Share

Bab 2

Author: Rina Safitri
Indra terbiasa, bahkan menyukai sikap patuh dan tenang Puspa. Maka pemberontakan yang tiba-tiba malam ini, membuatnya merasa nggak nyaman.

Sementara di sisi lain, Puspa merasa dirinya seperti cari luka sendiri. Tanya hal yang jawabannya sudah ia tahu, hanya untuk rasakan lagi rasa sakit yang menyayat.

Saat seseorang berada dalam kondisi lemah, perasaan pun jadi lebih mudah terluka. Ketabahan yang dulu menjadi bentengnya, malam ini mulai retak. Puspa menatap suaminya lurus-lurus, suara bergetar, "Hari ini ulang tahun pernikahan kita yang kelima."

Indra tertegun. Ia benar-benar lupa.

Tatapan dan diamnya sudah cukup sebagai jawaban.

'Wajar kalau lupa,' pikir Puspa pahit.

Indra akhirnya membuka suara, datar, seperti ingin menyudahi persoalan, "Lain kali akan aku ganti."

Ucapan itu bukannya menenangkan, malah makin buat hatinya dingin.

Nggak ingin memperpanjang perdebatan, Puspa mengakhiri topik dengan suara tenang, "Besok, kita selesaikan urusan cerainya."

Namun dengar kata ‘cerai’ lagi, wajah Indra mengeras. Ketidaksukaannya mulai terlihat dari nada yang menurun tajam.

"Sudah cukup. Aku nggak ingin dengar itu untuk ketiga kalinya."

Biasanya, saat Indra menunjukkan ketidakpuasan, Puspa akan segera ngalah. Tapi malam ini, ia nggak mau mundur.

"Aku nggak sedang bercanda."

Dan begitu kata-kata itu jatuh, suasana di kamar seperti kehilangan udara. Senyap mencekam merayap, menyusup ke sela-sela napas mereka.

Saat itu juga, HP Indra berdering. Di tengah keheningan, Puspa bisa mendengar suara perempuan di seberang, lemah dan sedikit tersedu.

"Indra... aku kepeleset di kamar mandi, rasanya kakiku terkilir..."

Indra menjawab cepat, tanpa ragu, "Aku segera ke sana."

Begitu tutup telepon, ia langsung turun dari ranjang.

Tanpa menoleh sedikit pun ke arah istrinya, Indra bersiap pergi. Sikap Puspa malam ini sudah cukup membuatnya jengkel, dan dia berniat untuk sedikit ‘mendinginkan’ hubungan mereka.

Puspa sempat menggerakkan jari, hampir menahan lengannya... tapi akhirnya menahan diri. Ia nggak ingin merendahkan dirinya lebih jauh.

Nggak lama kemudian, suara mobil terdengar dari bawah. Ia sudah pergi.

Puspa meringkuk dan menyelubungi diri dalam selimut.

……

Pukul 7.30 pagi, alarm biologis Puspa berbunyi.

Ia bangkit dari tempat tidur, reflek hendak siapkan sarapan seperti biasa. Tapi tubuhnya terhenti di tengah gerakan. Ia harus mulai buang kebiasaan lima tahun ini.

Setelah mengeluarkan koper, dia mengemasi semua barang-barang rumah tangga yang berharga. Perhiasan, hadiah, semua yang pernah diberikan Indra.

Selama lima tahun menikah, meski nggak pernah dapat cinta, setidaknya ia nggak kekurangan materi.

Mungkin jika Wulan nggak muncul kembali, ia akan tetap bertahan.

Tapi apa artinya pertahankan pernikahan tanpa cinta... dan kini, juga nggak ada kesetiaan?

Saat menuruni tangga dengan koper di tangan, Bu Sekar memandang heran, "Bu, mau dinas luar kota?"

Puspa mengangguk sekenanya. Ia nggak nyebutkan bahwa ia akan pindah. Jika ia bicara jujur, bisa dipastikan kabar itu akan sampai ke mertuanya dalam hitungan detik.

Dan begitu ibunya Indra tahu, ia pasti akan turun tangan. Bukan karena cinta ke Puspa, tapi karena kepercayaan bahwa ‘keberuntungan’ menantunya terlalu besar, jadi tidak rela untuk dilepaskan.

Setelah meninggalkan Vila Asri, Puspa pergi ke rumah yang dulu menjadi bagian dari mas kawinnya. Usai menaruh barang, ia langsung menemui sahabatnya, Tania Mentari.

"Kamu serius mau cerai?"

Puspa mengangguk mantap. "Tolong bantu aku dapatkan bagian harta gono-gini yang layak."

Ia tahu diri—ia nggak harap dapat separuh kekayaan keluarga Wijaya. Bahkan kalau hanya seperlima pun, ia sudah bersyukur.

Ia sendiri mungkin bisa bertahan tanpa uang, tapi neneknya yang terbaring di rumah sakit, tidak.

Secara logika, Tania nggak setuju. Indra, baik dari segi kondisi luar maupun dalam, adalah sosok suami ideal.

Tapi secara emosional, ia akan selalu berpihak pada Puspa.

Dalam cinta, siapa yang jatuh cinta duluan, dialah yang paling menderita.

Karena cinta, Puspa menerima jadi pengantin yang dikawinkan demi keberuntungan—meski tahu bisa jadi janda sejak hari pertama. Tania tahu persis, sahabatnya itu cinta mati ke Indra.

Dan ia pun tahu kenapa sekarang Puspa ingin pergi.

"Dasar bajingan dan perempuan murahan!" Tania mendesis.

Tapi mau dia sekeji apapun, Puspa sudah putuskan: ia nggak ingin lagi jadi bagian dari permainan cinta mereka. Ia milih keluar dan beri tempat.

Selesai bicara dengan sahabatnya, Puspa kembali ke kantor.

Ia bekerja di divisi humas perusahaan Cahaya Sukses.

Cahaya Sukses adalah perusahaan keluarga Wijaya.

Awalnya, ibu mertuanya mau Puspa kerja sebagai asisten Indra, katanya agar lebih dekat dan memberi berkah. Tapi tentu saja, Indra menolak mentah-mentah.

Dan sekarang, setelah putuskan cerai, ia merasa nggak perlu lagi bertahan di tempat ini.

Begitu tiba di kantor, ia langsung mengetik surat pengunduran diri.

Atasannya tampak terkejut.

"Kenapa tiba-tiba mau berhenti kerja?"

Puspa hanya menjawab singkat, "Alasan pribadi."

"Sudah pikir baik-baik?"

"Sudah."

Ia adalah karyawan yang cukup diperhitungkan. Maka meski mereka menyayangkan, karena nggak bisa menahannya, nggak ada kata lebih yang diucapkan.

Setelah menyelesaikan semua prosedur, ia juga mulai bereskan pekerjaan yang tersisa.

Siang itu, di kantin kantor.

Puspa sedang makan siang ketika mendengar suara bisik-bisik dari meja sebelah.

"Eh, kenapa Pak Indra makan di kantin hari ini? Siapa perempuan muda di sampingnya?"

Ia spontan menoleh. Dan benar saja, di antara kerumunan, ia langsung melihat Indra—duduk bersama Wulan.

"Aku dengar. Ini adalah asisten baru Pak Indra.”

"Masa sih? Kok kayaknya bukan sekadar rekan kerja?"

Wulan entah berkata apa, membuat Indra tersenyum tipis. Ada keakraban yang tak bisa disangkal—jelas bukan hubungan profesional biasa.

"Kan Pak Indra sudah menikah. Apa jangan-jangan itu istrinya?"

Tatapan Puspa membeku.

Hari pertama masuk kerja dulu, Indra secara khusus memperingatkannya agar nggak pernah mengungkap identitas. Dan ia menuruti tanpa tanya.

Jadi hingga hari ini, tak seorang pun tahu bahwa dialah Nyonya Indra Wijaya.

"Aku rasa iya. Lihat saja, kapan Pak Indra pernah sedekat itu dengan perempuan?"

Saat itu, Sekretaris Cakra datang membawa nampan makan. Indra menyodorkan sumpit pada Wulan, yang menerimanya dengan sangat wajar. Ini jelas bukan pertama kalinya.

Tangan Puspa yang menggenggam sumpit mengencang. Buku-bukunya memutih.

Lima tahun menikah, ia selalu yang melayani.

Ternyata... bukan karena Indra nggak bisa bersikap manis. Tapi karena ia nggak layak diperlakukan seperti itu.

"Puspa? Wajahmu kok pucat sekali?"

Ia menunduk, menutup emosi di matanya. Saat menatap kembali, ia sudah menyunggingkan senyum.

"Nggak apa. Aku sudah kenyang. Kalian makan saja."

Tanpa menunggu, ia membawa nampannya dan pergi.

Indra duduk menghadap pintu keluar. Saat mengangkat kepala, ia melihat langkah Puspa yang agak terburu, rambutnya sedikit acak-acakan. Alisnya berkerut halus.

Wulan pun menyadari hal itu, matanya mengikuti arah pandang pria itu. Begitu melihat Puspa, seberkas gelap menyelinap di matanya. Tapi segera berganti dengan senyum penuh kemenangan.

"Kemarin kenapa ke rumah sakit?" tanya Indra pada sekretarisnya.

"Bu Puspa bilang hanya masuk angin."

Inilah jawaban yang diberikan oleh Puspa.

Indra mengangguk paham. Pantas saja semalam emosinya nggak stabil.

"Aku dengar Ti&Co punya koleksi berlian baru. Pilihkan satu kalung, kirimkan padanya."

Belum sempat Sekretaris Cakra menjawab, Indra menambahkan, "Tapi bawa dulu ke aku."

Wulan menatap penuh harap. Lalu berkata suara dengan nada lembut, "Tadi malam aku minta kamu datang... apa istrimu marah? Kalau ada salah paham, aku bisa jelaskan langsung padanya."

Indra menjawab datar, "Nggak perlu."

Senyum di sudut bibir Wulan makin jelas.

……

Malamnya, setelah pulang kerja, Puspa pergi ke supermarket. Malam ini, ia ingin makan hot pot.

Sejak menikah, ia tak pernah lagi makan masakan itu—karena Indra nggak suka.

Di apartemen kecil seluas sembilan puluh meter persegi, lampu menyala hangat. Aroma sedap memenuhi ruangan. Di meja makan, Puspa duduk sendirian.

Sudah bertahun-tahun sejak terakhir ia menikmati ini. Semuanya masih terasa familiar, tapi juga... asing.

Tapi nggak masalah, waktu bisa merubah segalanya.
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Suryat
si indra gak punya hati,gak bisa Hargai perasaan istri..
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Hari Aku Kehilangan, Dia Merayakan   Bab 442

    Dokter Yulia? Psikolog pribadi Puspa?Tania mendadak teringat. Wanita yang dulu ia lihat bersama Wulan di restoran, bukannya itu psikolog yang ia temui di Vila Asri?Wajah Tania langsung berubah drastis, napasnya menjadi terburu-buru.“Puspa!”Puspa dengar suaranya lewat earphone bluetooth, ia jawab pelan, “Kenapa?”Tania cepat tanya, “Kamu sekarang sedang di mobil psikologmu?”“Mm, iya.” Puspa mengiyakan.Nada Tania langsung melonjak panik.“Cepat turun! Puspa, segera turun dari mobil itu!”Nada teriakannya begitu mendesak sampai Puspa sempat membeku.Tania segera tambahkan cepat, “Psikologmu itu pernah ketemu diam-diam dengan Wulan!”Ia nggak bisa pastikan hilangnya Nenek Yanti ada hubungannya dengan Wulan.Namun kemunculan Yulia di saat sepenting itu benar-benar terlalu kebetulan. Hal itu buat insting profesionalnya berteriak. Ada yang nggak beres!Dengar itu, pupil Puspa menegang. Ia menoleh ke arah Yulia yang sedang nyetir. Wajah yang biasanya tampak akrab kini seolah tertutup ba

  • Hari Aku Kehilangan, Dia Merayakan   Bab 441

    Puspa tertegun. “Apa maksudmu hilang?”Perawat pendamping buru-buru jelaskan, “Aku cuma keluar sebentar untuk terima telepon. Begitu kembali, nenek sudah nggak ada. Aku sudah cari ke semua arah tapi tetap nggak ketemu, HP-nya juga tertinggal.”Hal pertama yang terlintas di kepala Puspa adalah, “Nenekku apa mungkin keluar sebentar untuk jalan-jalan?”Tapi perawat langsung membantah.“Bukan waktunya keluar ruangan, dan lagian sebentar lagi waktunya minum obat.”Nenek Yanti sudah seperti pasien tetap di rumah sakit ini, hampir semua perawat kenal dia. Tapi anehnya, nggak ada satu pun yang tahu kapan ia hilang.Bahkan ketika Puspa minta rekaman CCTV rumah sakit, hasilnya seperti orang itu lenyap begitu saja, benar-benar menguap tanpa jejak.Puspa panik. Sambil hubungi polisi, ia juga keliling rumah sakit mencari keberadaan neneknya. Saat itulah nada dering HP-nya tiba-tiba bunyi.Nomornya asing. Entah kenapa, naluri Puspa langsung berkata: telepon ini pasti ada hubungannya dengan nenek.“H

  • Hari Aku Kehilangan, Dia Merayakan   Bab 440

    Ini bukannya sama saja dengan menghina dia?Wulan menatap tajam ke arah Puspa.“Jangan asal bicara! Aku nggak ada hubungan apa-apa dengan pria ini!”Puspa tersenyum miring, nada suaranya penuh sindiran, “Sudah sampai ada urusan transaksi uang, masih bilang nggak ada hubungan?”Begitu kata-kata itu keluar, bayangan kelam melintas di mata Wulan.Dia dengar? Sejauh mana dia dengar? Apa soal anak juga sudah sampai ke telinganya?Sebenarnya Puspa hanya tonton pertunjukan.Soal Wulan main laki-laki lain, ia sama sekali nggak tertarik, cuma geli saja.Selama ini ia kira Wulan benar-benar cinta Indra. Ternyata? Sama saja.Lihatlah, “adik perempuan kesayangan” yang selalu disimpan Indra di hatinya, jiwa dan raganya ternyata juga gampang terpecah begitu saja.Puspa malas berlama-lama menatap drama busuk ini. 'Nggak baik untuk bayi kalau kebanyakan lihat sampah dunia,' pikirnya. Ia segera alihkan pandangan dan berbalik pergi.Namun Wulan terus menatap punggungnya, matanya seolah ingin tembus dan

  • Hari Aku Kehilangan, Dia Merayakan   Bab 439

    “Anakku, cepat lihat siapa yang datang. Itu pamanmu, ayo, cepat panggil ‘paman’.”Jimmy sambil berkata, tiba-tiba rubah suaranya, tirukan nada suara anak kecil.“Aku nggak suka Paman. Aku benci Paman.”Begitu kalimat itu selesai, ia langsung kembalikan suaranya normal.“Benar kan, anakku! Lihat, selera kita sama persis. Apa yang aku benci, kamu juga benci.”Puspa benar-benar kembali dibuat terdiam oleh tingkah Jimmy.Orang aneh! Super aneh!Tatapan Indra semakin gelap, tajam seolah hendak menguliti adiknya hidup-hidup.Sementara Jimmy, kedua tangannya tetap santai masuk ke saku celana, gaya malas nggak berubah sedikit pun.“Kenapa lihat aku begitu? Iri ya, karena hubungan ayah-anak kami lebih baik daripada hubunganmu dengannya?”Puspa nggak mau jadi korban perdebatan mereka.Ia langsung berdiri, buka mulut dengan datar, “Perlu aku kasih tempat buat kalian berdua?”Meskipun terdengar seperti bertanya, tindakannya sangat tegas.Ia melangkah keluar dari kamar rawat, bahkan dengan ramah tu

  • Hari Aku Kehilangan, Dia Merayakan   Bab 438

    Kepalanya sakit, tapi pada saat yang sama ia juga nggak berdaya, hanya bisa turuti keinginan putrinya....Di sisi lain, kondisi Puspa dalam perawatan medis dan terapi makan perlahan mulai membaik.Dokter bilang, dua hari lagi ia sudah bisa keluar dari rumah sakit.Kabar tentang Lisa yang akhirnya dikirim ke luar negeri, justru disampaikan langsung oleh Jimmy.Puspa dengar itu sambil dalam hati mendengus. Pasti orang ini diam-diam pasang semacam alat pemantau di sekitar mereka. Kalau nggak, gimana mungkin ia bisa tahu semua gerakan mereka dengan begitu detail?Jimmy duduk santai di kursi dekat ranjangnya, satu kaki disilangkan di atas kaki lain, gaya seenaknya.Dengan nada bercanda, ia bertanya, “Sekarang aku harus panggil kamu ‘kakak ipar’ atau ‘Puspa’?”Puspa menatapnya dingin.“Kalau mau, kamu bisa panggil aku orang asing.”Jimmy terkekeh. “Itu nggak bisa. Aku masih niat kejar kamu.”Puspa mendengus, malas tanggapi.“Kalau gitu, silakan naik ke lantai tiga.”Jimmy menaikkan alis. “N

  • Hari Aku Kehilangan, Dia Merayakan   Bab 437

    Puspa sedang makan makanan yang dibawakan Bu Sekar.Makanannya belum habis, ketika Indra masuk dan kembali ke kamar.Dia nggak temani Wulan, tapi balik ke sini? Ngapain?Indra duduk di hadapannya. Wajahnya dipenuhi rasa bersalah, suaranya tenang namun penuh penjelasan.“Dia pingsan tiba-tiba, aku cuma…”Namun sebelum ia sempat selesaikan kalimatnya, Puspa memotong dingin, “Kamu nggak perlu jelaskan ke aku. Aku juga nggak butuh penjelasanmu. Kita sudah cerai. Kamu mau ngapain, pergi ke mana, itu sama sekali nggak ada hubungannya denganku.”Di mata orang luar, mereka masih suami istri.Tapi pada kenyataannya, kalau bicara lebih kejam, ia kini lebih mirip seperti seorang ibu pengganti. Seorang “surrogate”. Dan bagi Puspa, urusan perasaan antara dirinya dan Indra, sama sekali nggak penting.Asalkan nggak sentuh dirinya, Indra boleh lakukan apa saja. Itu bukan urusannya.Indra tercekat dengar kata-kata itu. Menatap wajah tenang Puspa, sikapnya yang nggak terusik sedikit pun, buat hati Indra

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status