Deva tak sadarkan diri, kondisinya mendadak menurun dan itu menyebabkan jantungnya berhenti memompa darah ke paru-paru. Masih dirundung rasa khawatir, Devinta tak henti berdoa sambil menunggu kabar dokter yang menangani putranya di ruang operasi. Harus ada prosedur medis yang dilakukan. Raka juga saa, ia terus terjaga, tak pergi barang sedetik dari sisi Devinta. Bahkan perawat membawakan mereka minum dan makan. “Semua akan baik-baik saja, Tuan, Nyonya, jangan khawatir,” lirih perawat wanita berkulit hitam dengan pembawaan yang sangat ramah. “Terima kasih,” balas Raka juga Devinta yang menganggukkan kepala. Mereka duduk di depan ruang operasi, Raka begitu menyayangi Deva. “Kenapa takdir begitu menyiksa hidupku, Raka?” Devinta menengadah kepala menatap suaminya dengan raut wajah sangat sedih. Raka mencium kening Devinta begitu lama. “Apa hukumanku akan terus berjalan seumur hidup? Berdosakah aku atas semua yang terjadi?” Devinta meremas kemeja yang dikenakan suaminya, hatinya menjadi
Sekembalinya Nadia dari rumah sakit, ia ingin berbicara dengan Risa, setidaknya sekali lagi. Risa yang sedang bermain dengan Calvin tampak malas melihat ke Nadia. Arkana meminta pengasuh membawa Calvin ke kamar karena ia akan bicara tentang kondisi keluarganya. "Bunda, kandungan Nadia sehat, dan calon anak Nadia laki-laki," ucapnya tanpa menunda. Risa menatap dengan ekspresi datar ke arah putrinya. "Bunda, mau sampai kapan Bunda abaikan Nadia. Nadia--" Ia menggigit bibir bawahnya. "Kamu tanya begitu ke Bunda, Nad?" pelotot Risa. "Bukannya kamu tau kalau Bunda tidak suka dengan semua hal yang berhubungan dengan Devinta. Mereka masa lalu kelam Bunda dan kamu. Kamu sadar tidak, sih, kalau dunia kita tidak lepas dari mereka. Ini yang jadi ketakutan Bunda, ternyata benar terjadi, terlepas dari status kamu dan Deva yang tidak ada hubungan darah. Kenapa kamu tidak berpikir untuk berhenti sebelum ini terjadi. Kenapa kamu tidak--"Nadia berlutut di kaki Risa, menangis seraya meminta ampun da
Nadia dan Arkana tiba di bandara Boston, Massachusetts. Setelah menempuh perjalanan yang cukup lama, Arkana mengajak Nadia menikmati jajanan yang ada di bandara. Kondisi Nadia baik-baik saja, tapi sebagai Ayah, ia tetap saja khawatir. Arkana memesan coklat hangat dan donut setengah lusin. Wanita hamil mudah lamar, ia ingat bagaimana dulu Risa saat hamil Calvin banyak meminta makanan manis. "Ayah tidak makan?" Nadia meneguk sedikit coklat hangatnya. "Kopi, cukup, Nak," jawabnya. Padahal, ia khawatir akan apa yang terjadi beberapa waktu ke depan. Arkana mengusap lembut kepala Nadia yang sedang mengigit donut. "Anak Ayah kuat, dewasa dan bertanggung jawab, jangan sampai hal buruk ini terjadi lagi di masa depan, ya. Kamu harus jaga anakmu dengan baik. Kesalahan Bunda dan Ayah, terlalu tidak mempedulikan perasaan kamu, dan kita jarang bercerita semenjak Calvin lahir. Ayah sadar akan hal itu, Nadia. Maafkan Ayah dan Bunda, ya," tatapan Arkana begitu nanar, ia sudah membahas hal ini deng
Nadia tidak percaya saat Devinta memberitahunya jika Deva enggan bertemu dengannya karena Deva merasa tidak pantas bagi Nadia dan apa yang sudah terjadi sebelumnya adalah kesalahan. Kesalahan berbuah janin tak bersalah yang harus hadir diantara mereka. "Deva dimana sekarang, Nadia mau bertemu." berang Nadia sambil menatap tajam ke tiga orang tua di dekatnya. "Tapi, Sayang, Nadia kamu jangan memaksa, Deva tidak mau." Devinta kembali meyakinkan Nadia yang menggelengkan kepala tidak percaya dengan ucapan mama dari lelaki yang ia cintai. Napas Nadia memburu cepat, lalu mendadak ia meringis merasa tidak nyaman di perutnya. Arkana panik, ia beranjak lalu mendekat ke sang putri. Mengusap perut Nadia begitu penuh sayang. "Tidak boleh begini, kita harus jujur. Aku tidak mau terjadi sesuatu yang buruk dengan cucuku dan Mamanya." Arkana begitu menatap tegas Raka dan Devinta. "Ada apa, Ayah, ada apa?" tuntut Nadia. Raka dan Devinta menatap penuh rasa sedih ke Nadia yang menanti jawaban. ***
Nadia berdiri di depan pintu masuk gedung apartemen, menunggu Devinta yang berniat mengajaknya ke suatu tempat. Tak lama, mobil sedan mewah warna merah berhenti di depannya. "Nadia, ayo," ajak Devinta. Nadia segera masuk ke dalam mobil. Devinta mencium kedua pipi Nadia lalu mengusap perut buncitnya. "Kita mau kemana, Tante?" tanyanya sambil menatap ke Devinta yang anggun dan begitu feminim. Pembawaannya memang bak ibu-ibu sosialita tapi aslinya sederhana. "Ke mal," jawab Devinta sumringah. Nadia tersenyum tipis. Sementara, Arkana dan Raka sibuk mencari donor jantung sambil Arkana memantau pekerjaannya. Raka pun sama, ia sibuk memantau bisnisnya di Jepang. Kedua lelaki itu duduk di kedai kopi dekat rumah sakit. "Zenya apa kabar? Saya senang Devinta bisa melahirkan anak perempuan," tutur Arkana tulus."Ya, Zenya baik. Dia sekolah di sini, tapi home schooling karena kami harus lebih sering di rumah sakit," jawab Raka. "Risa apa kabar? Masih marah ke Nadia?" "Baik dan ya ... masih, k
"Dimakan buahnya, Dev, jangan malas," omel Nadia yang menyuapi Deva potongan buah apel sambil duduk di tepi ranjang kamar rawat yang sudah beberapa waktu Deva tinggali. Calon ayah itu hanya tersenyum sambil menggelengkan kepala. Tangannya yang terpasang infusan juga selang obat, meraih jemari tangan Nadia. "Maafkan aku, sempat bertindak konyol." Ia mengecup jemari tangan Nadia begitu lembut, penuh perasaan bahkan hingga kedua matanya terpejam. "Aku paham, dan tidak perlu dimaafkan, karena kamu tidak salah juga, Dev." Nadia begitu berpikir dewasa, usianya masih 19 tahun, tapi tidak bisa dianggap labil. Mentalnya ditempa begitu hebat melalui jalan hidup saat kecil bahkan kini, saat ia diabaikan Risa karena mengecewakan wanita yang sudah melahirkannya. Deva menggeser posisi tidurnya, ia menepuk sisi tempatnya semula. Nadia meletakkan piring ke atas meja dengan roda kaki, ia dorong sedikit menjauh. Nadia merebahkan diri di samping Deva, sudah tiga malam ia di sana, menemani kekasih h
Satu minggu setelah mereka tinggal di sana, pernikahan dilangsungkan. Tidak megah apalagi mewah. Deva memakai setelan tuxedo warna hitam sedangkan Nadia brokat warna puting tulang sepanjang telapak kaki dengan aksen pita kecil di tengah, yang membuat perut buncitnya terlihat.Devinta sendiri yang mendandani calon menantunya, ia begitu tampak bahagia. "Udah cantik, Deva pasti terharu lihatnya," bisik Devinta. Nadia tersenyum, walau sesungguhnya, hatinya sedih karena tidak ada Risa dan Calvin, tak lengkap rasa bahagianya.Di ruang tengah, para pria sudah bersiap, terlihat Deva tampak gugup yang coba ia tutupi dengan senyuman ke Arkana juga Raka."Kamu baik-baik aja, Dev, tidak sesak atau merasakan sesuatu?" tanya Raka sambil merangkul Deva."Tidak, Pa," jawabnya santai tapi beberapa kali menarik napas dan menghebuskannya pelan, ia juga beberapa kali tampak berdeham.Devinta dan Nadia berjalan bersama, Deva mematung ditempat, begitu terkesima dengan cantiknya Nadia yang juga tersenyum ke
Nadia terus mengejan, ditemani Risa ia berjuang melahirkan putranya. Tangis, peluh, jeritan sakit, semua hal itu terdengar kencang di telinga. Risa ikut memandu Nadia saat melalukan dorongan pada panggulnya. "Argh!" teriak Nadia lalu dokter mengangkat bayi laki-laki yang langsung menangis kencang setelah keluarkan cairan dari hidung dan tenggorokan. Tangis Nadia pecah, ia histeris karena sadar suaminya tidak sadarkan diri. Risa memeluk kepala Nadia, menenangkan putrinya yang kini sudah menjadi seorang ibu. "Deva!" jerit Nadi kencang diikuti tangis histeris, ia melupakan rasa sakit setelah melahirnya, karena hatinya jauh lebih sakit karena kondisi suaminya. ***Nadia tersadar, ia sempat pingsan beberapa jam. Arkana begitu sedih saat melihat putrinya sangat pucat hingga harus transfusi darah. Risa menggendong bayi tampan itu dengan diiringi senyuman. "Mama," ucapnya sambil mendekat ke Nadia. Raut wajah Nadia kembali sendu, Risa mendekatkan wajah bayi itu ke pipi Nadia. "Hai, baby