Hajatan Tetangga#Tetangga_tak_tahu_kami_kayaAku langsung berlari ke kamar, tempat kotak kecil itu berada, di situ ada surat hibah dan sertifikat tanah. Ada juga surat nikah almarhum mertua beserta surat penting lainnya.Benar saja kotak kayu berukiran itu sudah terbuka, isinya berserakan di lantai."Pah, Papahh!" teriakku histeris.Suami datang, akan tetapi dia tetap tenang, suamiku ini memang tipe orang yang tak mudah panik. Akan tetapi masalah begini sudah sepantasnya panik."Tenang, Mak, ambil napas panjang dulu," kata suami, dasar!"Papah gimana, sih, surat hibah itu, Pah, hilang, Papah malah suruh ambil napas?" kataku setengah berteriak."Tenang, Mah, sudah Papah antisipasi ini," kata suami."Antisipasi, antisipasi, macam pengacara aja sekarang omongan Papah," kataku seraya memunguti surat lain yang berserakan.Tanpa di suruh, tetangga kiri kanan masuk r
Hajatan Tetangga#Tetangga_tak_tahu_kami_kayaSuami tidur siang di dalam rumah. Ini untuk yang pertama kali suami tidur siang, selama ini dia anti dengan yang namanya tidur siang, kalau lagi libur dia berkebun di belakang rumah. Aneh memang, akan tetapi itulah suamiku.Akhir-akhir ini memang selalu ada untuk yang pertama kali, pertama kali beli perhiasan, pertama kali makan diluar. Bukan karena suami anti makan atau anti penyedap rasa. Bukan, akan tetapi begitulah, kami hidup dalam kesederhanaan. Kalaupun aku pengen bakso, paling suami beli yang sudah dibungkus, makannya di rumah.Aku masih duduk di bangku kayu depan rumah. HP jadul terus kupantengi, mana tahu Pak Abdul telepon balik. Ada motor besar berhenti depan rumah. Seorang pria turun dari motor tersebut. Aku kenal pria itu, dia Pak Lubis, pengacara yang pernah datang ke rumah."Selamat pagi, Bu," kata Pak Lubis seraya menyalamiku."Pagi juga, Pak, suami saya la
Hajatan Tetangga#Tetangga_tak_tahu_kami_kayaPart 11Perjalanan menuju rumah Elsa terasa lama, aku penasaran seperti apa Elsa ini."Makasih ya Mah," kata suami sambil melihat wajahku di kaca spion."Makasih untuk apa, Pah?" jawabku seraya mengencangkan pegangan."Makasih telah cemburu," kata suami."Idihh, Papah," aku mencubit pinggangnya."Cemburu itu tandanya cinta," kata suami lagi."Iya, Pah, mamangnya siapa si Elsa ini? Sudah lama kenal? Kenal di mana?" tanyaku lagi."Udah, Mah, nanti juga ketemu," kata suami seraya membelokkan motor ke satu komplek perumahan elit.Setelah lapor ke satpam dan meninggalkan KTP, kami lanjut masuk. Suami menghentikan motor di depan rumah besar. Lalu menekan bel. Tak berapa lama kemudian muncu
Hajatan Tetangga#Tetangga_tak_tahu_kami_kayaRumah yang kami tempati kini rumah petak yang hanya ada satu kamar. Jaraknya dari komplek sekitar dua kilometer. Karena memang tak punya banyak barang acara pindahan kami lebih mudah. Tak sampai setengah hari sudah selesai semua. Suami tak cerita lagi soal tanah empat hektar, bagaimana lanjutannya aku juga tak tahu. Sifat suami yang memang pendiam dan tertutup. Bahkan dia bisa merahasiakan simpanannya selama lima belas tahun. Akan tetapi aku yakin dan percaya suami berbuat demi kebaikan kami. Keesokan paginya aku datang lagi ke komplek itu, ditemani Makmur anakku kami naik motor baru. Aku ingin melihat bagaimana bunga-bunga yang tak bisa kubawa. Di pintu masuk komplek sekuriti yang berjaga menunduk hormat padaku. Ini tak biasa, biasanya bila aku yang lewat dia akan pasang wajah sangar. Apa sekuriti ini sudah tahu yang sebenarnya? Aku terkejut melihat bunga-bunga itu, banyak yang sudah tercabut dari potnya, ada juga yang potnya ikut hila
Hajatan Tetangga#Tetangga_tak_tahu_kami_kayaPov Bu BondanPertama pindah ke komplek ini aku sudah gerah melihat tetangga sebelah rumah. Semua rumah sama modelnya kecuali rumah itu. Lahannya lebih luas akan tetapi bangunannya lebih pantas disebut kandang ayam dari pada rumah.Bagaimana tak disebut kandang ayam, dindingnya saja masih dari anyaman bambu, jaman yang sudah modern begini, di komplek perumahan tergolong elit, masa ada rumah dinding bambu? kan gak level.Begitu kami pindah kemari yang pertama kuprotes adalah rumah itu, pihak developer berjanji akan mengusir mereka, akan tetapi menunggu ada alasan untuk mengusir.Di komplek ini aku termasuk yang paling tua, penghuni di sini rata-rata pasangan muda hanya kami pasangan pensiunan. Bondan anak bungsuku sudah remaja. Kami termasuk terlambat beli rumah. Sudah tua baru bisa beli, itu pun dengan cara kredit.Pernah suatu pagi aku bertandang ke rumah tetangga
Hajatan Tetangga#Tetangga_tak_tahu_kami_kayaPov Bu Bondan 2Begitu mereka pindah yang pertama aku tergiur adalah koleksi bunga si Yanti. Halamannya yang luas ditumbuhi beragam bunga. Apalagi ada beberapa keladi yang lagi booming. Kucoba meminta secara baik-baik. Si Yanti justru tak mau memberikan. Dasar pelit, sudah mau ditinggal pun tak dikasih juga. Mereka pindah, tentu saja tak bisa membawa bunga yang begitu banyak. Tomat dan cabe lagi berbuah di belakang rumahnya. Langsung keambil semua. Sama yang masih mentah pun kuambil, lumayan bisa stok cabe beberapa minggu. Tinggal bunga yang belum kuambil. Kuajak beberapa ibu lain ambil bunga Yanti, mereka semua mau, siapa juga yang gak mau bunga gratis, hanya si Irma wanita simpanan itu yang menolak. "Bu Yanti sudah melarang, tak baik kita ambil, itu mencuri namanya," begitu alasan Bu Irma. "Alah, sok suci, ambil suami orang bisa kau." kataku kesal. Aku benci dengan penolakan. "Maafkan, Bu, aku gak ada ambil suami orang, jangan asal
Hajatan Tetangga#Tetangga_tak_tahu_kami_kaya"Pah, nanti kalau kita kaya aku ingin punya taman bunga," kataku pada suami. Malam itu kami lagi duduk berdua di depan TV."Beli mobil gak jadi, Mah?" jawab suami, matanya tetap pokus ke layar TV."Gak usah, Pah, lagian gak perlu kali," jawabku kemudian."Perlulah, Mah, kalau kita pergi bertiga sama Makmur, kan gak muat di motor."."Gak usah, Pah, nanti punya mobil Papah bertingkah,""Bertingkah bagaimana, Mah?""Kan punya mobil, tampan lagi, nanti digaet pelakor,""Hahaha,""Ketawa sih, Pah?""Mah, ujian itu bermacam-macam, kita sudah melewati ujian kemiskinan selama lima belas tahun, kita lulus, Mamah bisa sabar, kini Tuhan mungkin menguji kita dengan kekayaan, kita harus lulus juga, Mah, jangan berpikir yang macam-macam." kata suami panjang lebar.Suami memang jarang bicara, akan tetapi jika bicara selalu mengena.&nb
Dua minggu berlalu, entah kenapa aku rindu taman bungaku, entah sudah bagaimana nasibnya. Aku kini tak boleh lagi asal pergi ke sana, kata suami kalau mau ke sana harus sama suami. Istilah suami aku ini sumbu pendek, mudah meledak bila diusili orang."Pah, kita lihat rumah kita, Yuk?" ajakku di suatu pagi di hari minggu ketika suami libur kerja."Itu belum rumah kita, Mah," jawab suami."Jadi rumah siapa, Pah? tanahnya semua punya kita?""Perkaranya sudah didaftarkan ke pengadilan, Mah, sebelum putusannya keluar kita tak boleh melakukan aktivitas pembangunan," kata suami menjelaskan."Rumit kali, Pah, terus bagaimana taman bungaku?" tanyaku lagi."Mau diapakan lagi, tunggulah, Mah, urusannya kelar, baru kalau mau berkebun bunga satu hektar pun silakan," kata suami."Papah sih, ada urusan yang mudah malah mau yang sulit." kataku sewot."Sabar, napa, Mah?" suami tetap terlihat tenan