Share

Tak Perlu Tahu!

William terkekeh pelan. “Tentu saja tidak sedikit, Thania. Jangan mengkhayal. Lakukan saja tugasmu sebagai istri di atas kertas kesepakatan yang sudah kita sepakati!”

Thania menarik napas dalam-dalam dan menatap William dengan tajam. “Sampai kapan pun aku tidak akan pernah memberimu anak!"

“Apa kamu bilang? Berani-beraninya kamu mengatakan itu padaku. Ingin keluargamu hancur di tanganku, huh?” pekik William naik pitam setelah mendengar ucapan Thania tadi.

Perempuan itu melepaskan tangan William dengan kasar kemudian keluar dari kamar tersebut. Melangkahkan kakinya dengan lebar meninggalkan William yang masih berdiri hanya mengenakan celana dalamnya saja.

“Bagaimana bisa, pernikahan ini hanya merupakan pernikahan di atas kertas dengan kesepakatan yang bodohnya sudah aku tandatangani. Bagaimana aku bisa bertahan dengan ini semua kalau hanya aku yang mencintainya.”

Thania duduk di sebuah balkon lantai dua seraya menundukkan kepalanya di antara kedua kakinya. Bahunya bergetar sebab isak tangis yang kembali keluar. Hatinya begitu hancur berkeping-keping atas nasib sial yang menimpanya itu. Ia benar-benar tidak menyangka bila pernikahannya itu hanya sebatas memberi anak kepada suaminya itu.

Thania menghapus air matanya lagi dan bangun dari duduknya. “Thania. Hapus perasaanmu itu padanya. Lebih baik kamu bersikap biasa saja daripada harus merasakan sakit yang luar biasa karena William hanya memanfaatkanmu.” Thania berbicara pada dirinya sendiri.

Ia kemudian menghampiri William kembali yang tengah mengenakan bathrobe berwarna hitam tebal dan hangat. Lalu menolehkan kepalanya kepada Thania dan menatapnya datar.

“Mas! Aku tahu ini gila. Aku akan menyepakati kesepakatan itu dan jangan pernah menyesali semua yang akan terjadi nanti! Kamu pikir, kamu saja yang punya rencana dan juga alasan untuk menceraikanku nanti? Aku pun punya. Biarkan aku yang mengajukan permohonan cerai itu ke pengadilan.

“Setelah itu, jangan pernah ganggu hidupku lagi, semua modal yang kamu keluarkan untuk orang tuaku, lunas. Jangan pernah memintaku anak lagi dan jangan pernah mencariku. Aku tidak mau kamu menyentuhku lagi dan cukup di malam ini saja!”

William lantas menyunggingkan senyum miring kala mendengar ucapan istrinya itu. “Silakan, Thania. Dengan senang hati dan jangan terlalu percaya diri kalau aku akan mencarimu! Ingat, Thania. Jangan pernah memiliki pasangan terlebih dahulu sebelum kita bercerai! Dan satu lagi. Menyentuhmu. Itu hak aku. Kamu sudah aku nikahi, dan sesukaku bila sedang menginginkan kamu, maka kamu harus mau melayaniku!”

Thania hanya menatap datar wajah William. “Licik sekali otakmu itu, Mas. Kamu melarang aku menjalin hubungan. Dan mau meminta hak kamu setelah kesepakatan itu kamu tulis. Manusia macam apa yang aku nikahi ini.” Thania kembali menatap tajam ke arah suaminya itu.

Lelaki itu kemudian menghela napasnya dengan panjang seraya menatap Thania dengan lekat. “Thania. Kamu pasti membacanya dengan benar. Di dalam kesepakatan tadi, jangan pernah menjalin hubungan dengan siapa pun sampai kontrak kita selesai. Aku pun tidak akan pernah melakukan hal itu kecuali kekasihku telah kembali dan juga pelayanan di atas ranjang. Jangan menolak itu! Aku pria normal. Masih menginginkan itu meski tanpa harus adanya perasaan cinta dari hatiku untukmu.”

“Itu artinya kamu yang melanggar janji, Mas!” pekik Thania protes.

William kembali tersenyum miring. “Hanya sebatas menemuinya. Bukan untuk memilikinya sampai nanti surat cerai dari pengadilan telah kita dapatkan. Aku yang membuat kesepakatan itu. So, terserah aku apa yang ingin aku lakukan. Jangan membantah! Kamu tidak berhak atas itu!”

Thania tidak bisa menjawab apa pun lagi selain hanya menitikan air matanya. Sungguh, nasib sial ini tidak pernah terbayang dalam dirinya. Menikah dengan William adalah impiannya. Impian itu sudah menjadi nyata, akan tetapi nasibnya tidak seindah yang dia bayangkan.

William hanya memanfaatkan perasaannya. Memintanya agar mau memberi seorang anak untuk William. Setelah itu, silakan pergi dari hidup William dan mencari pasangan yang mau menerimanya kelak. Menerima juga status yang akan dia sandang nanti, yakni seorang janda.

Thania kemudian mengusap air matanya seraya membuang muka, tak mau melihat wajah penuh kesombongan di wajah William.

“Aku tulus, mencintai kamu, Mas. Tapi, ketulusan itu rupanya kamu manfaatkan hanya demi mendapat seorang anak dan kembali pada kekasihmu itu.”

William menyunggingkan senyum lalu menatap datar wajah Thania. “Jangan menyesali perasaan itu. Mencintaiku itu hak kamu. Tapi, memilikiku selamanya, itu tidak akan mungkin terjadi. Kamu pasti akan mendapatkan pria yang lebih baik dariku. Aku pastikan itu.”

Dengan tanpa dosanya, lelaki itu menepuk lengan Thania seraya mengulas senyumnya. Thania lantas mengibaskan tangannya, menepisnya seolah tidak ingin disentuh lagi oleh pria yang telah berhasil melukai hatinya.

**

Waktu telah menunjuk angka tujuh pagi. Thania sudah lebih dulu bangun dari tidurnya kemudian bergegas masuk ke dalam kamar mandi guna membersihkan diri terlebih dahulu.

Setelah itu, memutar kran shower dan membasahi tubuhnya dari atas kepala sampai kaki. Bayang-bayang akan sentuhan William seketika terlintas begitu saja.

Ia lalu menggelengkan kepalanya dengan cepat lalu mengambil shampoo yang ada di sampingnya. Namun, tangan kekar William lebih dulu mengambil shampoo tersebut hingga membuat Thania terkejut melihatnya.

“Apa yang sedang kamu lakukan di sini, Mas? Pergilah! Biarkan aku mandi dengan tenang. Kamu sendiri yang memintaku untuk terlihat bahagia karena hari ini ada pertemuan dengan keluarga besarmu!” ucap Thania dengan suara datarnya.

“Aku sedang menginginkanmu, Thania!” ucap William tegas.

Thania lantas tersenyum miring. “Jangan harap kamu mendapatkan itu dariku!” ucapnya dengan percaya diri.

“Oh! Rupanya kamu berani menolakku, huh? Aku tidak akan pernah melepasmu!” ucapnya lalu menarik kedua tangan Thania dan menunggingkan tubuh perempuan itu.

“Lepas! Jangan pernah menyentuhku lagi!” pekik Thania dengan sekuat tenaga berontak tak ingin William menyentuhnya.

Namun, tenaga seorang wanita tentu saja akan kalah oleh pria. Thania tak dapat bergerak. Benda asing itu telah masuk sempurna di bawah sana.

“Arrgh! Sakit, Mas! Aku belum terbiasa dengan milikmu itu!” pekik Thania. Merintih kesakitan karena ulah William yang mendorongnya lebih dalam.

“Diam! Dia harus kamu layani. Aku menikahimu bukan untuk dijadikan pajangan saja. Memiliki anak harus dengan cara bersetubuh agar janin cepat tumbuh dan kita segera bercerai.”

“Brengsek kamu, Mas!” umpat Thania kemudian.

Sungguh, pedih yang dia rasakan kala hujaman yang semakin liar William lakukan kepadanya. Tidak bisa memberontak sebab lelaki itu mengunci Thania dengan tubuh kekarnya itu.

Sampai akhirnya puncaknya telah tiba. Thania kembali dipompa dengan kecepatan yang cukup kencang hingga membuat perempuan itu memekik keras dan menitikan air matanya sebab perih yang dia rasa.

Dengan santainya, lelaki itu mengeluarkan benih-benih ke dalam rahim Thania. Perempuan itu menjatuhkan dirinya dengan napas yang menderu.

“Kamu keterlaluan, Mas! Pangkal pahaku masih sakit. Seharusnya kamu bermain dengan hati-hati.”

William hanya menyunggingkan senyumnya. Ia lalu memutar kran shower dan mengguyur tubuhnya.

Dengan sisa tenaga yang dia miliki, Thania bangun dari duduknya dan menatap William datar. “Hanya sampai aku melahirkan anak untukmu saja kan, pernikahan ini berlangsung?”

William menoleh dan menatap Thania. “Kamu nikmat, Thania. Aku tidak akan melepasmu begitu saja meski dia telah kembali.”

Mata itu lantas membola. "Apa maksudmu bicara seperti itu, Mas?"

William menyunggingkan senyum misterius. Tanpa menjawab apa pun, ia membasuh tubuh kekar dan sempurna itu di bawah guyuran shower.

“Tak perlu tahu! Yang jelas, aku tidak akan melepaskanmu begitu saja!” ucapnya tanpa dosa. Ia merasa memiliki segalanya, mudah baginya untuk membuat Thania takut dan mau menuruti semua perintahnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status