, Bagas 28 tahun dan mayat belum diketahui identitasnya bergenre waria tanpa sehelai pakaian di tubuh korban.”Mataku terbelalak salah satu nama dan foto sesuai dengan om Yudi, bapak biologis Adel. Belum aku mempertemukan mereka, lelaki itu sudah meninggal dunia. Malang sekali nasibnya. Segera mengambil ipad dan mencari tentang berita tersebut.Mencari di kolam pencarian dengan kode pembunuhan klub hari ini. Tak lama kemudian, muncul beberapa berita berkaitan dengan berita tersebut. Membaca berita online berbentuk artikel kriminal. Sadis, satu kata untuk kejadian itu.Foto Om Yudi terpasang di artikel tersebut. Siapa yang membunuh lelaki itu. Tanganku merogoh ponsel di tas bernuansa coklat disesaki dua huruf, menghubungi nomor om Arga melalui ponsel pintarku
"Kita mau ke mana, sih?" tanya Adel menatapku dan om Arga."Nanti juga tahu.""Om, emang siapa yang meninggal. Kalian berpakaian serba hitam atau kalian mau ngedate couple begini." Adel terkekeh. Kami hanya tersenyum tipis. "Ih, kalian kenapa diem aja?""Gak apa. Kamu ikut kita.""Oke, aku akan ikut kalian. Tapi, traktir es krim.""Beres!""Bu Bos, paling baik!"Selama perjalanan Adel selalu berbicara dan tertawa. Wajahnya ceria dan mengemaskan.Kendaraan hari ini tak terlalu padat. Perjalann kami lancar tanpa ada embel-embel macet.Mobil om Arga memasuki pemakaman. Jenazah om Yudi belum sampai. Kami menunggu tepat di lubang kuburan yang baru selesai digali."Om, siapa yang meninggal?" tanya Adel untuk kedua kalinya.Om Arga tak menjawab pertanyaan keponakannya. Tak lama kemudian, datang ambulan membawa jenazah.Tak ada sanak saudara yang datang menghadiri
Betapa senangnya Bayu melihat adik kandung satu ayah. Mama tak keberatan dengan kehadiran bayi ini. Menjelaskan keadaan Rita."Kejahatan seseorang bukan berarti kita balas dengan jahat." Ucapannya kala itu.Bayu gemas dengan bayi mungil mas Ilham."Siapa nama dede aku, Mama?""Belum dikasih nama. Nanti, kita tanya papa." Menimang bayi mungil mirip mas Ilham."Bagaimana kalau kita kasih nama Delon?" "Ehm, bagaimana ya? Boleh juga."Delon, nama yang bagus. Sayang sekali ibunya tak mau mengurusnya. Bayi yang malang. Semoga kelak nasibmu lebih beruntung.Aku tahu mas Ilham begitu menyanyangi anak ini. Matanya berkaca-kaca ketika mengungkapkan keinginanku."Apa Mas mengizinkannya? Aku yakin Bayu pasti senang bila bertemu adiknya. Tak bermaksud apa-apa. Hanya sementara saja hingga keadaan Rita membaik. Gak mungkin juga bayi ini kamu bawa kerja ke luar seperti ini. Setelah, keadaanmu membaik. K
POV Ilham Aku menatap jendela, langit berwarna biru sinar matahari menyinari dunia. Kendaraan terlihat dari lantai tiga rumah sakit yang kini merawat Rita. Mereka sibuk dengan kegiatan masing-masing. Mencari nafkah, sekolah, dan para ibu-ibu sibuk di dapur menyiapkan makanan. Sedangkan aku, duduk di pinggir brankar rumah sakit memijat kaki Rita. Seharusnya bekerja untuk melanjutkan hidup. Perut keroncongan belum terisi sejak semalam. Rita dioper ke rumah sakit yang lebih besar. Keadaannya semakin kacau. Ia seperti terkena babyblues atau mungkin gila. Tubuh yang dulu ramping dan cantik kini berubah kurus dan kusam. Tanganku menyentuh kulitnya, menekan perlahan agar rasa lelah dan pegal hilang. Bagaimana dengan aku, tubuh ini terasa remuk. Aku hanya bisa menunggu perawat mengantar makanan dan memakan sisa dari istriku. Uang yang aku miliki hanya cukup untuk ongkos angkot. Malang bener nasibku. "Mas, aku bosan makanan di sini. Pengen nasi Padang," ungkapnya menatap bubur nasi di se