"Kamu, Serly!" sapaku hingga tak mengenalinya mengapa pakaiannya seperti itu. "Iya, kamu tak mengenalku, ya?" tanyanya dengan gaya genit. "Kenapa kamu datang sendiri. Mana yang lain?" "Mereka sibuk. Aku bawakan ini untukmu." Menyodorkan paper bag dan beberapa plastik hitam kepadaku. "Apa ini?" Melihat paper bag dan memberikan plastik hitam kepada Bude Lasmi. Kubuka perlahan. Beberapa dress cantik tetapi terlalu terbuka. Aku mengernyit heran kepadanya. "Untuk apa ini?""Untukmu." "Aku tak suka." Meletakkan paperbag itu. "Aku tahu. Aku juga tak suka." Serly tertawa terbahak-bahak. Hingga kedua netra kami mengeluarkan embun. "Bagaimana keadaan di luar sana?" Aku sudah lama tak keluar, ingin tahu keadaannya. "Lebih baik," jawaban singkat terlontar dari bibirnya. Tak membuatku puas baik hati dan pikiran. "Mama dan Bayu?" Serly tersenyum menatapku. Mengapa ia tersenyum seperti itu hingga membuatku semakin penasaran saja. "Serly?"Tangan lentik wanita yang kini sudah berganti pa
Bab 79 Kedua netra ku mendadak mengantuk, waktu sudah menunjukkan pukul dua belas malam. Aku pamit undur diri untuk istirahat kepada Reyhan yang masih duduk menikmati kopinya. Beberapa pisang masih berada di atas piring. "Aku pamit ke kamar," ungkapku menguap berkali-kali dan menutup dengan telapak tangan. "Istirahatlah. Siapkan mentalmu besok." Reyhan mengulum senyum, penampakan yang tak pernah aku lihat sebelumnya. "Siap Bos!" Kulangkahkan kaki ke kamar, Serly masih terlelap dengan memeluk guling. Kuselimuti tubuh gadis mengenakan kaos lengan panjang dan celana pendek. Aku ikut terbaring di ranjang yang sama. Kedua telingaku mendengar suara dua manusia yang sedang bercakap. Membuka perlahan mata ini dan melihat sisi ranjang. Tak ada sahabatku di sana karena penasaran aku bangkit dan menghampiri suara tersebut hingga kedua indera pendengaran mencerna pembicara mereka. "Apa kamu yakin dengan bukti itu?" tanya Reyhan masih duduk di tempat yang tadi. Entah bagaimana Serly bisa be
"Itu orangnya!" Tunjuk salah satu dari mereka ketika melihat aku keluar dari mobil. Wartawan lain ikut menoleh ke arah teriakkan pria itu. Mereka berlari berbondong-bondong menghampiri di parkiran mobil. Reyhan segera memeluk bahuku dan melangkah menuju gedung yang kini berada di depan mata. Tak hanya Reyhan melindungi dari kejaran para wartawan. Beberapa pria berpakaian keamanan ikut menghadang mereka. Begitu sulit melangkah, para wartawan seperti tak memberikan ruang kepada kami. Beberapa pertanyaan terlontar dari bibir mereka. Aku hanya diam tak menjawab pertanyaan terlontar. Melangkah lurus tanpa mau melihat ke bawah karena akulah Intan yang selalu menjadi wanita tangguh. Hingga kami masuk ke dalam ruang sidang. Jantungku berdegup kencang melihat keadaan di dalam. Hakim belum duduk di kursi tertinggi. Adel dan Cheri juga ada di dalam. Mereka menghampiri dan memeluk tubuh ini. "Kamu jangan cemas. Kita hadapi bersama-sama," ucap Adel. "Iya, tenang saja. Semua akan beres." Reyha
Sejak lamaran mendadak itu aku dan Reyhan semakin dekat dan aku merasakan hal yang sama dengan pemuda itu. Setiap hari kami bertemu. Kalau Reyhan sibuk ia hanya menghubungiku melalui video call. "Mama!" Bayu keluar dari mobil dan berlari ke arahku. Anak itu sudah semakin besar. Wajahnya mirip sekali dengan Mas Ilham. "Bayu, akhirnya kamu pulang." Kupeluk anakku, kerinduan yang mengebu terobati. "Tentu saja pulang. Aku rindu Mama. Bagaimana liburan Mama?" tanyanya menatap wajahku lekat. Tubuh Bayu bertambah gemuk. Mamaku pasti sangat memanjakannya. Kulirik Mama dan Reyhan yang sudah berdiri dekatku. Mungkin saja mereka terpaksa berbohong untuk menutupi permasalahan yang telah aku hadapi. "Cukup menyenangkan dan banyak pelajaran yang Mama ambil." Mencium pipi gembul Bayu gemas. "Kenapa tak mengajakku?" tanyanya merajuk. "Kamu saja tak mengajak Mama." Bayu menatapku. "Kita seri Ma." Kami terkekeh geli mendengarnya. Reyhan berdehem di saat kami telah menyelesaikan makan siang ka
"Mirip sekali." Om Leo menatapku tak berkedip. Mulutnya sedikit menganga akupun heran dengan pria yang akan menjadi calon mertuaku. Berkali-kali Tante Lusi, mama Reyhan menyenggol tubuh suaminya dengan sikut. Hanya saja pandangan Om Leo tak lepas dari wajahku. "Maaf Om. Mirip siapa?" Aku berani bertanya karena ucapan pria yang seumuran almarhum papa menatapku tak berkedip. Seperti melihat seseorang di masa lalu. "Oh, mirip seseorang. Ayo kita duduk Ma." Om Leo menarik kursi untuk istrinya. Wajah wanita itu tampak masam mungkin bisa diartikan cemburu. Apakah karena Om Leo berkata demikian, aku mirip seseorang. Apakah aku akan memiliki mertua seperti sebelumnya. Semoga saja tidak terjadi seperti dulu. Sebelum mereka datang kami sudah memesan makanan agar tak lama menunggu-nunggu. "Sekarang kamu kerja di mana?" tanya Om Leo kepadaku sambil menikmati makan malam. "Entahlah Om. Belum ada planning. Perusahaanku masih bisa digunakan karena itu miliki sendiri." Sayang sekali kalau dijual
"Intan, mana papa dan mama?" sapa Reyhan menyentuh bahuku lembut. "Eh, mereka sudah pergi Rey. aku telat. Ini dompet Papa mu. kamu saja yang memberikannya." Kuserahkan barang Om Leo yang tertinggal. "Kuncinya sama kamu. Bagaimana mereka menyalakan mobil?" Aku lihat Om Leo mencari kunci tetapi sepertinya ia memiliki kunci lain. Sempat kubuka dompet di dalam tak ada STNK yang dikatakan Rey di dalam restauran tadi. "Mungkin mereka punya kunci cadangan." Aku sengaja tak mengejar mereka agar aku lebih tahu tentang wanita yang bernama Aura Kasih. Setelah mereka masuk ke dalam mobil aku bersembunyi di balik kendaraan lain. Aura Kasih nama yang belum pernah aku dengar kecuali penyanyi yang sempat dulu viral dan menjadi kekasih vokalis band terkenal. Ucapan Om Leo semakin membuatku penasaran. Apakah Reyhan tahu tentang wanita itu. Tapi, Om Leo bilang aku mirip Aura ketika wanita itu seumuranku artinya umur Aura setara dengan Om Leo. Hatiku merasa aku harus mencari tahu wanita itu tap
Bab 84 POV Ilham Aku melajukan kendaraan dua menuju kontrakan. Rita sudah sembuh dari sakit mentalnya setelah anakku telah tiada. Bayi laki-laki mirip Bayu telah dibunuh oleh neneknya sendiri. Hatiku begitu sakit, air mata tak dapat tertahan lagi. Begitu teganya, Mertuaku melakukan hal itu agar Intan bisa memberikan uang. Bukankah seorang anak harus dirawat dan disayang. Kenapa Tante Vivi tega menjual anakku dan memaksa Intan untuk membelinya. Rasanya malu sekali kepada mantan istri yang pernah aku khianati. Aku juga tak menyangka Intan begitu baik dan peduli kepadaku apakah dia masih mencintaiku sama seperti dulu. Sengaja aku membeli sebungkus cilok kuah untuk lauk di rumah. Rita jarang sekali memasak. Ia lebih senang menatap ponsel. Mengapa ia tak berdagang online atau menjadi kreator. Aku sering melihat istriku itu bergaya di depan layar pipihnya. Kuda besiku telah berada di teras kontrakkan. Aku memilih rumah satu kamar saja hanya untuk kami berdua. Terkadang Rita mengeluh k
POV Ilham Kulajukan kuda besi dengan tekad bulat dan berharap Intan mau memaafkan Rita. Namun, sesuatu di depan mata membuat diriku terdiam. Rita nekad menghadangku dengan cepat. "Mas Ilham, jangan pergi." Kedua netra sayu, wajah memelas dan bibir bergetar. Aku terdiam ketika ia memanggilku dengan sebutan mas. Beberapa bulan ini ia selalu memanggilku dengan nama saja tanpa ada embel-embel mas. Sikapnya juga tak seperti seorang istri. "Kita bicarakan baik-baik di dalam," ucap istriku dengan suara lembut hingga hati ini luluh seketika. Wajah yang pertama kali bertemu muncul kembali. Tak seperti biasanya seperti nenek lampir. Apakah istriku sudah berubah hingga ia berkata seperti itu. Semoga saja ia berubah menjadi Rita yang lebih baik. "Ini sudah malam. Perjalanan juga jauh kita berbicara di dalam," rayuannya mengoda. Tutur katanya halus sekali. Kumundurkan motorku ke tempat semula, mengikuti langkah istriku masuk ke dalam. Rita mengambil gelas dan mengisi dengan kopi sachet se