Perempuan itu tersenyum penuh ceria di dekat ibunya. Senyuman langka yang beberapa purnama ini hilang dari gadis cantik itu. "Kalau lagi hamil itu nggak boleh capek-capek. Nurut aja kalau Shaka ngelarang ini itu demi kebaikan kamu," pesan ummi adem di hati. Tutur bahasanya yang lembut selalu menenangkan, membuat hati Tsabi yang sebenarnya tengah gersang seperti disiram air begitu mandat dari ibu suri yang keluar. "Iya Ummi," jawab Tsabi mengiyakan saja. Senang sekali rasanya hari ini benar-benar bisa bertatap muka dengan orang yang tengah dirindukannya. "Eh, ya ada salam dari adikmu Ameena dan Shaka," ucap Ummi memberikan mandat pesan dari dua adiknya. "Waalaikumsalam ... mereka apa kabar, Ummi, aku kangen sama Menna. Shaka juga, dia sudah pulang ya?" tanya Tsabi menanyai adiknya satu-satu. Ameena adalah adik bungsu yang kemarin menggantikan dirinya dengan calon imam impian Tsabi. Masih membekas luka bila mengingat hari itu, tetapi Tsabi sudah berusaha ikhlas dan semoga adiknya b
Pria itu langsung masuk ke mobil dan mengejarnya. Membelah jalan raya yang nampak ramai. Sedikit mengabaikan kendaraan lain dan menyerobot tanpa perhitungan hingga membuat pengemudi lain mengumpat kesal. Bagai pembalap handal, melintas dengan fokus berusaha mengejar target yang membawa istrinya. Shaka yakin sekali itu pekikan Tsabi ditambah seseorang suruhannya menginfokan kamar rawat Tsabi kosong. "Brengsek!" umpat Shaka memaki di ujung telepon. Memukul bundaran stir karena kesal. Menarik earphones dari telinganya lalu menaruhnya dengan emosi. Pria itu menambah kecepatan, sayang sekali terhalang traffic light merah yang menyala. Membuatnya tertinggal jauh dari mobil yang tengah dikejar. "Brengsek! Brengsek!" Pria itu mengumpat berkali-kali karena kesal. Istrinya dalam bahaya terlebih tengah dalam masa bedrest karena kehamilannya tidak begitu sehat. Pikiran Shaka makin kacau mengingat itu. Sementara Tsabi tidak tahu menahu kenapa dirinya mendadak jadi tawanan. Siapa pria-pria bert
Shaka berlari ke sana kemari menyisir pandangan yang lumayan gelap. Hanya ada pencahayaan rembulan malam yang kebetulan malam ini nampak cerah. "Tsabi! Kamu di mana?" pekik pria itu memanggil nama istrinya. Sementara Tsabi sendiri masih duduk di bawah pohon sembari menahan sakit di perutnya. Tak kuat lagi berjalan. Perempuan itu tidak tahu arah jalan keluar. Hanya bisa terdiam dan berdoa agar malam ini cepat berlalu. Saat Tsabi berpikir untuk meraih jalan keluar, ia terperanjat mendapati satu pria yang tengah berlari ke arahnya. Rupanya laki-laki itu adalah salah satu kawanan penculik tadi yang berhasil lolos dari Shaka. "Kita bertemu lagi sayang, ternyata kamu ngumpet di sini. Nakal," omel pria itu tersenyum smirk melihat Tsabi berdiri waspada sambil memegangi perutnya."Jangan mendekat, atau aku akan berteriak sekencang mungkin," ancam Tsabi di titik nadir. "Hahaha. Teriak saja sekerasnya, sampai kamu bosan pun tidak akan ada yang dengar. Di sini jauh dari pemukiman warga jadi k
"Bahu kamu," kata Tsabi menunjuk luka Shaka. Pria itu tidak merespon, membiarkan begitu saja malah mengangkat tubuh istrinya dalam gendongan. Melangkah cepat membawanya ke mobil. Selebihnya Tsabi hanya diam, tak menyangka pria dominan layaknya es balok itu bisa sekhawatir ini. Mungkin karena Tsabi tengah mengandung anaknya. Dalam gendongan Shaka, Tsabi justru menatap leluasa muka serius suaminya. Sementara Shaka sendiri terus berjalan fokus agar cepat sampai ke mobilnya. Pria itu membuka pintu dan menurunkan Tsabi di jok depan sebelah kemudi."Tiduran saja kalau sakit, kita akan ke rumah sakit dalam waktu kurang tiga puluh menit," kata Shaka lebih dulu mengatur tuas mobilnya agar istrinya lebih nyaman. Setelah memastikan Tsabi setengah merebah dengan posisi pas, baru menutup pintunya. Lalu ikut masuk mengemudi mobilnya sendiri. Apa maksud Shaka dalam waktu kurang dari setengah jam sampai di rumah sakit. Bukankah jarak yang ditempuh sudah cukup jauh. Apakah pria itu akan ngebut? Ter
Seketika Tsabi terdiam mendengar ucapan Shaka yang memang benar adanya. Namun, tentu saja perempuan itu tak seberani apa yang dikatakan suaminya. Bagaimana mungkin dia berganti pakaiani di sana, sedang Shaka dan dirinya belum pernah kontak fisik secara terbuka. Selain malu, tentu Tsabi belum siap diwisuda oleh suaminya. "Apa perlu aku yang menggantikan pakaianmu?" kata pria itu menghampirinya. Seketika raut wajah Tsabi langsung menegang dengan degup jantung makin tak beraturan. Tsabi makin galau mendapati langkah Shaka mendekat. Jantungnya seperti berlomba dari tempatnya. Gegas perempuan itu hendak turun dari ranjang demi menghindari aksi nekat suaminya. Takut mengingat pria itu tipikal semau gue yang kadang membuat Tsabi bingung dibuatnya. "Tetap di ranjangmu Tsabi, atau suamimu akan murka!" seru Shaka membuat pergerakan Tsabi terhenti. Wajahnya makin pasi didekati suaminya. Menyorot dengan gugup. "Jangan menatapku seperti itu," protes Shaka sedikit membungkuk membenarkan posisi k
"Kenapa tidur di sini?" protes Tsabi pagi-pagi sudah dibuat senam jantung. "Bukankah kita sudah biasa tidur seranjang? Satu selimut, terus apa bedanya dengan sekarang," sahut Shaka santai. "Ranjang ini terlalu sempit, seharusnya yang waras minggir," ucap perempuan itu kesal. "Aku akan tidur di mana pun yang membuatku nyaman. Tidak ada yang terjadi dari semalam, tidak usah seheboh ini." Shaka turun dari kasur dengan santai, menuju kamar mandi. Sementara Tsabi hanya menggeleng kesal sebagai jawaban. Memang benar tidak ada yang terjadi, terus bagaimana ceritanya memeluk tanpa permisi. Semakin membuat Tsabi jengkel saja. Pria itu keluar dengan muka basah, menyorot dingin perempuan bermata bening itu. "Aku akan mengirimmu ke rumah sakit besar, jangan pernah berpikir untuk kabur lagi atau kamu akan mengalami nasib lebih tragis dari pada ini," kata Shaka serius. Kesal sekali mengingat kemarin. Beruntung tidak terjadi apa pun yang cukup serius. "Aku mau pulang," kata Tsabi tidak merasa
"Atas dasar alasan apa kamu meminta cerai dari suamimu, Tsabi?" tanya Shaka serius. Sudah berapa banyak kata itu diucapkan istrinya. Membuat Shaka makin gemas saja. "Kurasa kamu paham, dari mana memulai pernikahan ini bukan dari sesuatu yang makruf. Bahkan menipuku dan keluargaku, jadi itu sangat beralasan," jawab Tsabi tenang. Menikah dengan Shaka seperti mimpi buruk baginya. Impian untuk membina keluarga bahagia yang sakinah, mawadah, dan warohmah seakan sirna dari bayangan. "Sayangnya tidak sepenuhnya benar, karena aku berikrar sungguh-sungguh," jawab Shaka jelas tidak bisa memenuhi permintaan Tsabi. Dia melalui banyak hal yang tak mudah. Pergulatan batin dan resiko hingga sampai di titik ini. Demi memperjuangkan darah keturunannya yang bersarang di rahimnya. Shaka memang mengawalinya karena ada anak di dalam rahim Tsabi karena sebuah kelalaian. Namun, bukankah itu semua atas dasar campur tangan Tuhan yang mutlak dan sudah digariskan. Kenapa istrinya yang paham agama itu susah s
Tsabi langsung menoleh dengan wajah pucat melihat suaminya masuk kamar. Takut kalau pria itu murka mengingat dirinya belum mengganti pakaian dinasnya. "Baru pulang Mas?" sapa perempuan itu dengan grogi. Mau tidak mau harus menyambutnya penuh senyuman. "Hmm ...," jawab Shaka dengan gumaman. Mengendurkan dasinya yang terasa sesak. Melepas jam tangan dan mengeluarkan ponsel dari sakunya, lalu melempar ke kasur. Pria itu melepas dasinya sembari menatap Tsabi yang terlihat sibuk sendiri. Menggulung lengan kemejanya dengan tatapan dalam. "Aku siapin airnya dulu," ucap Tsabi beranjak. Tahu betul kalau suaminya butuh bersih-bersih. Shaka tidak menyahut, beranjak masuk ke kamar mandi begitu saja tanpa kompromi. Bahkan melepas pakaiannya satu persatu tanpa canggung mengingat Tsabi masih di dalam sana. "Mas, aku keluar dulu," kata perempuan itu dengan grogi. Bagaimana tidak suaminya itu tanpa basa-basi main menanggalkan pakaiannya tanpa permisi. "Temani aku di sini," kata Shaka membuat Ts