LOGINAku membuka mata perlahan. Pandanganku masih kabur. Langit-langit putih menyambut, disertai bau khas rumah sakit—antiseptik dan obat-obatan.Aku berkedip beberapa kali, mencoba fokus."Sayang? Kamu udah bangun?" Terdengar suara Om Kais dari samping.Aku menoleh. Om Kais duduk di kursi sebelah ranjang, tangannya menggenggam tanganku erat. Wajahnya lelah tapi tersenyum lega."Bunny—" suaraku serak. "Aku di mana?""Di rumah sakit. Kamu pingsan setelah sidang." Om Kais mengusap rambutku lembut. "Aku langsung bawa kamu ke sini.""Oh—" Aku mencoba duduk."Eh, jangan duduk dulu." Om Kais menahan bahuku."Tapi aku mau—""Adek, nurut sama suamimu." Suara Mama dari ujung ruangan.Aku menoleh ke arah suara. Dan... mataku melebar.Ramai banget.Mama duduk di sofa dengan wajah khawatir campur lega. Papa berdiri di belakangnya. Mama Maya—yang sekarang mengenakan jas putih dokter—berdiri di samping ranjang dengan stetoskop di leher. Mas Pandu berdiri di sebelah Papa dengan tangan dilipat di dada tap
“Nggak apa-apa, Bunny. Sudah mendingan setelah dikompres pakai air hangat.”Om Kais masih memasang wajah khawatir sambil terus mengompres perutku.“Kayaknya aku mau datang bulan deh.”“Tapi biasanya nggak pernah sampai sesakit ini, kan?” tanyanya.Aku menggeleng pelan. “Mungkin karena stres. Jadi telat datang bulan, terus pas mau keluar rasanya sakit.”“Beneran?” Nada suaranya masih ragu.“Iya, Bunny,” jawabku sambil menarik selimut. “Bobo lagi yuk.”***Dua hari kemudian—Om Kais mondar-mandir di depan pintu ruang sidang seperti singa di dalam kandang. Langkahnya cepat, tangannya sesekali meremas belakang leher—tanda dia sangat cemas. Wajahnya pucat. Keringat mulai muncul di dahi meskipun AC koridor dingin.Aku duduk di kursi tunggu dengan blazer abu-abu dan rok hitam selutut—pakaian formal untuk sidang. Di sebelahku ada Safa dengan senyum menenangkan, dan Mas Rayyan yang sesekali menepuk bahu Om Kais untuk menenangkannya."Bunny, duduk dulu. Nanti kamu yang sakit." Aku memanggil Om
Ruang keluarga di rumah Mama Maya terasa luas dan nyaman. Sofa-sofa besar berwarna putih tersusun mengelilingi ruangan. Sebuah proyektor sudah terpasang—dipasang oleh Om Kais sejak sore tadi—siap menampilkan slide presentasiku.Aku berdiri di depan dengan laptop di atas meja, remote presenter di tangan kanan dan catatan kecil di tangan kiri. Jantungku berdebar kencang—gugup luar biasa, padahal ini baru latihan sebelum sidang skripsi yang sebenarnya, dua hari lagi.Di hadapanku duduk Mama Maya di sofa tengah—dengan kacamata baca bertengger di hidung, membawa notes kecil untuk mencatat. Om Kais duduk di sebelahnya, tersenyum menenangkan padaku.Tapi yang bikin aku mau ketawa sekaligus terharu... ada audience lainnya.Tiga satpam—Pak Agus, Pak Budi, dan Pak Darma—duduk di kursi belakang, wajah serius seperti sedang menghadiri seminar internasional. Delapan ART—Mbak Sri, Mbak Tuti, Mbak Yani, dan yang lainnya—duduk di kursi samping, ada yang bawa notes, ada yang siap-siap rekam video. Dua
Rumah Safa telah disulap menyerupai mini ballroom. Bunga-bunga segar bernuansa soft pink dan putih menghiasi setiap sudut ruangan. Sebuah backdrop bunga terpasang di dinding utama sebagai area foto, sementara kursi-kursi berjajar rapi. Bukan acara besar—hanya mengundang keluarga inti, kerabat dekat, dan beberapa sahabat.Aku duduk di kursi baris nomor dua bersama Om Kais, Mama, Papa, serta Mas Pandu yang datang bersama Mbak Nindi. Safa duduk di kursi khusus yang disiapkan di depan backdrop. Dia mengenakan kebaya soft pink, make-up natural yang membuatnya terlihat bercahaya. Cantik sekali. Mas Rayyan duduk di sebelahnya dengan kemeja batik, gugup tapi senyumnya tidak lepas dari wajah.Acara dimulai dengan doa. Semua orang menunduk, tangan terbuka. Aku mencoba fokus pada doa yang dilantunkan, tapi mataku terus melirik ke Safa. Sahabatku. Sahabat sejak lahir. Yang selalu ada untukku. Yang menemani setiap suka dan duka.Dan sekarang... dia akan segera menikah.Air mata mulai menggenang.
Aku tahu Om Kais menyadari ada yang aneh denganku. Sejak pulang dari rumah Safa tadi sore, aku jadi pendiam. Saat diajak ngobrol, aku cuma jawab seadanya tanpa menatap matanya. Saat dia peluk, aku menghindar dengan alasan mau ambil minum. Saat dia cium pipiku, aku diam saja—tidak membalas seperti biasanya."Sayang, kamu yakin nggak apa-apa?" Om Kais bertanya untuk kesekian kalinya sambil duduk di tepi ranjang, menatapku yang sedang lipat-lipat baju di lemari."Iya, Bunny. Aku baik-baik aja kok." Aku menjawab tanpa menoleh."Tapi kamu aneh dari tadi—""Enggak kok. Aku cuma capek aja. Habis dari perpus terus ke rumah Safa. Jadi agak lelah." Aku mencoba tersenyum, tapi tetap tidak menatapnya.Om Kais terdiam. Aku tahu dia tidak percaya. Tapi dia tidak memaksa."Oke. Kalau kamu mau cerita, aku siap mendengarkan." Om Kais akhirnya berkata lembut."Iya, Bunny. Makasih." Aku masih sibuk dengan baju-baju yang sebenarnya sudah rapi.Setelah selesai dengan baju, aku mengambil handuk. "Aku mandi
Aku menutup laptop dengan lega. Skripsi hampir selesai. Tinggal revisi typo di beberapa halaman, setelah itu bisa ACC dan mendaftar sidang. Akhirnya!Tapi... ada yang mengganjal.Aku menatap refleksi wajahku di layar laptop yang hitam. Pipi terlihat lebih tembem. Dagu mulai dobel. Dan yang paling menyebalkan—ada dua jerawat merah di dahi."Aduh—" Aku menyentuh pipi dengan tangan. Terasa lebih berisi.Saking seringnya ngemil selama mengerjakan skripsi—keripik, cokelat, kue, gorengan, semua masuk tanpa filter—tubuhku terasa lebih berat. Beberapa orang bahkan berkomentar, "Binar, kamu makin bulat ya?" atau "Wah, pipimu makin tembem, lucu!"Lucu kepalamu.Aku kesal sendiri. Apalagi kalau jalan bareng Om Kais. Dia selalu tampil ganteng—jas rapi, rambut klimis, wangi parfum mahal, senyum menawan. Sementara aku? Makin bulat kayak bakpao."Harus diet nih!" Aku bergumam sambil membereskan laptop dan buku-buku ke dalam tas.~~~Setelah dari perpus, aku memutuskan mampir ke rumah Safa. Sudah lam







