"Minuman saya mana? Kamu siapin saya makan tapi nggak siapin minum. Gimana sih?"
Dewi menuangkan air putih di gelas Alex yang masih kosong dengan cepat. Ia tidak ingin lelaki itu lebih banyak mengerutu jika tidak segera di turuti keinginannya. Ya, begitulah kepribadian Alex yang diketahuinya selama ini. Dan suaminya itu membawa juga sifat buruknya di kantor yang suka memerintah ke rumah.
"Ada lagi yang mau diambilin?" tanya Dewi setelah selesai menuangkan air putih.
"Enggak usah. Kau sudah boleh pergi."
Dewi rupanya salah mengartikan sikap Alex. Ia awalnya berpikir Alex akan mengurungkan niatnya dan memperbolehkannya makan. Tapi ternyata lelaki itu tetap menyuruhnya pergi memberi makan ikan.
Dengan langkah berat, ia meninggalkan meja makan hendak ke halaman depan rumah. Namun baru beberapa langkah Dewi menjauh, Alex kembali memanggil namanya dari arah meja makan.
"Wi... Dewi..."
Dewi mengeleng heran mendengar seruan Alex yang memanggilnya berulang-ulang. Ia menarik napas panjang, berbalik arah dan kembali menghampiri suaminya.
"Ada apa lagi, Mas?"
"Enggak apa-apa. Saya cuma mau kasih tahu peletnya ada di depan rak sepatu paling bawah."
☆☆☆
Dewi menatap kawanan ikan-ikan yang sekarang sedang sibuk memakan pelet yang barusan di sebarnya. Pikirannya kembali melantur, mengingat perlakuan Alex yang tak ada bedanya sama sekali seperti saat di kantor. Status mereka kini memang sepasang suami-istri. Entah mengapa Ia merasa tidak diperlakukan sebagai seorang istri, tapi lebih seperti seorang pesuruh yang tinggal di rumah Alex.
"Alex benar-benar menyebalkan."
Entah sudah berapa kali wanita itu mengumpati suaminya. Ia merasa sangat kesal, namun tak sanggup melawan. Alhasil dirinya jadi uring-uringan sendiri dan bahkan memaki ikan di kolam yang tak tahu apa-apa.
Setelah puas meluapkan emosi, Dewi melemaskan bahunya yang menegang. Terdengar desahan berat napasnya.
"Apa yang harus ku lakukan sekarang? Bagaimana aku bisa menjalani pernikahan ini kedepannya? Baru satu hari tinggal bersamanya, rasanya aku sudah tak sanggup?"
Suara Dewi perlahan bergetar. Matanya berkaca-kaca memandang kawanan ikan di dalam kolam seperti sedang mengajak mereka berbicara. Ia sudah tidak tahu lagi kemana dirinya bisa membagi kisah hidup dan mencurahkan isi hati selain kepada ikan-ikan ini.
"Aku takut hidupku berakhir tragis seperti ibu yang membesarkanku, seorang diri tanpa sosok lelaki di sampingnya. Aku tak ingin pernikahan ini kandas di tengah jalan, sesuai dengan rencana yang sudah disusun Alex."
Matanya yang mengenang sudah tak sanggup lagi membendung, hingga setetes air mata jatuh membasahi pipi. Rasa sedih yang berkecambuk dalam benaknya, terbias bersamaan dengan keluar tangisnya.
"Alex jahat. Hiks... Aku tahu dia tidak mencintaiku, tapi setidaknya... Hiks... Apa susah memperlakukanku dengan baik?"
Dewi memandangi ikan-ikan di kolam dengan tatapan iri.
"Kalian jauh lebih beruntung. Ini tidak adil. Padahal kita sama-sama belum makan. Tapi Alex ternyata lebih memperdulikan kalian yang belum makan daripada aku istrinya sendiri."
Dewi sudah merasa lebih baik setelah mengeluarkan semua kegelisahannya. Kini ia bertekad akan memikat hati Alex bagaimana pun caranya.
"Hei, ikan-ikan. Kalian semua sudah lama tinggal disini bersama Alex. Apa kalian tahu apa yang disukai laki-laki itu?"
Dewi mengerucutkan bibirnya, menyadari tingkah konyolnya yang tengah mengajak makhluk air itu berbicara.
"Bodoh. Kenapa aku jadi ngobrol sama ikan?"
Dewi menghela napas panjang sambil kembali memandangi ikan-ikan di kolam. Karena sudah selesai memberikan pakan, sekarang waktunya ia mengisi perutnya yang kosong. Diusap wajahnya yang ada sisa-sisa bekas air mata dengan cepat.
"Baiklah. Mulai saat ini aku akan lebih menunjukkan pesonaku pada Alex. Lihat saja. Aku pasti bisa buat dia tertarik dan menyukaiku," tekad Dewi seraya berjalan kembali ke dalam rumah.
Malam harinya setelah makan malam. Alex memilih menyibukkan diri di ruang kerjanya. Wajahnya nampak serius memandang kertas-kertas yang ada di meja dengan mulut yang terkatup rapat.
Tok...Tok...Tok...
Suara ketukan pintu yang terdengar, tidak membuat Alex bergeming. Tidak berselang lama, pintu itu terbuka sedikit. Dewi menyundulkan kepalanya dari balik pintu.
"Mas..."
Alex hanya melirik sepintas ke arah Dewi, lalu kembali menatap kertas-kertas di hadapannya. Lelaki itu baru menoleh saat Dewi menaruh secangkir kopi di atas meja kerjanya.
"Kopi, Mas."
Dewi berinsiatif menyuguhkan kopi hitam yang biasa Alex minum saat di kantor.
"Diminum dulu kopinya, Mas. Mumpung masih hangat," ujar Dewi sambil tersenyum.
"Hmm..."
"Mas, mau aku sediain camilan buat teman minum kopi?"
"Tidak."
"Atau mau aku ambilkan makanan kering? Kebetulan tadi aku lihat di dapur ada kue kering belum dibuka. Mas mau?"
Dewi yang ingin mengajak ngobrol suaminya, sengaja menanyainya dengan berbagai macam pertanyaan. Hingga Alex tiba-tiba menyentakkan bolpoint yang di genggamnya ke atas meja, sembari menatap mata Dewi dengan tajam.
"Kamu lihat tidak saya lagi ngapain?"
"Lihat. Mas... Lagi... Lembur kerja," jawab Dewi dengan terbata-bata.
"Kalau tahu, kenapa masih berdiri disini? Mau gangguin saya?"
"Enggak, Mas. Cuma..."
"Cuma apa? Cuma nawarin cemilan?" sela Alex memotong ucapan Dewi.
Dewi mengangguk. Wajahnya kini menunduk, menatap ke arah lantai marmer yang di injaknya.
"Kamu tahu nggak sekarang jam berapa?"
Dewi melirik sekilas ke arah pantulan jam dinding yang ada di belakang punggung Alex. Jarum jam itu menunjukkan pukul sembilan malam.
"Asal kamu tahu ya. Saya tidak suka makan cemilan apapun setelah selesai makan malam. Apalagi di jam-jam seperti ini."
Dewi terdiam. Ia tidak menyangka Alex akan marah karena hal sepele semacam ini.
"Maaf. Saya tidak tahu."
Mendengar nada suara Dewi yang berubah formal, membuat Alex menghela napas kasar.
Alex tidak bermaksud memarahi Dewi. Ia hanya merasa jengkel saat mendengar suara wanita itu. Suara ocehannya terasa sangat menganggu di telinga.
Mata bulatnya kini tertuju pada tonjolan di perut Dewi. Seketika ia tersadar kalau apapun yang dirasakan wanita itu mungkin juga dapat dirasakan oleh janin yang di kandungnya.
"Sudahlah. Lain kali jangan banyak bicara kalau berada di ruangan ini. Saya butuh konsentrasi penuh saat bekerja. Mengerti?"
Dewi mengangguk patuh, walau wajahnya masih terhalang rambut yang terurai di depannya.
"Tidurlah, Ini sudah malam."
"Belum terlalu malam. Masih jam sembilan, Mas."
"Wanita hamil tidak boleh tidur larut malam. Sana pergi!"
"Tapi mas..."
"Tidak ada tapi-tapian. Jangan tunggu saya disini. Cepat sana tidur!" usir Alex.
Dewi mengalah. Ia lalu berjalan pergi meninggalkan Alex di ruang kerjanya.
☆☆☆
Dewi bergerak kesana kemari di atas ranjang. Awalnya terlentang, beberapa saat kemudian menyamping ke kanan, lalu menyamping ke kiri. Ia merasa tidak nyaman berbaring di kamar yang terasa asing untuknya.
Malam sudah semakin larut, tapi Alex belum juga datang.
BERSAMBUNG...
Suara gemericik kopi yang dituangkan ke dalam cangkir memenuhi ruang tamu kecil di rumah Alex. Pagi itu terasa biasa saja bagi Dewi, yang sedang menyusun beberapa piring camilan untuk tamunya. Namun tidak bagi Fabio, momen ini adalah reuni yang sudah lama yang dinantikannya. Bukan hanya karena nostalgia, tapi karena ada sesuatu yang mengusik pikirannya sejak pertemuan mereka sebelumnya.“Sudah berapa lama ya kita enggak ketemu, Dewi? Sejak SMA, mungkin?” Fabio menyesap kopinya dengan santai, tapi matanya meneliti sekeliling ruangan dengan seksama.“Kurang lebih, ya. Aku bahkan hampir lupa wajahmu, sampai lihat fotomu di grup alumni,” Dewi tertawa kecil. “Oh iya, kenalin, ini suamiku, Alex.”Alex, yang sejak tadi berdiri di dekat pintu dengan sikap tenang, melangkah maju dan menjabat tangan Fabio dengan sopan. Cengkeramannya kokoh—tidak terlalu erat, tapi juga tidak longgar.
Pikirannya penuh dengan pertimbangan. Alex kini sudah duduk di sofa di seberangnya, sibuk dengan ponselnya, sementara suara televisi hanya menjadi latar tanpa ada yang benar-benar menyimak.Dewi menarik napas pelan sebelum akhirnya membuka suara. "Mas..."Alex mengangkat wajahnya, alisnya sedikit terangkat karena nada suara Dewi terdengar ragu. "Hmm?"Dewi menggigit bibirnya sejenak sebelum melanjutkan, "Aku mau cerita sesuatu. Tadi aku nggak sengaja ketemu seseorang."Alex menyandarkan punggungnya, kini memberikan perhatian penuh. "Siapa?""Fabio," jawab Dewi pelan. Ia memperhatikan ekspresi Alex yang awalnya tenang, kini tampak sedikit berubah, meski sulit diartikan."Fabio?" Alex mengulang nama itu dengan nada datar.Dewi mengangguk. "Dia teman lama. Kami kenal sejak SMA. Dulu... Fabio itu seperti kutu buku, nggak banyak omong, tapi kalau bicara selalu berbobot
Dewi mengerutkan kening, melihat Lucas berlarian menghampirinya. Remaja itu merentangkan tangan dengan telunjuk teracung, entah sedang menunjuk ke arah mana."Ada apa sih? Mbak lagi tanggung nih.""Sebentar aja, Mbak. Ayo! Sini dulu," kata Lucas sambil menarik-narik tangan Dewi.Dewi mendesah pelan, menaruh pisau yang sedang dipegangnya, lalu mengikuti Lucas yang tampak bersemangat. Saat mereka melangkah keluar, hawa dingin pagi menyambut, disertai sinar matahari yang masih lembut memantul di daun-daun basah."Lihat siapa yang datang, Mbak!" ujar Lucas dengan mata berbinar, menunjuk ke arah halaman depan.Dewi mengintip sekilas dari balik pintu, dan langkahnya seketika berhenti. Mata bulatnya terpaku pada sosok lelaki yang berdiri di sana— Alex. Meski hanya semalam tidak bersama, kerinduan itu terasa begitu menyesakkan. Ia menatap Alex lama, mengabaikan dingin di ujung jemarinya, seo
Dewi duduk di seberang Arman, sementara Lucas berdiri di dekat meja, bersandar dengan tangan terlipat. Wajahnya tetap menunjukkan rasa curiga yang tak disembunyikan. Arman membuka map cokelat dan meletakkannya di atas meja. Beberapa lembar dokumen terlihat, beberapa di antaranya penuh dengan angka-angka dan tabel yang sulit dipahami.Saat Arman bersiap berbicara, Lucas berbisik pelan ke telinga Dewi."Mbak, yakin kita harus percaya orang ini? Kita bahkan nggak kenal dia."Dewi menegang sejenak. Keraguan itu sejujurnya juga ada dalam benaknya. Namun, ia tidak punya pilihan lain. Ia menatap Lucas, memberikan isyarat agar tetap waspada.Arman mengamati mereka sebentar, seolah menyadari bisikan Lucas, sebelum akhirnya membuka suara. Sekilas, ada keraguan di wajahnya. Ia menatap Dewi, sorot matanya lebih tajam dari sebelumnya.“Sebelum saya jelaskan lebih jauh, saya harus bertanya,” Arman memul
Dewi berdiri di ambang dapur, menatap pintu depan dengan hati berdebar kencang. Ketukan keras itu terus terdengar, seolah memukul setiap sudut rumah kecil mereka. menuntut perhatian, memukul setiap sudut rumah mereka yang sunyi. Ia bisa mendengar napasnya sendiri yang mulai tidak beraturan, berusaha keras melawan rasa takut yang merayap naik. Lucas yang biasanya santai kini berdiri kaku, wajahnya penuh tanya.“Mbak Dewi, itu bukan polisi lagi, kan?” bisik Lucas, matanya tak lepas dari pintu. Suaranya bergetar, mencoba terdengar tenang meski ketegangan jelas terpancar dari gerak tubuhnya.Dewi menggenggam kain celemek di tangannya lebih erat, jari-jarinya yang dingin terasa gemetar. Ia menelan ludah, memaksa dirinya tetap tenang. Tidak mungkin polisi kembali pagi-pagi begini tanpa pemberitahuan. Tapi… siapa lagi yang datang dengan cara seperti ini? Pagi yang seharusnya menjadi awal hari, kini terasa seperti akhir dunia.
Dewi duduk sendirian di ruang makan. Pagi itu terasa berat, meski cahaya matahari yang masuk melalui tirai menciptakan pola hangat di dinding. Dapur di belakangnya masih rapi setelah ia membersihkan piring dan gelas tadi malam. Bau sabun cuci yang samar bercampur dengan aroma kayu lemari membuat suasana semakin sunyi.Matanya memandang keluar jendela, tetapi pikirannya melayang jauh. Ia teringat jelas suatu pagi di dapur—saat Alex dengan nada perintah yang tegas, hampir tanpa senyum, mengarahkan setiap langkahnya."Dulu, ketika aku salah melakukan sesuatu, Alex langsung mengoreksi dengan cara yang dingin. Namun, di balik itu semua, aku tahu ia hanya ingin segalanya sempurna demi kebaikan bersama. Meski terkesan bossy, namun setiap perintahnya adalah cerminan dari tanggung jawab besar yang selalu ia emban," pikir Dewi dalam hati. Kenapa semua ini harus terjadi? gumam Dewi dalam hati. Pertanyaan itu terus menghantui, ter