Share

Tujuh

Penulis: Nannys0903
last update Terakhir Diperbarui: 2022-06-21 09:42:54

POV ILHAM

"Mas bangun! Mas!" Tepukan di pipi terasa menyakitkan. Kasar dan tak berperasaan. Aroma minyak kayu putih tercium di hidungku. Membuka mata perlahan. Kepalaku terasa pusing dan berputar.

"I-intan," ucapku tanpa sadar. Bayang-bayang Intan di kelopak mata.

"Kok, Intan! Aku Rita, istrimu," sungutnya kesal. Terdengar nada cemburu dan ketidak sukanya.

"Eh, Rita. Aku kenapa?" tanyaku mengernyit heran. Tante Vivi dan anak-anaknya berkumpul di kamarku. Wajah mereka memerah dan muak kepadaku.

"Kamu nanya sama kami! Kamu itu malam-malam teriak-teriak kayak orang stres. Lihat jam berapa sekarang! Jam empat, Ilham! Kamu bikin orang jadi pusing karena ulahmu," maki tante Vivi dengan bertolak pinggang. Matanya melotot tanpa cela.

"Iya, ganggu tidur orang aja!" timpal adik iparku. Ia mengerucutkan bibirnya. Kekesalannya dilontarkan kepadaku. Tak menghargai sebagai kakak iparnya.

"Mas pingsan, tergeletak di lantai. Ponsel, Mas retak," ujar Rita. Ia menyerahkan ponselku yang tak menyala. Bagian layarnya hancur dan kartu sim tak ada.

Ternyata aku pingsan, setelah melihat penampakan di ponsel. Melemparnya ke dinding lalu pingsan hingga terjatuh ke lantai.

"Kepala aku pusing." Memijit kening yang terasa menonjol. Nyeri, ketika disentuh. Mungkin terbentur lantai sangat keras.

"Mas, juga kayak anak kecil. Takut sama hantu. Gak ada hantu. Ini aja gak ada apa-apa."

"Tadi Mas lihat sendiri. Mereka berada di sana dan di sana." Menunjukkan letak penampakan yang aku lihat.

Mereka terdiam dan saling mendekat.

"Mas juga lihat penampakan. Ketika melakukan panggilan video call dengan Intan," jelasku kepada mereka. Berharap percaya dengan apa yang kualami.

"Oh, jadi kamu menghubungi Intan. Pantas saja. Rasakan kamu telah berani main belakang." Dada Rita naik turun. Nada suaranya naik satu oktaf.

"Intan istri aku juga. Aku tak main belakang. Ternyata, yang aku hubungi adalah hantu."

"Sudah! Sudah! Kamunya aja yang penakut. Mama ngantuk mau lanjut tidur lagi. Ayo bubar, kembali ke kamar." Tante Vivi melirikku tajam.

"Kalau ngomong jangan ngawur kamu. Bikin kesel orang aja."

"Rita ...," panggilku dengan memelas.

"Apa! Tidurlah aku cape!" bentaknya. Matanya melotot seperti ingin menerkam.

"Jangan lupa obat kamu minum!"

Aku menganggukkan kepala dan mengulas senyum terpaksa.

**

Surat yang kami tunggu-tunggu akhirnya keluar juga. Hasil SWAB yang kami lakukan beberapa hari lalu.

Semua mendapatkan amplop putih sesuai nama yang tertulis. Empat amplop sudah dibagikan.

"Yes, akhirnya bebas!" Lisa berteriak dan melompat setelah mengetahui hasilnya.

Mama Vivi juga terlihat senang. Bibirnya mengulum senyum. Rico terlihat acuh dan melempar hasil tersebut ke lantai.

"Mas, lihat hasilmu." Rita menatapku. Ia terlihat pucat. Tangannya membuka kertas dengan mengarah ke atas." Negatif," ucapnya dengan riang.

Kini, tinggal aku. Membuka amplop perlahan dan membaca hasilnya. Mereka semua menatap ke arahku dengan tatapan yang tak bisa diartikan. Mataku menatap mereka satu persatu.

"Mas ...."

**

Setelah hasil tes keluar, hidupku semakin kacau bukan karena positif melainkan suara-suara yang datang pada malam hari. Aku berteriak seperti kesurupan.

Mereka masih mengikutiku. Terkadang mengajakku berbicara. Aku menjawabnya dengan datar.

Kadang suara itu datang pada siang hari membuat diriku merendamkan tubuhku di bak kamar mandi berjam-jam hingga tertidur di dalamnya.

Rita menatapku ketakutan. Apa yang sebenarnya terjadi padaku. Ia tak ingin menyentuh dan memberi ketenangan di saat aku membutuhkannya.

"Mas, kamu kenapa?" Ia masuk ke kamar setelah mendengar suara kesakitan dari bibir ini.

"Rita ... tolong aku. Mereka tak suka aku menikahimu. Tolong ...." Aku mengulurkan tangan agar ia mengapainya. Namun, wanita yang baru kunikahi beberapa hari enggan menghampiri.

Aku tak berhenti berteriak meminta tolong kepada mereka. Sehingga,

Rico dan tante Vivi mengikatku di ranjang dan menutup mulutku dengan lakban hitam.

"Apa yang harus kita lakukan?" tanya Lisa. Mereka berkumpul di dalam kamar seolah-olah aku adalah mangsa.

Rita keluar kamar, wajahnya terlihat pasrah.

Mereka masih tinggal di rumah mewahku. Intan tak pernah menghubungiku karena ponselku mati total.

"Lebih baik cari sesuatu yang dapat dijual. Perhiasan atau uang terselip di lemari." Ide tante Vivi menelusuri kamarku dan Intan.

"Iya, duit kita hampir habis. Tak mungkin kita minta kepadanya. Ayo, Ma. Aku bantu cari." Lisa menimpali dengan semangat.

Tante Vivi mencoba membuka lemari Intan namun, terkunci semua. Lalu mencoba mencari di lemari pakaianku. Hanya ada kosmetik dan parfum milik Intan di meja rias.

"Tak ada apa-apa. Ke mana perhiasan si Intan." Tangan mertuaku masih sibuk mencari sesuatu.

"Hei, Ilham. Ke mana hartamu? Tak ada apa-apa di rumah ini?" tanya tante Vivi. Ia terlihat geram.

Aku diam tak bergerak sedikitpun. Tubuhku lemas tak berdaya. Lelah karena berteriak meraung-raung memanggil nama Intan dan Rita.

Terkadang tatapan yang kosong dan lupa untuk semuanya. Melupakan anak dan istri-istriku. Tertawa melihat adegan menangis di televisi.

"Sepertinya dia gila." Ucapan Rico membulatkan mata mereka.

Aku juga terkejut. Apa mungkin aku seperti itu atau karena stres. Aku mengelengkan kepala. Menolak untuk gila. Tak mungkin lelaki tampan dan kaya raya yang selalu diincar semua wanita tiba-tiba gila akibat pernikahan yang kedua.

Tak mungkin, tak akan ada yang percaya. Aku hanya merasa menyesali perbuatanku kepada Intan dan Bayu. Memaksa mereka menerima Rita dan keluarganya.

"Kita bawa ke rumah sakit jiwa," ucap Rico. Mereka menganggukkan kepala tanda setuju.

Tak ada bos besar yang menjadi gila karena persoalan sepele ini. Aku memberontak sekuat tenaga agar tali ini terlepas.

Berteriak di dalam hati." Tidak! Aku tak mau ke rumah sakit."

Mereka meninggalkanku di dalam kamar seorang diri dan menutup pintu rapat. Sepasang mata tersenyum menyeringai di pojok kamar. Ia tertawa seakan-akan aku kalah.

***

Akhirnya, Intan pulang ke rumah. Ia menatapku dari pintu kamar. Rita berada di belakangnya.

Tak ada rasa rindu di mata wanita itu. Wanita yang telah aku khianati cintanya.

Tangannya melepas lakban di mulutku dengan cepat. Rasa sakit dan nyeri di bagian tersebut.

"Intan kamu pulang," sapaku dengan nada rindu.

"Aku pulang untuk membawamu ke tempat yang tepat. Kamu jangan khawatir. Tetaplah menurut apa yang aku perintahkan."

Segerombolan orang berpakaian serba putih masuk ke kamar. Mereka mengelilingiku. Menatap dengan tajam seolah-olah aku adalah mangsa yang empuk.

"Bawa dia!" perintah Intan.

"Tidak, jangan! Kalian mau bawa aku ke mana? Aku mohon! Aku tidak gila hanya stres. Intan! Tolong Mas!" teriakku mereka memegang tubuhku yang memberontak. Melawan sekuat tenaga, aku tak mampu.

Seorang wanita berpakaian sama menghampiriku dengan tangan memegang alat suntik. Jarum itu menusuk ke bagian lengan. Seketika tubuhku melemas dan terpejam. Rasanya seperti melayang di udara.

"Intan, Bayu maafkan papa," lirihku dalam tidurku.

****

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Hadiah Terindah Di Pernikahan Kedua Suami   Ektra Part

    Aku menatap langit begitu cerah, begitu juga suasana pagi ini. Wanita berkebaya putih dengan hijab senada duduk di samping pria yang akan menghalalkannya. Suara bayi menangis berada di sampingku. Bayi itu milik Lisa. Lisa telah melahirkan seorang anak perempuan. Bayi mungil berwajah mirip dengan ibunya. "Mungkin dia haus," ucapku mengusap kepala mungil bayi berusia dua bulan..Wanita yang dipercaya menjaga anak Lisa segera mengambil susu dalam botol. Susu itu bukan susu kaleng atau susu sapi. Tetapi, susu asli dari ibunya langsung yang diambil dan disimpan dalam lemari pendingin. Bayi mungil itu langsung menyedot ASI dalam botol dot dengan cepat. "Kasihan, haus ya." Gemas sekali melihat anak itu. Kuusap perut yang semakin membesar. Sebentar lagi anak ini juga lahir. Tinggal menunggu waktu yang tepat. Ijab kabul mulai di lontarkan. Mas Bro telah memenuhi keinginan Lisa. Ia telah belajar salat dan mengaji. Di hadapan Lisa melantunkan ayat suci Al-Quran. Lisa menerima Mas Bro se

  • Hadiah Terindah Di Pernikahan Kedua Suami   Seratus Empat Puluh Dua

    Bab 142 "Mas ngapain di situ?" Aku menoleh ke arah belakang, Rita datang menghampiriku. Ia duduk di samping sambil ikut menikmati keindahan malam. "Bagus pemandangannya." "Tadi acaranya meriah banget, ya. Pengantinnya juga cantik dan serasi.""Iya, Intan selalu cantik," pujiku tanpa menyadari perkataan yang terlontar. "Oh, pantesan dari tadi kamu itu lihatin Intan terus ternyata belum move on!" Rita bertolak pinggang. Ia menjewer telingaku hingga hampir terlepas. "Aduh! Aduh! Sakit Rita!" "Kamu tadi bilang cantik." "Intan perempuan pasti cantik masa aku bilang ganteng. Gak lucu kan?" Rita melepaskan tarikannya dari telingaku. Aku mengusap pelan telinga yang kini terlihat memerah. "Kamu itu cemburu aja. Kamu juga cantik, kok. Gak kalah sama Intan." "Apanya cantik. Boro-boro beli skincare, serum atau pelembab. Pakai bedak sama lipstik aja sudah bersyukur." "Kamu gak pakai bedak juga masih cantik." "Gombal! Mana ada?" "Ada, buktinya kamu." Aku mencolek dagu Rita. Bagaimanap

  • Hadiah Terindah Di Pernikahan Kedua Suami   Seratus Empat Puluh Satu

    Bab 141 Setelah aku menganti pakaian. Aku menghampiri putraku di dalam kamar. Jari mungil Bayu menari di atas buku gambar. Memberikan warna yang tepat dan sesuai. "Bayu sedang apa?" tanyaku lembut dan bersahabat. "Mewarnai," ucap anakku polos. Aku menatap hasil gambar anakku. Ia pandai menggambar dan melukis. Hobi baru saat ini. "Siapa yang mengajari kamu?" "Papa." Kuusap lembut surai anakku. Aroma shampo sejak dulu masih sama dan tak berubah. "Bayu, tadi dipanggil Om Rey kok begitu?" Aku mulai bertanya perlahan mungkin ada hubungannya dengan mimpi Bayu kala itu. Ia mengatakan kalau aku tak boleh menikah. "Om Rey akan ambil mama dari Bayu," ucap anakku polos. Tangannya tak berhenti mewarnai. Aku mengernyit heran, apakah ada orang yang berbicara hal tidak-tidak dengannya."Gak mungkin. Kamu anak Mama. Gak ada yang bisa memisahkan kita." Bayu duduk dan menyilangkan kaki. Tatapan polosnya membuatku semakin gemas. "Dulu Papa nikah lagi dan pergi meninggalkan Bayu. Ia memilih T

  • Hadiah Terindah Di Pernikahan Kedua Suami   Seratus Empat Puluh

    Bab 140 Kami mengikuti Om Leo bersama gadis muda. Ia tampak seperti anak kuliahan. Usianya sekitar dua puluh tahun. Om Leo tampak mengusap paha gadis yang mengenakan rok mini itu. Suara manja terdengar di bibirnya. Aku pastikan kalau hasrat Om Leo sedang naik. Mata yang pernah aku lihat ketika ia melihat bagian sensitifku. "Bagaimana aku makan makanan ini kalau pakai masker?" keluh Rey yang sejak tadi menatap makanannya. "Pindah duduk di sini. Mereka tak akan bisa melihat wajahmu." Rey mengikuti apa yang aku sarankan, pria itu makan dengan lahap. Aku mencegah kepalanya agar tak menoleh ke arah Om Leo. "Makan saja jangan tengok-tengok." "Calon istriku luar biasa," pujinya menatapku. Kami memilih duduk di dekat pot besar jadi tubuh Rey tertutup tanaman itu. Om Leo juga tak menyadari kehadiran kami di sini. Rey sudah selesai dengan makanannya. Aku meminta pelayan untuk membungkusnya saja. Segera membayar tagihan restauran dan bangkit dari duduk. "Papa masih di dalam kenapa kita

  • Hadiah Terindah Di Pernikahan Kedua Suami   Seratus Tiga Puluh Sembilan

    Bab 139Kaki Rey sudah lebih baik, aku selalu menemaninya ke mana saja. Serly sudah pulang ke Indonesia. Sedangkan Tante Aura masih ada urusan di negara ini.Adel sudah kembali ke rumahnya. Aku bahagia melihat keadaan Bundanya Adel. Ia masih mengingatku tak seperti dulu. Ganggu jiwanya sudah sembuh. Adel dan Om Arga saling bekerja sama untuk merawatnya. Mereka Keluarga yang kompak apalagi On Arga mampu menjadi sosok ayah untuk Adel. "Kalau kita sudah menikah kamu mau anak berapa?" tanya Rey ketika kami berjalan-jalan ke taman. Suasana dan cuaca hari ini sangat mendukung kami untuk menikmati keindahan negara Singapura. Rey, masih mengunakan kursi roda. "Nikah aja belum sudah tanya mau anak berapa?" "Ya, namanya rencana masa depan. Jadi harus di perkirakan." "Memangnya kamu sanggup berapa?" Kehentikan langkah di depan air mancur. Aku berdiri tepat di hadapan Rey, kuangkat dagu ke arah pemuda itu. "Kamu mau ronde berapa?" godanya mengerlingkan mata. "Nakal!" Kujewer telinganya p

  • Hadiah Terindah Di Pernikahan Kedua Suami   Seratus Tiga Puluh Delapan

    Bab 138 Aku dan Serly telah berada di bandara Singapura. Reyhan dan teamnya berada di sini. Kami berjalan menuju hotel Reyhan. Sengaja aku tak menghubungi pria itu untuk memberikan sedikit surprise. Langkahku lebih cepat sebelumnya, Serly tampak kelelahan. "Haduh, pelan-pelan bisa gak si Bu Bos?" "Eh, ini udah pelan. Kamu aja pakai sepatu tinggi begitu. Apa gak lelah?" "Ini sepatu pemberian pacarku jadi aku pakai biar ia senang." "Dasar bucin. Kita ini jalan-jalan jauh bukan ke mall atau ke cafe." "Lebih bucin lagi terbang ke luar negeri demi sang kekasih." Aku hanya tertawa pelan, kita berdua memang sama-sama bucin. Kulangkahkan kaki memasuki sebuah hotel mewah. Hotel bintang lima memiliki keindahan yang tak bisa ditandingi. Pemandangan luar biasa bagi para wisatawan. Singapura memiliki ciri khas keindahan sendiri. "Kita akan ke mana?" tanya Serly mengandeng tanganku. "Kita ke kamar hotelnya.""Memang kamu tahu tempatnya?" "Ya ampun, tentu saja tahu. Ayo kita tanya resep

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status