Suara gelas pecah terdengar membuyarkan suasana malam. Gelas yang terlepas dari genggaman Nadira hancur berkeping-keping di lantai, membuat Aryan dan Erlina serentak menoleh.“Nadira!” seru Aryan refleks. Ia segera bangkit, wajahnya panik, lalu bergegas menghampiri istrinya.Aryan buru-buru meraih lengan Nadira, menariknya agar menjauh dari beling kaca yang berserakan. “Astaga, kamu kenapa? Apa kacanya mengenaimu?” tanyanya cemas. Kedua tangannya sibuk menyapu pergelangan, lengan, hingga jemari Nadira, memastikan tidak ada goresan sedikit pun.Tapi Nadira hanya bergeming. Matanya kosong, tatapannya jauh, seolah suara Aryan tidak benar-benar sampai kepadanya.“Sayang?” Aryan menunduk, mencoba menangkap sorot mata istrinya. Tetapi yang ia temukan hanyalah kebekuan. Seperti ada tembok tinggi yang baru saja berdiri di antara mereka.“Aku baik-baik saja,” jawab Nadira akhirnya, suaranya lirih, nyaris tanpa emosi.Aryan menghela napas lega, meski kebingungan masih tampak jelas di wajahnya.
Aryan yang memperhatikan dari ruang tamu segera menghampiri Nadira. “Sayang, keluar sebentar, yuk,” ajaknya sambil menyentuh pelan punggung istrinya.Nadira mengerutkan dahi. “Ke mana?”“Jalan-jalan sebentar. Anginnya enak, lumayan buat santai setelah perjalanan.”Tanpa memberi waktu Nadira membantah, Aryan menggandengnya keluar lewat pintu samping. Begitu udara malam menyapa kulit, langkah Nadira terasa lebih ringan, tapi hatinya masih menyisakan ganjalan.Aryan tersenyum kecil, mencoba menenangkan. “Jangan dipikirin, ya. Ibu mungkin belum terbiasa sama kamu, jadi mohon maklum dulu. Lagi pula, bisa jadi ibu bersikap begitu karena emang nggak mau bikin kamu capek, kita habis dari perjalanan lumayan jauh.”Nadira menatapnya lama. “Aku ngrasa ibu emang nggak mau dekat denganku. Aku lihat sendiri giliran sama Erlina terlihat sangat akrab, padahal dia cuma kerabat jauh. Sedangkan sama aku yang jelas-jelas istrimu, ibumu terlihat dingin.”Aryan terdiam sejenak, seperti menimbang jawabannya
Seminggu berlalu tanpa terasa. Persiapan yang penuh ketegangan itu kini terbayar lunas dengan hari yang ditunggu-tunggu, yaitu hari sakral yang menyatukan Aryan dan Nadira dalam ikatan suci.Gaun putih sederhana yang membalut tubuh Nadira memantulkan cahaya lembut. Di hadapan penghulu, dengan tatapan mantap, Aryan mengucapkan ijab kabul yang hanya sekali ucap langsung dinyatakan sah. Tepuk tangan dan ucapan selamat mengalir dari para tamu. Nadira menunduk haru, sementara tangan Aryan menggenggamnya erat, seolah berjanji akan menjaga genggaman itu selamanya.Keluarga Nadira yang datang dari desa tampak begitu terharu. Ayahnya berkali-kali mengusap mata, ibunya tersenyum penuh syukur, dan adik lelakinya yang masih duduk di bangku sekolah tak berhenti memotret dengan ponselnya.“Akhirnya, kamu menemukan bahagiamu sendiri, Nak,” bisik sang ibu sambil memeluknya erat.“Terima kasih karena sudah menjagaku selama ini, Ibu,” balas Nadira membalas pelukannya tak kalah erat.*****Tiga hari set
Aryan menarik napas pelan. Ia tahu, apapun yang keluar dari mulutnya saat ini tidak akan cukup untuk memadamkan bara api di hati Nadira. Maka ia memilih langkah lain.Perlahan, ia melepaskan pelukannya. Nadira menunduk, menyeka sisa air mata yang menggantung di pipinya. Aryan menoleh ke belakang, tepat ke arah Erlina yang sejak tadi berdiri membisu seperti patung. Matanya kosong, wajahnya pucat, dan jelas terlihat bahwa ia merasa tidak nyaman berada di tengah pertengkaran itu.“Erlina,” panggil Aryan, tenang namun tegas.Gadis itu mendongak cepat. “Iya?”“Kamu tunggu di mobil, ya. Aku ingin bicara dengan Nadira cukup lama. Kalau bosen di mobil, kamu juga bisa jalan-jalan sekitar kompeks sini, nanti kalau kita udah beres pasti aku telepon.”Ragu sesaat, Erlina akhirnya mengangguk. Ia melangkah mundur dengan pelan, kembali masuk ke dalam mobil seperti yang diperintahkan. Pintu tertutup rapat, menyisakan hanya Aryan dan Nadira di teras yang sepi.Tanpa berkata apa-apa, Aryan menggandeng
Pagi itu, Nadira terbangun dengan mata bengkak dan kepala berat. Tidur tidak lelap, pikirannya terus dihantui adegan di taman malam tadi. Meski Aryan sudah menjelaskan, bayangan pelukan itu terus mengganggu benaknya seperti rekaman yang tak henti diputar ulang.Ia berjalan ke dapur dengan langkah malas, membuat secangkir susu cokelat seperti biasanya. Ia membawa mug nya menuju teras depan untuk duduk menenangkan pikiran. Hari ini ia ada jadwal dengan Aryan untuk fitting baju pernikahan, jadi keduanya memutuskan ambil cuti kerja.Udara masih segar dengan sisa-sisa embun yang belum sepenuhnya menguap. Nadira memejamkan mata sejenak, membiarkan ketenangan menyusup ke dalam benaknya. Aroma tanah basah dan kicauan burung jadi hiburan kecil yang ia nikmati di tengah hati yang masih kacau.Namun kedamaian itu seketika terusik oleh suara mesin mobil yang berhenti di pelataran rumahnya. Nadira membuka mata, menoleh pelan ke arah gerbang. Sebuah mobil hitam yang amat ia kenali—mobil Aryan.Seny
Nadira berdiri terpaku di pinggir trotoar, matanya membelalak tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Jantungnya berdegup kencang, seakan ingin melompat keluar dari dada. Ia menggelengkan kepala berulang kali, mencoba menolak kenyataan yang terpampang jelas di hadapannya.Tidak mungkin.Itu bukan Aryan.Itu bukanlah lelaki yang sebentar lagi akan menjadi suaminya dalam hitungan hari.“Aryan nggak mungkin berselingkuh dariku. Kita sebentar lagi akan menikah, kan. Kita sudah menyiapkan semuanya dengan sempurna,” gumamnya lirih dengan suara tercekat, nyaris tak terdengar oleh dirinya sendiri.Air mata menggenang. Nadira menyeka pipinya yang basah, lalu berlari menyeberangi jalan tanpa memperhatikan keadaan sekitar. Kendaraan yang melintas membunyikan klakson dengan meraung-raung, namun tak dihiraukannya. Pandangannya hanya tertuju pada satu hal—lelaki yang sedang memeluk wanita lain di bangku taman kota.Sesampainya di depan Aryan, tanpa pikir panjang, Nadira langsung melayangkan tampara