Share

7. Rahasia Ajeng

Edi kembali duduk sambil memegangi dadanya. Pelan-pelan ia mulai mengatur napas agar tidak sampai kambuh lagi penyakitnya. Ia tak bisa membayangkan kondisi anaknya jika harus masuk rumah sakit lagi.

Beberapa waktu lalu Edi tak sengaja bertemu dengan tetangga di warung, dia adalah petugas kebersihan yang bekerja di hotel. Tetangga Edi menceritakan apa yangt adi dilihat olehnya di hotel. Memang belakangan ini Ajeng dikenal sebagai perempuan yang tidak baik di lingkungan kampung.

Tak ingin berlarut-larut Edi pun langsung bertanya pada Ajeng begitu melihat istrinya keluar dari kamar mandi.

“Dek, tadi Mas denger kabar kalau kamu di hotel dengan keponakan Firman yang biasa ke sana. Apa bener?” tanyanya.

Ajeng yang mendengar pertanyaan suaminya langsung terkejut. Ia mencoba menebak siapa yang menyebarkan berita ini.

“Apaan sih Mas?” balas Ajeng dengan ketus.

“Mas kan suami kamu dek, nggak baik lho kalau punya suami tapi masih pergi dengan laki-laki lain apalagi ke hotel,” Edi mengingatkan.

“Ayo dek jawab yang jujur!” desak Edi lagi.

"Apa yang mesti dijawab, kenapa Mas lebih percaya mulut tetangga daripada istrinya sendiri?”

Brak! Ajeng pun langsung membanting pintu kamar meninggalkan Edi. Dari luar Edi masih bisa mendengar istrinya mengomel.

"Makanya kalau punya istri itu dijaga, dirawat, dipenuhi apa yang diinginkan entar dibawa laki-laki lain marah."

"Hmmmmm," Edi menghela nafas panjang.

Saat tengah malam, diam-diam Ajeng mengeluarkan bungkusan kain putih yang berisi beberapa macam bunga kering yang sudah dibacakan mantra oleh Mbah Darto, dukun langganan Ajeng.

sambil mengendap-endap Ajeng menyebarkan bunga itu disamping kasur dan didepan pintu kamar tak lupa menaruh di gelas minum sewaktu Edi tertidur pulas dikursi ruang tamu, lalu ia mengusap wajah suapinya dengan air ramuan yang sudah disiapkan.

Pagi hari, setelah Edi mandi ia langsung duduk di meja makan dan tak mengingat apapun tentang kejadian semalam.

"Anak-anak sudah mandi dan sarapan?” tanya Edi.

"Udah dari tadi tinggal ngantar ke sekolah," jawab Ajeng sambil menyiapkan sepiring nasi dengan lauk untuk suaminya.

Edi pun langsung menyantap hidangan itu dengan lahap dan bersiap untuk berangkat mengantar anak-anak sekolah dan dilanjutkan bekerja.

Sekitar pukul sepuluh Agung datang dengan berjalan kaki dan masuk lewat pintu samping yang telah dibuka oleh Ajeng. Sengaja pemuda itu jalan kaki agar tidak dicurigai oleh tetangga mereka.

"Mas langsung ke kamar aja ya, aku mau tutup warung di depan dulu,” kata Ajeng.

Namun tampaknya Ajeng tak sabaran dan langsung memeluk Ajeng untuk dibawa ke kamar.  Mereka pun melakukan hubungan laknat di kamar yang biasa ditempati Ajeng bersama suaminya. Setelah puas, Agung memberikan uang satu juta untuk Ajeng dan pergi lewat pintu samping. 

"Lumayan juga buat seneng-seneng sama temen-temen, gengsilah kalau ketahuan bangkrut, mereka semua tahunya aku ini istri kontraktor."

Ajeng pun membersihkan diri dan kembali rapi lalu menuju warung depan rumah, ternyata di depan ternyata sudah ada Dini istri dari adik bungsu Edi, Agus.

"Baru buka ya mbak, kayaknya sudah dari tadi selesai masaknya."

“Iya nih masih ada yang dikerjakan,ada pesanan untuk acara besok,” jawab Ajeng asal.

"Eh … tadi ada cowok yang lewat pintu samping siapa mbak?” tanya Dini.

“Oh … itu tadi ngantar paket,” jawab Ajeng ketus.

“Dasar keluarga gak beres, tetap aja ngurus urusan orang,” batin Ajeng menggerutu.

Hubungan Agung dan ajeng sudah hampir dua bulan dan nyaris setiap hari agung datang. Namun kini pelan-pelan Agung menjauh dari Ajeng, mungkin karena bosan. Namun itu tak jadi soal baguinya, karena Ajeng yang masih cantik bisa mencari laki-laki lain di luar sana.

                        ***

“Mas, minta uang lima ratus ribu buat bayar koperasi,” pinta Ajeng begitu Edi pulang dari kerja. Pria kurus itu belum juga melepas sepatunya tapi sudah dimintai uang.

"Mas belum gajian lagian uang yang ada juga buat keperluan bayar sekolah anak-anak. Kamu juga berhutang itu buat apa dan tidak memberitahuku,” jawab Edi dengan ketus.

"Mas, saya berhutang itupun juga buat keperluan anak-anak. Kamu itu ya kalau ga buat aku emosi tiap hari kenapa to?” bentak Ajeng dengan raut wajah penuh emosi.

Edi hanya diam tanpa membalas kata-kata kasar yang dilontarkan Ajeng. Teriakan Ajeng sungguh keras sampai Sari kakak ipar yang tinggalnya di samping rumah Edi pun mendengar.

"Ada apa ini, kenapa tiap hari ribut terus, nggak malu apa sama tetangga?” tanya Sari, kakak ipar Ajeng.

“Eh mbak ga usah ikut campur masalah rumah tanggaku ya, Mbak nggak tahu apa-apa, jadi mending diem saja.”

“Loh … saya ini kakak iparmu dan saya berhak untuk menengahi masalah kalian, kasihan anak-anak kalau tiap hari melihat orang tuanya berantem terus,” balas Sari.

Ajeng yang dikritik pun langsung berkacak pinggang dan matanya melotot ke arah kakak iparnya sambil telunjuknya mengarah pada kakaknya.

"Kalau mbak masih saja ikut campur dan membela adik mba, jangan salahkan saya kalau rejeki mbak saya matiin!” ancam Ajeng membuat Sari kaget dan beranjak pergi.

"Huh, mentang-mentang saya disini sendiri, terus kalian seenaknya ngeroyok aku?” teriak  Ajeng yang ditujukan pada Sari.

Dengan terburu-buru Ajeng pun pergi naik motor dan membawa tas kecil berisi sepasang pakaian.

                      ***

Saat hari sudah gelap, Ajeng pun tiba di sebuah rumah bergaya lawas di pinggiran kota Jogjakarta. Rumah itu tampak gelap dan suram. Untuk orang yang tak terbiasa tentu saja akan takut, tapi tidak dengan Ajeng.

"Permisi Mbah," panggil Ajeng sambil mengetuk pintu.

Hingga akhirnya muncul seorang laki-laki separuh baya yang berpakaian serba hitam. Pria itu adalah Mbah Darto yang terkenal sebagai dukun, dia tinggal sendirian tidak punya anak istri.

"Loh … Nduk Ajeng, ada apa kelihatan kesel gitu wajahnya, masalah keluarga kamu lagi?" tanya Mbah Darto yang sudah hapal dengan Ajeng.

"Kali ini bukan suami saya, tapi keluarganya sekarang mulai ikut campur urusan rumah tangga saya Mbah."

Mbah Darto pun langsung mengajak Ajeng masuk ke ruang prakteknya yang dilengkapi karpet merah, bantal kumal dan juga tungku yang asapnya tidak sehat untuk dihirup.

Mbah Darto. Pria tua itu pun mengangguk dan mengulangi keinginan Ajeng.

“Sebenarnya itu mudah buat Mbah, tapi ya Nduk Ajeng tahu sendiri kalau untuk itu maharnya harus dobel.”

“Kira-kira berapa ya Mbah?”

Pria paruh baya itu pun mengangguk-angguk, “Karena Nduk Ajeng sudah langganan, ya buat ganti ongkos Mbah nyari bahan dua juta setengah aja cukup.”

Ajeng pun tertunduk lesu, lalu pelan-pelan memberanikan diri mengangkat wajahnya.

“Mbah apa nggak bisa kurang lagi?” tanya Ajeng menawar.

Pria di hadapannya terkekeh sambil melihat Ajeng dari atas ke bawah.

“Mbah bisa kasih lebih murah bahkan gratis, asal ….” Mbah Darto menghentikan ucapannya dan kembali terkekeh.

“Asal apa Mbah?” tanya Ajeng cepat, tapi pria itu hanya tertawa.

Note : Gaes, kalau punya keluarga kayak Ajeng bakal kalian apain ya?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status