Home / Romansa / Hamil Anak Bos / BAB 3 : Tukang Suruh

Share

BAB 3 : Tukang Suruh

Author: Jesslyn Kei
last update Huling Na-update: 2024-12-19 18:12:00

Tanpa banyak bertanya Dewi diam saja saat Alex menyalakan mesin mobil. Sepanjang perjalanan keheningan menyelimuti keduanya. Hanya terdengar suara bising kendaraan. Baik Alex maupun Dewi, keduanya nampak enggan memulai percakapan. Namun sesekali tatapan mata keduanya diam-diam saling melirik satu sama lain.

"Kenapa kamu senyum-senyum sendiri begitu? Ada yang lucu?" tanya Alex ketika memergoki Dewi yang tengah tertawa pelan.

"Enggak, Mas. Anu... Itu bukan apa-apa." 

Dewi mengeleng pelan. Wajahnya yang tertunduk nampak salah tingkah. Menyadari kerutan di kening Alex semakin dalam dengan salah satu alis yang terangkat sebelah saat memandang wajahnya, Dewi pun berdehem pelan.

"Oh maaf. Biasanya wanita yang sudah menikah di keluarga saya akan memanggil suaminya dengan panggilan mas. Jadi apa boleh kalau aku panggil kamu dengan sapaan mas?" 

Dewi membungkuk hormat sembari meminta izin untuk memanggil Alex dengan panggilan khusus. Ia merasa perlu mengutarakan keinginannya itu terlebih jarak usia mereka berdua terpaut lumayan jauh. 

Dimana Alex berusia tiga puluh dua tahun, sedangkan Dewi masih berusia dua puluh tiga tahun. 

"Terserah," ketus Alex. 

"Terima kasih," jawab Dewi seraya tersenyum simpul. 

Keduanya tidak lagi berbicara setelah percakapan singkat itu berakhir.

Berjam-jam menyusuri jalan raya, tanpa terasa mereka sampai di sebuah rumah bergaya minimalis modern dengan warna putih yang mendominasi keseluruhan interiornya. 

Dewi berjalan perlahan menyusuri setiap sudut ruangan. Ia ingin mengenali setiap bagian dari jiwa Alex melalui ruangan-ruangan yang ada di rumah itu. Berharap dengan begitu dirinya dapat merasa nyaman dan betah tinggal satu atap dengan sang suami.

"Dewi."

Mendengar suara lantang Alex yang memanggil namanya, Dewi buru-buru kembali menghampiri suaminya.

"Iya, Mas?" 

Saat Dewi mendekat, Alex sedang duduk di sofa. Matanya memandang ke arah televisi yang sedang menyiarkan berita terhangat pagi hari itu. 

"Duduk! Ada yang ingin saya bicarakan denganmu," ucap Alex sembari melirik ke arah sofa kosong yang ada di seberangnya.

Dewi menurut. Perlahan ia mendudukkan dirinya pada celah kosong sofa panjang yang sebelahnya sudah diduduki Alex.

"Dengarkan baik-baik karena saya hanya mau membicarakan ini satu kali saja."

Kini pandangan mata dan posisi duduk Dewi sudah tertuju hanya pada Alex. Jemarinya bergerak merapikan rambut ke belakang telinga agar dapat memusatkan pendengaran. Kalau saja ia membawa kertas dan bolpoint, mungkin sekarang sudah dikeluarkannya untuk mencatat perkataan suaminya seperti saat di kantor.

"Dengar ya, Wi. Saya tidak suka ada orang asing masuk rumah ini. Jadi jangan coba kamu membawa siapapun masuk kesini tanpa seizin saya. Mengerti?"

"Mengerti, Mas."

Alex memutar bola matanya sekilas, seperti tengah berusaha mengingat sesuatu.

"Ngomong-ngomong apa kau bisa masak?"

"Kalau hanya sekedar masak makanan rumahan yang sederhana, saya bisa."

Alex mengangguk pelan. Senyum tipis nampak terukir di wajahnya.

"Baiklah. Urusan dapur sekarang jadi tanggung jawabmu. Nanti saya akan berikan uang untuk belanja bulanan. Pakailah dengan bijak."

"Baik, Mas."

"Selama kamu tinggal disini, saya minta satu hal sama kamu. Jangan mengubah perabotan atau apapun yang sudah saya tata di rumah ini. Saya tidak suka ada orang yang mengacak-acak rumah saya. Mengerti?"

"Mengerti, Mas."

"Satu lagi. Kamu boleh pergunakan seluruh fasilitas yang ada di rumah ini, tapi jangan pernah kamu sentuh barang-barang yang ada di ruang kerja saya. Paham itu?"

"Iya, Mas. Saya akan selalu mengingatnya."

"Bagus. Kalau begitu kamu boleh pergi sekarang. Jangan ganggu saya yang mau istirahat," usir Alex sembari menyandarkan punggungnya ke sofa.

Dewi memandangi wajah Alex yang kini sudah merebahkan kepalanya di sandaran sofa. Mata lelaki itu sudah tidak lagi menatap mata Dewi, melainkan beralih ke arah televisi di depannya.

Tidak ingin menganggu istirahat suaminya, perlahan Dewi berdiri dan berjalan menjauh dari sofa.

Saat tengah berganti pakaian, ia mendengar suara Alex yang berteriak-teriak memanggil namanya. Dengan cepat Dewi memakai kembali bajunya dan keluar kamar.

"Ada apa, Mas?" tanya Dewi begitu mendekat ke sisi Alex. 

"Habis dari mana kamu? Dipanggil dari tadi bukannya nyaut. Budek ya kamu?" 

"Maaf, Mas. Aku tadi lagi pakai baju, habis selesai mandi."

Alex melirik jam dinding yang ada diruangan itu. Ujung jarum jamnya menunjukkan pukul dua belas siang.

"Mandi? Kau mandi tengah hari bolong begini?" tanya Alex seolah tak percaya.

"Iya, Mas. Habisnya gerah. Agak bau juga karena baru selesai masak."

Alex mengangguk singkat, tak lagi mempermasalahkan Dewi yang mandi saat siang hari.

"Ya sudah. Sekarang kau siapkan saya makan siang. Cepat sana siapkan!. Sepuluh menit lagi saya ke meja makan," usir Alex sambil mengibaskan telapak tangannya. 

Dewi menurut dan lantas berjalan ke dapur, menyiapkan makan siang untuk suaminya. Tidak lama kemudian, Alex datang menghampirinya ke meja makan.

"Mana makanan untuk saya?" 

Alex memilih duduk di salah satu kursi yang paling ujung. 

"Sebentar, Mas. Aku ambilin nasinya."

Dengan cekatan Dewi melayani suaminya makan. Mulai dari menyendokkan nasi dan lauk pauk ke piring kosong yang ada di hadapan Alex.

"Ini, Mas. Makan yang banyak."

Alex tak menanggapi ucapan Dewi. Tatapannya yang sudah fokus ke arah makanan di piringnya, mendadak beralih saat Dewi duduk di sebelahnya.

"Mau ngapain kau duduk disitu?"

"Mau ikutan makan. Kita makan bareng ya, Mas."

Dewi yang baru saja mengambil piring kosong yang ada di hadapannya, terpaksa menaruh kembali piring itu ke tempatnya semula begitu melihat gelengan kepala Alex.

"Enggak. Enggak. Kau makannya nanti saja. Sekarang kau ke pergi ke halaman depan. Itu ikan-ikan saya yang ada di kolam sudah dua hari belum di kasih makan gara-gara kau."

Dewi tercenung, tak mengerti kenapa dirinya jadi disalahkan hanya karena ikan yang belum di beri pakan selama dua hari.

"Gimana maksudnya, Mas?"

"Iya. Semuanya karena ulah kau. Kalau saja kemarin saya tidak sibuk seharian di acara pernikahan, saya tak mungkin lupa kasih makan ikan-ikan itu. Jadi sekarang kau harus membayar kesalahanmu kemarin pada ikan-ikan saya. Sekalian berkenalan dengan mereka."

Dewi mengeleng pelan. Bagaimana mungkin ia memberi pakan ikan sekarang sementara perutnya sendiri perlu lebih dulu di beri makan? Ini terasa tak adil baginya. 

"Kenapa diam saja? Sana cepat pergi ke kolam!" tegas Alex menyadari Dewi tak segera beranjak pergi.

Dewi kembali mengatupkan mulutnya, mengurungkan niat yang hendak melayangkan gugatan protes. Sejenak ia kembali teringat statusnya sebagai seorang istri yang harus berbakti dan mematuhi perintah suami. 

Walau agak sedikit kesal, Dewi beranjak dari tempat duduknya. Namun Alex tiba-tiba menahan pergelangan tangannya.

Genggaman tangan Alex membuat rasa kesal Dewi menguap begitu saja. Wajahnya yang semula merengut jadi sedikit merona. Berbanding terbalik dengan Alex yang menatapnya kesal.

BERSAMBUNG..

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Hamil Anak Bos   Bab 36 : Jejak yang Tak Terlihat

    Pikirannya penuh dengan pertimbangan. Alex kini sudah duduk di sofa di seberangnya, sibuk dengan ponselnya, sementara suara televisi hanya menjadi latar tanpa ada yang benar-benar menyimak.Dewi menarik napas pelan sebelum akhirnya membuka suara. "Mas..."Alex mengangkat wajahnya, alisnya sedikit terangkat karena nada suara Dewi terdengar ragu. "Hmm?"Dewi menggigit bibirnya sejenak sebelum melanjutkan, "Aku mau cerita sesuatu. Tadi aku nggak sengaja ketemu seseorang."Alex menyandarkan punggungnya, kini memberikan perhatian penuh. "Siapa?""Fabio," jawab Dewi pelan. Ia memperhatikan ekspresi Alex yang awalnya tenang, kini tampak sedikit berubah, meski sulit diartikan."Fabio?" Alex mengulang nama itu dengan nada datar.Dewi mengangguk. "Dia teman lama. Kami kenal sejak SMA. Dulu... Fabio itu seperti kutu buku, nggak banyak omong, tapi kalau bicara selalu berbobot

  • Hamil Anak Bos   BAB 35 : Kepulangan yang Dinantikan

    Dewi mengerutkan kening, melihat Lucas berlarian menghampirinya. Remaja itu merentangkan tangan dengan telunjuk teracung, entah sedang menunjuk ke arah mana."Ada apa sih? Mbak lagi tanggung nih.""Sebentar aja, Mbak. Ayo! Sini dulu," kata Lucas sambil menarik-narik tangan Dewi.Dewi mendesah pelan, menaruh pisau yang sedang dipegangnya, lalu mengikuti Lucas yang tampak bersemangat. Saat mereka melangkah keluar, hawa dingin pagi menyambut, disertai sinar matahari yang masih lembut memantul di daun-daun basah."Lihat siapa yang datang, Mbak!" ujar Lucas dengan mata berbinar, menunjuk ke arah halaman depan.Dewi mengintip sekilas dari balik pintu, dan langkahnya seketika berhenti. Mata bulatnya terpaku pada sosok lelaki yang berdiri di sana— Alex. Meski hanya semalam tidak bersama, kerinduan itu terasa begitu menyesakkan. Ia menatap Alex lama, mengabaikan dingin di ujung jemarinya, seo

  • Hamil Anak Bos   BAB 34 : Keputusan Terberat

    Dewi duduk di seberang Arman, sementara Lucas berdiri di dekat meja, bersandar dengan tangan terlipat. Wajahnya tetap menunjukkan rasa curiga yang tak disembunyikan. Arman membuka map cokelat dan meletakkannya di atas meja. Beberapa lembar dokumen terlihat, beberapa di antaranya penuh dengan angka-angka dan tabel yang sulit dipahami.Saat Arman bersiap berbicara, Lucas berbisik pelan ke telinga Dewi."Mbak, yakin kita harus percaya orang ini? Kita bahkan nggak kenal dia."Dewi menegang sejenak. Keraguan itu sejujurnya juga ada dalam benaknya. Namun, ia tidak punya pilihan lain. Ia menatap Lucas, memberikan isyarat agar tetap waspada.Arman mengamati mereka sebentar, seolah menyadari bisikan Lucas, sebelum akhirnya membuka suara. Sekilas, ada keraguan di wajahnya. Ia menatap Dewi, sorot matanya lebih tajam dari sebelumnya.“Sebelum saya jelaskan lebih jauh, saya harus bertanya,” Arman memul

  • Hamil Anak Bos   BAB 33 : Tamu Tak Diundang

    Dewi berdiri di ambang dapur, menatap pintu depan dengan hati berdebar kencang. Ketukan keras itu terus terdengar, seolah memukul setiap sudut rumah kecil mereka. menuntut perhatian, memukul setiap sudut rumah mereka yang sunyi. Ia bisa mendengar napasnya sendiri yang mulai tidak beraturan, berusaha keras melawan rasa takut yang merayap naik. Lucas yang biasanya santai kini berdiri kaku, wajahnya penuh tanya.“Mbak Dewi, itu bukan polisi lagi, kan?” bisik Lucas, matanya tak lepas dari pintu. Suaranya bergetar, mencoba terdengar tenang meski ketegangan jelas terpancar dari gerak tubuhnya.Dewi menggenggam kain celemek di tangannya lebih erat, jari-jarinya yang dingin terasa gemetar. Ia menelan ludah, memaksa dirinya tetap tenang. Tidak mungkin polisi kembali pagi-pagi begini tanpa pemberitahuan. Tapi… siapa lagi yang datang dengan cara seperti ini? Pagi yang seharusnya menjadi awal hari, kini terasa seperti akhir dunia.

  • Hamil Anak Bos   BAB 32 : Mangga Muda

    Dewi duduk sendirian di ruang makan. Pagi itu terasa berat, meski cahaya matahari yang masuk melalui tirai menciptakan pola hangat di dinding. Dapur di belakangnya masih rapi setelah ia membersihkan piring dan gelas tadi malam. Bau sabun cuci yang samar bercampur dengan aroma kayu lemari membuat suasana semakin sunyi.Matanya memandang keluar jendela, tetapi pikirannya melayang jauh. Ia teringat jelas suatu pagi di dapur—saat Alex dengan nada perintah yang tegas, hampir tanpa senyum, mengarahkan setiap langkahnya."Dulu, ketika aku salah melakukan sesuatu, Alex langsung mengoreksi dengan cara yang dingin. Namun, di balik itu semua, aku tahu ia hanya ingin segalanya sempurna demi kebaikan bersama. Meski terkesan bossy, namun setiap perintahnya adalah cerminan dari tanggung jawab besar yang selalu ia emban," pikir Dewi dalam hati. Kenapa semua ini harus terjadi? gumam Dewi dalam hati. Pertanyaan itu terus menghantui, ter

  • Hamil Anak Bos   BAB 31 : Kemarahan Alex

    “Bukankah tadi Kakak sendiri yang membolehkan kami pergi?”Suara Lucas terdengar kecil di ruang tamu yang sempit. Waktu menunjukkan pukul delapan malam, dan udara dingin mulai merambat masuk melalui celah-celah jendela kayu. Lampu gantung kecil di langit-langit ruangan memancarkan cahaya kuning redup, menciptakan bayangan panjang di dinding.Dewi mendengar suara geram yang keluar dari mulut Alex saat Lucas menyela. Ia mulai menyesali keputusannya menerima ajakan Lucas melihat matahari terbenam. Kalau tahu suaminya akan semarah ini, mungkin dia lebih baik menolak sejak awal.“Lucas tadi kan udah telepon Kakak buat minta izin,” lanjut Lucas dengan nada lirih, seolah tahu ia sudah melanggar batas.“Tapi kamu tadi bilang mau ke mana? Ke pantai?” Alex mengangkat suaranya, menatap adiknya tajam. “Enggak kan?”Lucas menundukkan kepala, menatap lantai seme

  • Hamil Anak Bos   Bab 30 : Indahnya Sunset

    Lucas berjalan menghampiri Dewi dengan napas yang agak tersengal-sengal. Keringat mengucur deras di sekitar wajahnya yang terlihat cerah meski letih. Langit di atas mereka mulai memerah, seperti menyimpan kisah-kisah senja yang tak terungkapkan. Angin pantai yang semilir menyapu kulitnya, membawa aroma laut asin yang menyegarkan. Walaupun begitu, ia masih bisa tersenyum cerah ketika matanya bertemu pandang dengan Dewi, yang duduk di atas batu besar, menikmati pemandangan senja.“Minum dulu nih,” tawar Dewi sambil memberikan sebotol air dingin yang baru saja ia ambil dari tas.“Makasih, Mbak," jawab Lucas, menerima botol air itu dengan cepat dan langsung meminumnya hingga setengah.“Capek?” ledek Dewi dengan senyum tipis, matanya mengamati adik iparnya yang masih terlihat bersemangat meski keringat membasahi wajahnya.“Enggak, cuma keringatan aja.”“Wajar dong, main bola pasti bikin keringa

  • Hamil Anak Bos   BAB 29 : Bermain di Pantai

    “Aduh. Duh…”Dewi meringis pelan, menundukkan kepala dan mengelus perutnya dengan lembut, mencoba menenangkan ketegangan yang muncul. Matahari sore mulai merendah, memancarkan cahaya keemasan yang menciptakan bayangan panjang di pasir pantai. Udara terasa sejuk setelah siang yang terik, angin laut membawa aroma asin yang menyegarkan, dan ombak yang pelan menyapu bibir pantai seolah turut meredakan ketegangan dalam dirinya.“Kenapa, Mbak?”Lucas menoleh, mendengar suara Dewi yang meringis pelan. Dengan cepat ia mendekat, menyadari perubahan raut wajah kakak iparnya yang terlihat tidak nyaman.“Enggak apa-apa, Cas,” jawab Dewi sambil tersenyum tipis, mencoba menenangkan Lucas yang jelas terlihat cemas. Suara deburan ombak di belakang mereka memberi sentuhan ketenangan, namun Dewi merasakan getaran aneh di perutnya.Lucas memiringkan kepala, dahinya berkerut. “E

  • Hamil Anak Bos   Bab 28 : Boncengan Naik Sepeda

    Dewi nampak duduk di sebuah kursi panjang. yang terbuat dari kayu jati, dikelilingi oleh semak-semak hijau yang tak terawat. Sore hari yang tenang dengan sinar matahari yang menyelinap melalui celah-celah pohon tinggi di sekitarnya. Suara burung-burung kecil yang berkicau merdu mengisi udara, sementara angin semilir yang lembut berhembus, memberikan kesejukan yang menenangkan. Dewi sesekali mengelus perut buncitnya yang makin besar, menunggu kedatangan Lucas yang sudah lama hilang dari pandangan."Ke mana dulu sih anak itu? Lama sekali," gerutunya pelan, matanya berkeliling, mencari tanda-tanda kehadirannya."Mbak Dewi..."Dewi menoleh tak kala seseorang memanggil namanya. Matanya seketika memandang lurus, menatap seorang remaja laki-laki yang tersenyum lebar sambil melambaikan tangan ke arahnya dengan penuh semangat.Dewi memasang ekspresi cemberut seiring langkah kaki remaja semakin mendekat kearahnya. "Buang air keci

Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status