Share

Bab 7

Hantaran Diminta Kembali

Lila melirik Bibi Purwati yang beranjak menjauh dengan langkah tergesa itu. Kakinya tidak bisa melangkah sempurna karena lilitan kain jarik yang terlalu sempit itu.

Lila merasa heran kenapa bibinya berusaha membuatnya menjauh dari tempat pesta itu begitu Dimas keluar dari kamar pengantin dan menuju ke tempat pesta.

Wanita itu bahkan selalu mengawasi gerak gerik Lila.

Bi Pur dengan tergesa mendekatinya dan menyuruhnya melakukan berbagai pekerjaan.

Pesta itu memang terkesan kurang persiapan. Minuman saja belum tertata rapi meski tamu sudah mulai berdatangan.

Bahkan ada makanan yang belum selesai dimasak.

Acara akad nikah juga mundur dari jadwal pernikahan.

"Bu, gimana sih EO-nya kok tidak beres, ya?"

tanya Lila ketika melihat ibunya datang membawa tumpukan piring itu.

"Mereka itu tidak pakai jasa EO atau katering, mereka cuma mengandalkan bantuan tetangga kanan-kiri saja," ucap Paman Manto sambil membawa semangkuk besar soup merah dan menuangnya dalam mangkuk saji itu.

"Jadi Purwati cuma bicara omong kosong saja?" tanya ibu kesal. Sementara ibu sibuk menata mangkuk-mangkuk kecil di atas meja.

"Ya, tahu sendiri sifat adikmu itu gimana, Mbak!" keluh Paman Manto.

"Dan mereka memang tidak mau berunding dengan keluarga kita," sambung paman sambil menutup wadah-wadah stainles itu.

"Ya, resiko ditanggung sendiri, ya!" Ibu berkata sambil mengipasi wajahnya dengan telapak tangan. Wanita itu mulai merasa gerah karena tidak ada kipas angin apapun yang terpasang di sana.

"Udah, kita bantu sekedarnya saja,"

ucap Paman santai.

"Lagipula, sudah ada panitia yang sudah mereka siapkan,"

lanjut Paman Manto lagi.

"Ya, seharusnya kita juga hanya duduk-duduk kayak istrimu itu, ya!" Ibu berkata sambil tertawa. Paman Manto hanya tersenyum masam.

"Ya, dia sedang tidak bisa berjalan karena sandal tingginya itu."

ucapan Paman membuat Ibu dan Lila tertawa.

Acara akad nikah selesai dan para tamu kini menikmati hidangan.

Sementara anggota keluarga berfoto dengan pengantin.

Sari dan Dimas kini berfoto dengan keluarga Dimas. Sari tampak bergelanyut mesra di lengan pria itu.

Lila tampak memperhatikan kesibukan yamg terjadi di pelaminan itu. Ia membayangkan bagaimana jika menikah kelak.

Lila juga berjanji dalam hati, ia tidak akan memakai baju yang sewarna dengan baju pemgantin yang dikenakan Sari saat ini. Ia juga tidak akan menyewa jasa MUA seperti yang mendandani Sari sekarang. Sari hari ini terlihat menor dan tampak lebih tua dari umurnya.

Tak sengaja pandangan Lila bertatapan dengan mata Dimas.

Pria itu juga kepergok tengah menatap ke arah Lila dengan tatapan yang dalam.

Lila diam, termangu. Ia merasa biasa saja. Tak ada lagi desiran aneh di dadanya saat menatap Dimas. Bahkan rasa cinta dan cemburu itu menguap entah kemana. Yang dirasakan Lila saat ini hanya muak dan marah pada Dimas.

Teganya pria itu mengkhianatinya menjelang pernikahan mereka dan memilih menikahi Sari.

Berarti tak ada yang perlu disesali. Dimas bukan pria yang tepat untuk Lila dan gadis itu kini merasa lega.

Tak ada lagi perasaan pada Dimas yang dulu pernah hadir dalam hatinya saja.

Jika bisa hadir bukankah perasaan cinta itu bisa pergi sesukanya.

"Kasihan Lila, dia ngeliatin terus pada mantan tunangannya yang telah direbut sepupunya!"

Lila menajamkan telinganya, ia berusaha mengenali siapa yang membicarakan dirinya kini.

Gadis-gadis pengiring pengantin itu sedang berbisik dan bergunjing tentangnya.

Lila mengalihkan pandangan pada beberapa pemuda dan bapak-bapak yang sibuk keluar tenda. Suasana kembali riuh.

"Ada apa, Rud?"

Lila bertanya ketika melihat pemuda tetangganya itu. Pemuda itu terlihat tergopoh keluar membawa alat pemadam kebakaran.

"Sound system konslet, Mbak," ucap Rudi panik. Pemuda itu berjalan tergesa keluar dari tenda.

Suasana riuh seketika.

Lila membelalakkan mata, ia seketika berdiri. Sound system itu berada di halaman rumahnya.

Jika sound system itu terbakar dan bagaimana keadaan rumahnya saat ini?

Lila segera berdiri, tapi ada tangan mencekalnya.

"Diam saja di sini, jangan malah ikutan ribut," ucap Ibu menghalangi Lila keluar, meski wajahnya juga nampak cemas.

"Semoga saja enggak ada apa-apa!"

harap Lila sambil meremas tangan gelisah.

Suasana di tenda kini menjadi tegang. Para tamu banyak yang keluar dari tenda pesta.

Tapi keluarga pengantin itu tampak tak terpengaruh, mereka tampak berusaha terlihat santai dan meneruskan sesi foto keluarga.

Lila dengan tak sabar keluar dari tenda menuju ke halaman rumahnya. Lila bahkan masih mengenakan celemek yang masih terpasang di badannya.

"Sudah aman, tapi sementara musik tidak bisa diputar," ucap paman sambil mendekati Lila.

"Syukurlah!"

Lila berkata sambil berjalan kembali menuju ke dalam tenda.

Sementara bapak dan Paman Manto hanya tersenyum mendengar ucapan Lila.

Pria itu mengajak Lila kembali masuk ke tempat pesta.

"Ayo, Dek Manto kita foto bersama," seru Bi Purwati pada paman Manto yang baru saja memasuki tenda.

Paman Manto segera bergabung dan berfoto dengan keluarganya dan pengantin.

Pengantin kini berfoto dengan tamu yang merupakan teman sekantor Sari. Mereka berfoto beberapa kali.

Lila dan bapak berpandangan. Hanya keluarga Lila saja yang tak dipanggil MC untuk di foto.

"Ayo, Mbak Eni, Kang Aiman, Lila. Kita foto sekeluarga!" Seru Paman Manto melambaikan tangan pada Lila dan bapak.

"Ayo!" sahut Ibu tiba-tiba muncul dan menarik tangan bapak dan Lila untuk mengikutinya.

Lila dan orangtuanya segera menaiki pelaminan dan bergabung dengan para saudara mereka.

Bu Mela, mertua Sari itu melirik Lila sinis. Begitu juga dengan raksi keluarga yang lain.

Keluarga Lila tak diharapkan di sana.

Tapi Lila berusaha senyaman mungkin berada di dekat keluarga ibunya itu, demi ibunya yang tampak antusias berfoto bersama keluarganya.

Lila berdiri paling ujung berdiri dengan para sepupunya.

Lila sudah memasang senyum. Semanis mungkin di wajahnya.

"Wah, terlalu banyak orangnya, dan posisi tak seimbang!" Seru fotografer itu.

"Lila, kamu minggir dulu saja, ya,"

Bi Pur berkata sambil menoleh ke arah Lila.

Tanpa bicara Lila segera turun dari pelaminan diiringi senyum dari Sari.

Bapak dan ibu hanya menatap Lila dengan mimik wajah yang tak terbaca Lila.

Bapak dan ibu ikut turun dari pelaminan. Tapi tampaknya mereka tak peduli saat melihat orangtua Lila tidak mau berfoto dengan keluarga itu.

"Pak Rizal!" sambut Dimas begitu melihat Rizal berjalan ke arah pelaminan.

Dimas sampai meninggalkan dari pelaminan untuk menyambut Rizal.

"Siapa, Mas?" tanya Sari ketika melihat Dimas hendak beranjak meninggalkan pelaminan.

"Pak Rizal, direkturku!" sahut Dimas antusias. Ia tidak menyangka Dimas Sudi datang memenuhi undangannya. Ini adalah suatu kehormatan.

Sari seketika berdiri, begitu juga Paman dan Bi Pur serta kedua orangtua Dimas.

Mereka menebar senyum semringah menyambut tamu kehormatan mereka itu.

"Bapak sudah lama datang?" tanya Dimas dengan sopan.

"Sudah, bahkan sejak kamu masih ganti baju tadi," jawab Rizal datar.

Seketika Dimas mengangguk malu.

"Maaf, saya tidak tahu, Pak!"

ucap Dimas sambil melirik para terima tamu dan ibu mertuanya, bagaimana mereka tidak memperhatikan tamu sepenting Rizal.

"Maaf, pak, silahkan duduk," ucap Dimas dengan gugup. ia berusaha menyenangkan tamu kehormatannya itu lagi.

"Saya sudah lama duduk!" Sahut Rizal enteng membuat Bi Pur tersenyum canggung.

Bapak dan Lila hanya melihat bagaimana merdka begitu mempeehatikan tamu yangbl mereka anggap penting, sedangkan saudara sendiri tidak mendapat perlakuan seperti itu.

"Lilaa! Ambilkan makanan untuk pak direktur!"

Seru Bi Pur melihat Lila masih berdiri di dekat panggung itu. Ia sedang berbincang dengan Paman Manto dan istrinya.

"Terima kasih, saya langsung pulang, ya!" ucap Rizal sambil menyalami Dimas.

Ia menyelipkan amplop ke tangan Dimas.

Dengan gerakan cepat Dimas mengantongi amplop itu.

"Semoga bapak berkenan berfoto dengan kami," ucap Dimas dengan sopan.

Rizal tampak berpikir.

"Ayo! Cepat, ya!"

ucap Rizal sambil berjalan menuju pelaminan itu.

"Bapak datang sendirian, ya?" tanya Dimas mengedarkan pandangan, mencari teman kondangan Rizal itu.

"Tentu saja tidak!" Sahut Rizal dingin.

"Apa datang kondangan sendirian itu dosa? Seperti melihat sesuatu yang mengenaskan saja."

Batin Rizal sedikit kesal.

"Bapak datang dengan istri, ya?" tanya Sari sok akrab, lebih tepatnya ia sangat kepo.

Sari tak membayangkan ternyata Pak direktur ini masih sangat muda dan tampan. Tentu Sari penasaran siapa wanita pendamping bos muda itu. dalam hati Dari juga mengagumi sosok pria yang tampak menonjol di antara para tamu undangannya itu

"Dimana, beliau, Pak?" tanya Bi Pur antusia, karena ia melihat tak ada seseorang yang digandeng direktur tampan itu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status