Edi kembali duduk sambil memegangi dadanya. Pelan-pelan ia mulai mengatur napas agar tidak sampai kambuh lagi penyakitnya. Ia tak bisa membayangkan kondisi anaknya jika harus masuk rumah sakit lagi.
Beberapa waktu lalu Edi tak sengaja bertemu dengan tetangga di warung, dia adalah petugas kebersihan yang bekerja di hotel. Tetangga Edi menceritakan apa yangt adi dilihat olehnya di hotel. Memang belakangan ini Ajeng dikenal sebagai perempuan yang tidak baik di lingkungan kampung.
Tak ingin berlarut-larut Edi pun langsung bertanya pada Ajeng begitu melihat istrinya keluar dari kamar mandi.
“Dek, tadi Mas denger kabar kalau kamu di hotel dengan keponakan Firman yang biasa ke sana. Apa bener?” tanyanya.
Ajeng yang mendengar pertanyaan suaminya langsung terkejut. Ia mencoba menebak siapa yang menyebarkan berita ini.
“Apaan sih Mas?” balas Ajeng dengan ketus.
“Mas kan suami kamu dek, nggak baik lho kalau punya suami tapi masih pergi dengan laki-laki lain apalagi ke hotel,” Edi mengingatkan.
“Ayo dek jawab yang jujur!” desak Edi lagi.
"Apa yang mesti dijawab, kenapa Mas lebih percaya mulut tetangga daripada istrinya sendiri?”
Brak! Ajeng pun langsung membanting pintu kamar meninggalkan Edi. Dari luar Edi masih bisa mendengar istrinya mengomel.
"Makanya kalau punya istri itu dijaga, dirawat, dipenuhi apa yang diinginkan entar dibawa laki-laki lain marah."
"Hmmmmm," Edi menghela nafas panjang.
Saat tengah malam, diam-diam Ajeng mengeluarkan bungkusan kain putih yang berisi beberapa macam bunga kering yang sudah dibacakan mantra oleh Mbah Darto, dukun langganan Ajeng.
sambil mengendap-endap Ajeng menyebarkan bunga itu disamping kasur dan didepan pintu kamar tak lupa menaruh di gelas minum sewaktu Edi tertidur pulas dikursi ruang tamu, lalu ia mengusap wajah suapinya dengan air ramuan yang sudah disiapkan.
Pagi hari, setelah Edi mandi ia langsung duduk di meja makan dan tak mengingat apapun tentang kejadian semalam.
"Anak-anak sudah mandi dan sarapan?” tanya Edi.
"Udah dari tadi tinggal ngantar ke sekolah," jawab Ajeng sambil menyiapkan sepiring nasi dengan lauk untuk suaminya.
Edi pun langsung menyantap hidangan itu dengan lahap dan bersiap untuk berangkat mengantar anak-anak sekolah dan dilanjutkan bekerja.
Sekitar pukul sepuluh Agung datang dengan berjalan kaki dan masuk lewat pintu samping yang telah dibuka oleh Ajeng. Sengaja pemuda itu jalan kaki agar tidak dicurigai oleh tetangga mereka.
"Mas langsung ke kamar aja ya, aku mau tutup warung di depan dulu,” kata Ajeng.
Namun tampaknya Ajeng tak sabaran dan langsung memeluk Ajeng untuk dibawa ke kamar. Mereka pun melakukan hubungan laknat di kamar yang biasa ditempati Ajeng bersama suaminya. Setelah puas, Agung memberikan uang satu juta untuk Ajeng dan pergi lewat pintu samping.
"Lumayan juga buat seneng-seneng sama temen-temen, gengsilah kalau ketahuan bangkrut, mereka semua tahunya aku ini istri kontraktor."
Ajeng pun membersihkan diri dan kembali rapi lalu menuju warung depan rumah, ternyata di depan ternyata sudah ada Dini istri dari adik bungsu Edi, Agus.
"Baru buka ya mbak, kayaknya sudah dari tadi selesai masaknya."
“Iya nih masih ada yang dikerjakan,ada pesanan untuk acara besok,” jawab Ajeng asal.
"Eh … tadi ada cowok yang lewat pintu samping siapa mbak?” tanya Dini.
“Oh … itu tadi ngantar paket,” jawab Ajeng ketus.
“Dasar keluarga gak beres, tetap aja ngurus urusan orang,” batin Ajeng menggerutu.
Hubungan Agung dan ajeng sudah hampir dua bulan dan nyaris setiap hari agung datang. Namun kini pelan-pelan Agung menjauh dari Ajeng, mungkin karena bosan. Namun itu tak jadi soal baguinya, karena Ajeng yang masih cantik bisa mencari laki-laki lain di luar sana.
***
“Mas, minta uang lima ratus ribu buat bayar koperasi,” pinta Ajeng begitu Edi pulang dari kerja. Pria kurus itu belum juga melepas sepatunya tapi sudah dimintai uang.
"Mas belum gajian lagian uang yang ada juga buat keperluan bayar sekolah anak-anak. Kamu juga berhutang itu buat apa dan tidak memberitahuku,” jawab Edi dengan ketus.
"Mas, saya berhutang itupun juga buat keperluan anak-anak. Kamu itu ya kalau ga buat aku emosi tiap hari kenapa to?” bentak Ajeng dengan raut wajah penuh emosi.
Edi hanya diam tanpa membalas kata-kata kasar yang dilontarkan Ajeng. Teriakan Ajeng sungguh keras sampai Sari kakak ipar yang tinggalnya di samping rumah Edi pun mendengar.
"Ada apa ini, kenapa tiap hari ribut terus, nggak malu apa sama tetangga?” tanya Sari, kakak ipar Ajeng.
“Eh mbak ga usah ikut campur masalah rumah tanggaku ya, Mbak nggak tahu apa-apa, jadi mending diem saja.”
“Loh … saya ini kakak iparmu dan saya berhak untuk menengahi masalah kalian, kasihan anak-anak kalau tiap hari melihat orang tuanya berantem terus,” balas Sari.
Ajeng yang dikritik pun langsung berkacak pinggang dan matanya melotot ke arah kakak iparnya sambil telunjuknya mengarah pada kakaknya.
"Kalau mbak masih saja ikut campur dan membela adik mba, jangan salahkan saya kalau rejeki mbak saya matiin!” ancam Ajeng membuat Sari kaget dan beranjak pergi.
"Huh, mentang-mentang saya disini sendiri, terus kalian seenaknya ngeroyok aku?” teriak Ajeng yang ditujukan pada Sari.
Dengan terburu-buru Ajeng pun pergi naik motor dan membawa tas kecil berisi sepasang pakaian.
***
Saat hari sudah gelap, Ajeng pun tiba di sebuah rumah bergaya lawas di pinggiran kota Jogjakarta. Rumah itu tampak gelap dan suram. Untuk orang yang tak terbiasa tentu saja akan takut, tapi tidak dengan Ajeng.
"Permisi Mbah," panggil Ajeng sambil mengetuk pintu.
Hingga akhirnya muncul seorang laki-laki separuh baya yang berpakaian serba hitam. Pria itu adalah Mbah Darto yang terkenal sebagai dukun, dia tinggal sendirian tidak punya anak istri.
"Loh … Nduk Ajeng, ada apa kelihatan kesel gitu wajahnya, masalah keluarga kamu lagi?" tanya Mbah Darto yang sudah hapal dengan Ajeng.
"Kali ini bukan suami saya, tapi keluarganya sekarang mulai ikut campur urusan rumah tangga saya Mbah."
Mbah Darto pun langsung mengajak Ajeng masuk ke ruang prakteknya yang dilengkapi karpet merah, bantal kumal dan juga tungku yang asapnya tidak sehat untuk dihirup.
Mbah Darto. Pria tua itu pun mengangguk dan mengulangi keinginan Ajeng.
“Sebenarnya itu mudah buat Mbah, tapi ya Nduk Ajeng tahu sendiri kalau untuk itu maharnya harus dobel.”
“Kira-kira berapa ya Mbah?”
Pria paruh baya itu pun mengangguk-angguk, “Karena Nduk Ajeng sudah langganan, ya buat ganti ongkos Mbah nyari bahan dua juta setengah aja cukup.”
Ajeng pun tertunduk lesu, lalu pelan-pelan memberanikan diri mengangkat wajahnya.
“Mbah apa nggak bisa kurang lagi?” tanya Ajeng menawar.
Pria di hadapannya terkekeh sambil melihat Ajeng dari atas ke bawah.
“Mbah bisa kasih lebih murah bahkan gratis, asal ….” Mbah Darto menghentikan ucapannya dan kembali terkekeh.
“Asal apa Mbah?” tanya Ajeng cepat, tapi pria itu hanya tertawa.
Note : Gaes, kalau punya keluarga kayak Ajeng bakal kalian apain ya?
HTP 13KEhilanganWaktu sudah mendekati tengah hari, saat itulah Ajeng menghentikan sepeda motornya di depan ruamah Edi yang terlihat sepi. Ajeng tentunya sudah hapal jam berapa suaminya itu meninggallkan rumah, dan ketiga anaknya sekolah. Karena masih berstatus istri sah Edi dan Ibu dari ketiga putrinya, Ajeng pun memegang kunci duplikat rumah yang membuatnya bebas keluar masuk. Ajeng juga sengaja datang jam segini agar tidak diketahui tetangga sekitar karena pagi hari banyak yang beraktivitas."Aku datang nggak ada maksud buat jenguk anak-anak,aku mau ambil apa yang bisa aku jual"batin Ajeng sembari membuka kunci pintu belakang rumah.Tanpa ada perasaan sungkan atau rindu rumah, wanita berambut lurus itu masuk rumah dan menggeledah hampir seluruh sudut ruangan. “Aduh ini rumah sepi amat sih nggak ada yang bisa dijual sama sekali. Udah bener-bener miskin kali si Edi, TV juga udah ketinggalan jaman mana udah nggak bagus lagi, bisa laku lima puluh ribu juga udah bagus, tapi nggak sep
Hubungan Edi dengan Ajeng masih saja tidak jelas selama bertahun-tahun. Mereka berdua sudah tidak lagi tinggal serumah. Edi sudah tidak tahu kemana istrinya itu pergi, menurut kabar Ajeng sudah tidak lagi tinggal di kontrakan lamanya melainkan kembali ke rumah orang tuanya di Madiun.Dari pengakuan teman Ajeng, kepindahannya dikarenakan tidak memiliki pekerjaan lagi dan tidak ada biaya untuk menghidupi kesehariannya.Namun untuk kembali tinggal di rumah Edi, Ajeng pun enggan, entah apa penyebabnya.Padahal jika Ajeng ingin datang dengan baik-baik, maka Edi pasti akan menerima dengan baik.Seperti apa yang selama ini dilakukan Ajeng, tiap akhir bulan, Ajeng selalu datang berkunjung ke tempat Edi, tapi bukan untuk menengok anak-anaknya. Ajeng hanya datang untuk meminta jatah uang bulanan dari Edi saja.“Dik, kamu nggak nunggu anak-anak pulang dulu, mereka nggak lama kok pergi dengan budhenya?” tanya Edi yang baru saja memberikan sejumlah uang untuk kebutuhan Ajeng beberapa waktu lalu.“
Si bungsu Nania tidak seberuntung kedua kakaknya. Sejak usianya empat bulan Nania sudah sering ditinggal Ajeng dan seringkali diasuh oleh orang lain, kadang adik ipar atau kakak iparnya.Usia yang masih sangat rentan dan benar-benar membutuhkan kasih sayang seorang Ibu tapi sama sekali tidak pernah mendapatkannya.Suatu sore saat Edi pulang kerja, ia dikejutkan oleh tangisan sang putri bungsu yang tak kunjung berhenti. Saat itu Nania sedang berada dalam gendongan Putri di ruang tengah rumah.“Untung Mas Edi cepat pulang, sejak tadi Nania tidak berhenti menangis dan demamnya tinggi sekali. Tadi saya sudah membaluri badannya dengan bawang merah dan minyak telon tapi sama sekali tidak membantu,” Putri yang mengurus Nania langsung melaporkan keadaannya pada Edi. Edi yang saat itu masih lelah dengan pekerjaan yang menyita waktu pun langsung menempelkan punggung tangan di dahi putri kecilnya. Benar sekali tubuh anak itu sangat panas. “Mas, mending sekarang ke dokter aja bawa Nania, biar d
Hari sudah menjelang siang saat Ajeng turun dari ojek, ia mengamati rumah yang sudah lama tidak ia tempati, tentu saja rumah peninggalan orang tua Edi yang masih dihuni oleh Edi dan ketiga putri mereka.Sudah beberapa bulan terakhir Ajeng tidak pulang dan tinggal di sebuah kamar kos yang letaknya jauh dari rumah Edi. Tentu saja kamar kos itu dibiayai oleh laki-laki selingkuhan Ajeng yang entah laki-laki mana lagi, sudah tak terhitung jumlahnya. Bagi Ajeng materi adalah nomor satu, ia tidak peduli status yang masih diembannya dan juga lelaki yang bersamanya, asalkan ada yang bisa menuhi keinginannya, Ajeng rela menyerahkan harga dirinya.Untuk menutupi kebosanan dan menjaga image, Ajeng pun bekerja, tapi tetap saja tabiatnya menggoda lelaki tidak pernah berubah. Sementara Edi sekarang hanya konsentrasi bekerja untuk membesarkan ketiga anaknya dan memberi kasih sayang sepenuhnya pada mereka. Sari, kadang kakak kandung Edi merasa kasihan melihat mereka, anak masih kecil-kecil sudah tid
Edi Santosa lelaki tiga puluh tahunan, ketika masih muda menjadi laki-laki idaman perempuan dikampung karena fisiknya yang menarik. Masa muda Edi dihabiskan dengan berfoya-foya, hampir setiap malam pulang dalam keadaan mabuk, seperti kebanyakan pemuda dikampungnya suka konsumsi minuman keras.Ibunya seorang pedagang sayur yang cukup laris di pasar, dan Edi adalah anak kesayangan Bu Wartini apapun yang dilakukannya walau buruk tak akan pernah membuat Ibu memarahinya. Pernah ketika Edi pulang larut malam dalam keadaan mabuk, dan terkapar diteras rumah hanya Bu Wartinilah yang memindahkannya ke kamar, sementara kakak dan kedua adiknya enggan.Hampir setiap hari Edi diberi nasihat untuk berhenti mabuk-mabukan tapi tak diindahkannya, termasuk Ani, perempuan yang saat itu dekat dengannya, dan akhirnya memilih pergi karena tak ada masa depan dala hubungan mereka. Sementara kedua adiknya tidak mampu menasihati Edi karena takut akan watak temperamentalnya saat di bawah minuman keras.Suatu sa
Ajeng pun mengerutkan dahi tidak tahu kenapa pria di hadapannya tertawa terbahak-bahak. Pria yang rambutnya sudah memutih dan giginya hitam itu pun melihat Ajeng dari atas ke bawah. “Hmm, Nduk Ajeng, kamu ini kan masih muda, cantik dan Mbah ini sendirian, kamu tahu kan apa maksud Mbah?” tanya Mbah Darto sambil menggoda Ajeng. Ajeng tersentak saat mendengar permintaan dari pria tua di hadapannya. “Dih, apa iya aku harus tidur dengan si tua bangka ini? Iih nggak bangetlah. Udah tua, jelek, bau lagi,” runtuk Ajeng dalam hati. Mbah Darto pun kembali terkekeh saat melihat sosok Ajeng yang mulai gugup. Perempuan muda yang sedang terjepit terlihat begitu menggoda di matanya. “Gimana Nduk? Mbah udah siap lho dari tadi.” “Mampus, aku harus nemenin si tua bangka bau tanah ini, tapi … aku lagi nggak punya duit. Hmm udahlah aku sambil tutup mata dan lampu dimatiin aja. Sabar … sabar Jeng semua nggak ada yang gratis,” batinnya kemudian mengiyakan ajakan Mbah Darto. *** Ajeng tiba di rumah