"Mas, kamu ngapain?" Tubuhku terpaku melihat sosok pria yang semalam memelukku erat. Aku menatap suamiku berada di dapur, pria berkaos putih dan celana pendek sedang memasak di dapur. Suara mesin cuci terdengar berputar. "Masak buat kalian. Mas mau masak sup ayam, tempe orek dan sambal. Ada kerupuk udang kesukaan kamu." Ia masih sibuk mengaduk sup dalam panci. Aku terdiam sesaat, Mas Anggara begitu sibuk dengan pekerjaan yang seharusnya dilakukan oleh wanita. "Aku bantu." Sebagai istri aku tak enak hati. Ia melakukan pekerjaan yang seharusnya dilakukan istri-istrinya. Sejak mas Anggara menikah lagi, aku tak pernah menyentuh pekerjaan rumah. Aku memotong tempe berukuran dadu dan mengoreng di kompor satunya lagi. Mas Anggara mengecup keningku lembut. "Maaf merepotkanmu." Ungkapnya begitu tulus, aku merasa tak enak hati. Mungkin karena aku cemburu karena istri kedua mas Anggara bisa hamil sedangkan aku tidak. Padahal, anak itu akan menjadi anakku juga. Semua pekerjaan selesai
Bab 102 Sejak kejadian di dapur karena aku tak membantu istri kedua suamiku. Mas Angga berubah kembali. Entah mengapa pria itu mudah sekali berubah. Apa salahku saat itu. Aku melewati Mas Angga dan maduku. Mereka duduk di depan televisi sambil menikmati martabak keju. "Mba, ada martabak ini. Ayo sini!" panggil maduku. "Tidak aku sudah kenyang." Mas Angga tak menyapa atau melihatku ketika aku menjulurkan tangan ke arahnya. Aku hanya bisa menyadarkan diri di pintu. Sikap suamiku dingin dan menyakitkan hati. Setiap malam, ia tak tidur bersamaku. Biarlah, ia masih memiliki istri yang lain. Kadang aku berpikir untuk bercerai dengannya. Tetapi, aku tak bisa karena hidupku hanya sebatang kara. Hanya mas Angga yang aku miliki. Pria tercinta. Kuseka air mata yang kembali membasahi pipi. Aku duduk di pinggir ranjang membaringkan tubuh lelah hati dan pikiran. Inikah kebodohan cinta. **Sembilan bulan sudah kandungan Ariana. Mas Angga tampak cemas ketika meninggalkannya sendiri. Padahal
Bab 103 Wajah Mas Angga tampak bingung. Perubahan sikap Ariana setelah melahirkan terlihat aneh. Ia meremas rambutnya dan menarik lembut lengan Ariana untuk masuk ke kamar. "Kita masuk ke kamar." "Tidak, aku tak mau. Aku ingin jawabmu hari ini juga." Ariana menepis kasar tangan suaminya juga suamiku. "Ariana, kamu baru saja melahirkan. Lebih baik kita ke kamar. Ayo mas temani." Mas Angga berusaha untuk sabar. "Gak mau! Aku mau tahu jawabmu, Mas!" Suara Ariana meninggi ia menatap tajam pria di hadapan. Tangisan Intan semakin kencang. Bayi itu takut dengan suara ibunya. Aku memeluk erat dan mengoyangkan tubuh mungil Intan. "Ariana, kecilkan suaramu." Mengusap punggung Ariana. Mas Angga menatapku dan memberikan kode untuk masuk ke kamar membawa Intan di tempat yang aman. Walaupun aku ingin tahu siapa yang dipilih olehnya. Aku membawa Intan masuk dan memberikan ASI. Tak terdengar lagi suara mereka yang bertengkar. Tak lama kemudian terdengar suara deru kendaraan mas Angga. Mungki
Bab 104Aku menangis mendengar cerita mama. Begitu sedihnya kisah rumah tangga mama. Aku tak menyangka dibalik sikap yang tenang ada masa lalu suram. "Maafkan Mama, Intan. Mama merahasiakan hal ini." Mama tergugu memelukku. Pelukkan hangat yang sangat aku sukai dari beliau. Kasih sayangnya selalu kuingat. Perjuangan untuk memberikan pendidikan hingga tinggi seperti ini. Walau aku bukan anak kandungnya. Ia tetap mencintaiku sepenuh hati. Bahagia memiliki mama. Kisah papa dan ibu kandungku, Ariana hanya sebuah kesalahpahaman yang mengakibatkan mereka terpisah. Mama bukan perebut kekasih orang melainkan takdir memilih Mama sebagai istri almarhum papa. "Ma, jangan menangis. Sudah cukup tangisan Mama. Mama harus berbahagia. Aku mohon jangan pernah menutupi lagi masa lalu Mama. Aku siap mendengarnya." "Intan. Terima kasih telah memaafkan Mama. Mama takut kamu pergi meninggalkan Mama karena ibumu meninggal karena mama." "Bukan, Ibu Ariana meninggal bukan karena Mama tetapi takdir. Ia m
Bab 105 "Tunggu!" Kucegah mereka yang masih berdiri depan teras. Mereka menoleh ke arahku menatap tajam mata ini. "Mau ngajak nginep. Tahu aja kalau sudah malam begini." Lisa tampak sumringah ketika aku menghampiri mereka. Padahal bukan itu yang aku inginkan. "Aku ingin periksa tas kalian!""Kenapa Intan?" tanya Mas Ilham segera turun dari motor."Mama kehilangan jam tangan di kamar. Itu jam tangan kenang-kenangan dari Papa." Kutinggikan suara agar mereka paham. Kesal sekali melihat mereka. Tak punya malu dan merasa dibutuhkan. Jam tangan tangan pemberian papa ketika mereka merayakan hari pernikahan yang pertama. "Emangnya kita pencuri. Enak aja asal tuduh." Rita tampak sewot. Aku tahu wajahnya tampak cemas. "Sini, aku periksa dulu sebelum kalian pergi." Kutarik tas Lisa lebih dulu karena gadis itu anak yang paling kurang ajar. Ia tak punya rasa malu. "Apaan sih! Jangan tarik-tarik dong Mba. Mahal ini tas." Aku tahu tas jenis itu. Banyak sekali yang jual di pasaran. Dia pikir
Bab 106 Bayu mengajak mas Ilham masuk ke dalam rumah. Pakaiannya basah akibat air hujan yang tertiup angin. "Ma, kasihan Papa nanti aakaitSebagai ibunya aku hanya bisa menuruti apa yng dipinta Bayu. Ia membawa mas Ilham masuk ke kamar. Bagaimana dengan dua benalu itu tentu saja mereka bahagia. Mau tak mau aku siapkan kamar tamu untuk mereka. Senyum mereka terlihat berbeda. "Kalian jangan senang dulu. Kalau kalian mengambil barang di rumah ini. Aku gak segan akan melaporkan kalian ke polisi, paham!" Wajah mereka mendadak berhenti tersenyum. Mereka tampak takut dan masuk ke dalam kamar yang aku tunjukkan. "Ma, papa bajunya basah. Apa gak ada pakaian baru?" "Nanti, Mama cari Sayang. Kamu tunggu di kamar." "Iya, Ma." Bayu kembali masuk ke kamar. Aku bertanya kepada Mama. Mungkin saja ia memiliki kaos oblong untuk mas Ilham. "Ini baju Ilham dulu pernah ketinggalan." Kuambil baju dari tangan Mama dan memberikan kepada mantan suamiku. "Terima kasih Intan. Maaf merepotkan." Mas I
Bab 107"Mba, aku mau nasi gorengnya kok dihabisin?" Wajah Lisa tampak merajuk aku tak peduli dengan rengekannya. "Bayu, Tante mau dong. Sisain!" Bayu menghentikan tangan di udara, putraku menatap piring yang masih ada sedikit nasi gorengnya. "Habis." Bayu memasukkan nasi ke dalam mulut sekali suapan. Lisa hanya menelan Saliva dalam. Biarkan saja gadis itu kelaparan. Memangnya ia pikir ini rumah makan. Kalau tak hujan dan Bayu bermimpi buruk pasti mereka sudah aku tendang. "Mba aku lapar. Apa ada mie instan?" "Kamu mau makan mie? Beli sana ke warung." "Ini udah malam, Mba apalagi hujan. Aku minta mie satu aja." Lisa menangkupkan tangan di dada berharap mendapat belas kasihan dariku."Maaf gak ada." Kujawab dengan ketus. Sejujurnya, di rumah ini tak pernah membeli mie instan karena mama gak suka mie seperti itu. "Pelit!" Kutatap dengan tajam, seketika itu wajah Lisa menciut. Masih berani dia berkata demikian. Apakah tidak malu. Sudah menginap di rumah orang malah memaki. Sun
Bab 108 "Hai keponakanku. Apa kabar?" Menjulur tangan ke hadapanku. Aku diam tanpa menyambut tangan yang kini mengantung tanpa ada sambutan hangat. "Baik Tante. Ada apa ke sini?" tanyaku ketus dan sinis. Biarkan saja sikapku seperti ini. Sejak pertama berjumpa aku tak suka dengannya. Sangat menyebalkan sekali. "Kamu bertanya demikian seakan aku ini hanya sampah." "Tentu Anda bukan sampah. Tenang saja dan jangan tersingung." "Aku ingin menemuimu saja dan memberikan sesuatu yang penting." Kukernyitkan dahi ini apa yang ingin ia berikan. Melihat barang di bawa olehnya saja tak ada. Kedua tangan tampak kosong. "Sesuatu apa?" Kubuat diri ini tampak bodoh. "Boleh aku masuk. Aku haus dan lelah. Hari ini banyak sekali pelanggan hingga aku kewalahan." Aku hanya membuang napas kasar. Apakah penting jika ia pulang dari bisnis yang tak patut diikuti.."Masuk Tante. Maaf. Rumahku kecil." Aku membuka pintu lebar agar ia bisa masuk dan duduk sesuai keinginannya. Wanita kembaran ibu kandu