"Apa keputusanmu?" Tanya Tina saat ia duduk bersama Alia di bawah pohon rindang dan mengeluarkan udara segar.
"Aku setuju," jawab Alia agak murung. Tina langsung syok, matanya seperti ingin keluar dari rongganya serta jantungnya berdebar dua kali lebih cepat dari kecepatan sebelumnya.
"Kau tahu Hendri itu orangnya seperti keledai. Dia aneh!" Hardik Tina geram. Tina ingin membuka mata sahabat baiknya.
"Kau tahu apa, gendut?" tanya Hendri dengan kesal. Tina dan Alia tak menyadari ada sosok calon suami Alia di sini. Hening seketika sampai Hendri tertawa iblis. Menertawakan argumen Tina.
"Jangan melihat orang dari penampilannya saja," menunjuk kening Tina dengan jari telunjuknya. Tertawa menang. Alia agak geram tapi pikirannya tak mau menanggapinya.
"Aku enggak melihat kau berdasarkan penampilanmu tapi realitanya kau manusia kejam." Tina melawan, harga diri nomor satu untuknya.
Rahang tegas Hendri mengeras. Matanya bergelora merah. Ia mengendus udara beberapa kali. Hendri mencengkeram pipi Tina penuh kemarahan. Harga dirinya jatuh karena wanita yang berat badannya hampir 75 kg.
"Hendri cukup!" Alia berteriak. Hendri melepaskan cengkraman tangannya dari pipi Tina. Bekas keganasan cengkraman Hendri membuat bekas merah. Tina merenggut kesal.
"Hahaha, sayangku," Hendri menyentuh pipi Alia dengan jari telunjuknya. Ali mengelak dengan berani tapi Hendri makin tertantang.
"Aku akan menguasai seluruh tubuhmu. Aku dan kau yang akan menjadi saksi." matanya penuh nafsu melihat Alia. Tina memutar matanya sebal. Alia melihat geli pada Hendri yang memiliki nafsu diatas rata-rata.
"Mari buat perjanjian!" Alia menatap serius pada Hendri. Hendri semakin tertantang, mata Alia begitu memabukkan.
"Okay," Hendri setuju.
"Kau jangan menyentuhku ketika aku belum sah menjadi istrimu dan jangan pernah melarangku berolahraga menembak."
"Hanya itu?" Tawa gila keluar dari mulut pria yang tubuhnya begitu kekar. Tingginya sekitar 180 cm.
"Ya," Alia menjawab dengan nada malas. Tina menutup telinganya dengan headset. Ia lebih memilih mendengar lagu Zimbabwe ketimbang suara Hendri.
"Permintaan murahan tapi aku suka. hahaha," Tawa iblis keluar dari pria bernama Hendri. Untung saja Tina memasang headset di telinganya. Hanya Alia yang mendengar tawa gila yang sama sekali tidak enak di dengar.
"Alia," Hendri menyelipkan rambut Alia pada telinganya. Wajah tampan Hendri terlihat begitu jelas di pandangan mata polosnya.
"Alia, kau ingat pohon ini?" Tanya Hendri sambil menunjukkan ukiran bertuliskan "Alia, I love you" Alia tak kagum sama sekali, wajahnya terlihat tak senang dengan ukiran tersebut. Ia sama sekali tidak mencintai Hendri.
"Aku ingat," Alia memilih pilihan kata yang paling singkat. Tak ingin berlama-lama berbicara dengan keledai. Ups, maksudnya Hendri Sahnanjaya.
"Aku yang telah menuliskan kalimat itu. Aku sangat mencintaimu,"
Entah mengapa hati Alia tak berdesir. Ada rasa keraguan Alia terhadap Hendri. Apa kurangnya Hendri Alia? Dia begitu tampan dan kaya dan poin pentingnya dia sangat mencintaimu.
Tapi sepertinya pertanyaan demikian belum bisa Alia jawab sekarang ada beberapa tahap dan alur yang harus di baca.
"Kenapa diam?" Hendri melambaikan tangan di depan wajah Alia.
"Jika kau terus diam itu berarti kau juga mencintaiku, sudah kuduga."
Keraguan makin menjalar di hati Alia. Mengapa Hendri begitu bernafsu untuk mendapatkannya. Jika dilihat dari harta Alia memang anak orang kaya raya, jika dilihat dari rupa. Rupa Alia begitu cantik dan menawan. Lalu dengan alasan ini yang membuat Hendri tertarik? Jika karena ini, Alia akan menolak dan mengutuk seluruh hidupnya bahkan hidup ayahnya jika menikah dengan pria bernama Hendri. Akan tetapi jika ada alasan lain bukan karena rupa dan harta tapi karena alasan lain yang membuat Alia yakin mungkin pilihan ayahnya yang terbaik untuknya.
"Kau mencintaiku karena apa?"
Franz sempoyongan akibat pukulan Reno. Sedangkan Reno tersenyum puas, ia merasa sudah menang.Teng Teng TengRonde pertama usai, Darma langsung membersihkan darah dari tubuh Franz. Sebenarnya di dalam lubuk hatinya, Darma tidak tega melihat anaknya terluka akan tetapi ambisiusnya untuk menjadikan anaknya sebagai pria tanguh membuatnya pasrah dan rela melihat Franz terluka."Franz, lihat ayah!" ucap Darma dengan nada tinggi."Iya Ayah," nafas Franz tersengal sesekali ia meringis kesakitan."Fokus Franz, lihat dimana letak kelemahannya." ucap Darma memberi instruksi."Dimana letak kelemahannya, Ayah?" Franz membersihkan luka pada bibirnya."Kau cari tahu sendiri. Kekuatan ada pada dirimu. Kau tak boleh kalah. Lihatlah wanita di sana! Ia sangat cemas bukan? Ia ingin sekali memelukmu, dan menyemangatimu seperti ketika kau latihan tapi dia tak bisa melakukannya sekarang," Darma menunjuk Dilah yang
"Wah... Kak Franz tubuhmu sudah sedikit berotot," mata Laura terbelalak melihat Franz yang berlatih bela diri tanpa mengenakan baju tetapi masih mengenakan celana.Franz menghentikan latihannya, " Doa kan saja kakak menang," Franz tersenyum kemudian ia mengambil sebotol air mineral."Aku pasti berdoa untuk kakak, asalkan.." Laura mengusap-usap tangannya."Apa maumu?" tanya Franz serius."Tidak ada Kak, tadi aku bercanda." Laura menggelengkan kepalanya dan tersenyum."Mana Dilah?" tanya Franz celingak celinguk, matanya terus mencari keberadaan Dilah."Dia masak bersama Ibu, mereka terlihat sangat akrab, kekasihmu itu sudah sangat akrab dengan Ibu,""Hmm... Aku tak salah pilih calon istri, seba
Franz membuka bajunya, ia.hanya memakai celana olahraga. Ia memukul samsak dengan semangat."Lihatlah tubuhmu Franz, tak ada otot sama sekali. Ini semua karena cita-citamu yang ingin menjadi manageman bukan jadi mafia. Kau lebih suka berhadapan dengan angka-angka dibandingkan dengan alat-alat latihan ini." Darma duduk sambil memperhatikan anaknya yang sedang berlatih."Sudah lah ayah, jangan meremehkanku," ujar Franz sambil memukul samsak.Nafas Franz tersengal, ia menghentikan latihannya. Ia melirik ke kiri melihat Dilah yang membawa handuk kecil dan sebotol air minum. Dilah langsung membersihkan rambut, tubuh, dan wajah Franz dari keringat."Ini minumannya," Dilah membuka botol minuman tersebut dan memberikannya pada Franz. Franz duduk dan meminum air tersebut.Mereka cocok sekali, Batin Darma yang melihat Franz dan Dilah sedang mengobrol."Setelah lelahmu hilang, kita lanjut lagi latihannya," Darma pergi meninggalkan Dilah dan Franz."Kau
"Apa yang kau mau?" bentak Darma, wajahnya merah padam melihat putri kesayangannya dikawal ketat oleh para pengawal."Anakku Franz mencintai putrimu, aku ingin menikahkan putrimu dengan putraku," ucap Darma enteng tak memperrdulikan Menir yang terlihat tak setuju."Jadi penculik itu putramu?" Reno bertanya dengan nada tinggi."Iya, putraku selicik diriku bukan?" tanya Darma menyeringai."Aku tidak akan pernah sudi menikahkan putri kesayanganku dengan putramu yang gila itu," Mata Menir melotot tajam, ia meremas tangan sangkin kesalnya."Pengawal hukum pancung Dilah sebagai hukuman karena ayahnya tak merestuinya menikah dengan putraku," Darma melakukan gertakan agar Menir pasrah.Para pengawal hati-hati membawa Dilah ke lokasi hukum pancung. Dilah juga melakukan akting seolah-olah dia ketakutan."Tunggu!" Menir mengambil pedang Reno dan menodong Darma dengan pedang tersebut."Hahaha, jika aku mati kau tak akan melihat jasad anakmu," gela
"Bolehkah aku jujur Ali," mereka melihat tak suka mendengar Dilah menyebut nama Ali. "Eh, bukan-bukan maksudku Franz," ucap Dilah gugup."Katakan saja, walaupun akan menyakitiku," ujar Franz pasrah, hatinya sudah siap menerima penolakan."Sebenarnya aku mencintaimu, Franz." ucap Dilah tulus. Franz dan Dilah ingin berpelukan namun Darma melotot tajam."Jangan lakukan dulu!" bentak Darma membuat semua orang tersentak kaget."Iya Ayah." ucap Dilah dan Franz menunduk."Keluarlah, lihat rumah megah atau istana ini. Aku ingin rapat bersama sekretarisku,"Dilah dan Franz keluar untuk ke taman.***"Tuan, ini tidak bisa dibenarkan. Kau biarkan anakmu mendekati Dilah, anak rival abadimu," ucap sekretaris Roni kesal."Kau pikir aku bodoh! Jika aku punya menantu seperti Dilah justru akan menguntungkanku, dia pemberani dan hebat. Aku juga punya rencana bagus," Darma tersenyum menyeringai."Apa?" tanya Roni dengan wajah malas."Ak
"Mungkin Nona salah dengar," ucap Ali berkilah, ia melirik pak tua tersebut dan memberi kode dari matanya agar pak tua itu segera pergi. Pak tua tersebut mengangguk paham dan langsung pergi.Dilah masih saja heran, setiap kali orang melihat dirinya dan Ali (Franz) semua orang menunduk hormat. Sampai akhirnya mereka menuju rumah besar dan mewah. Ada banyak penjaga berpakaian rapi seperti pekerja kantor hanya saja mereka bukan bekerja di sebuah kantor tapi sebagai penjaga rumah. Melihat ada Franz mereka menunduk hormat, agar Dilah tak penasaran Franz ikut-ikutan menunduk. Dilah juga melakukan hal yang sama dengan Franz.Tak biasanya Tuan Franz menunduk hormat? Batin penjaga bingung."Orang disini sopan sekali ya, padahal kita orang baru disini." Dilah merasa takjub, ia belum menyadari orang yang bersama dirinya adalah Franz."Ayo kita masuk!" Franz menggengam tangan Dilah untuk masuk ke rumah yang terbilang mewah. Rumah ini sangat menonjol di bandingkan rumah-r