"Apa keluhannya, Mbak?" tanya dokter Maria sambil mengeluarkan stetoskop.
"A-anu, Dok. Sebenarnya tadi saya bohongan. Saya cuma kesal, sakit begini masih saja kena marah. Kan saya tertekan, Dok!" ujarku yang seketika membuat Dokter Maria mengkerutkan kening. Ia menempelkan stetoskop pada dadaku.
"Maaf ya, Dok. Saya jadi ngeprank anda!" ucapku jujur.
Dia tersenyum, menurunkan stetoskop dari telingga. Suster tadi juga masih ada di sini. Mungkin dia sedikit dongkol.
"Kalau alasannya seperti itu, saya tak apa-apa. Biar saya bantu untuk menjelaskan pada mereka jika kondisi Mbak tak boleh stres. Biar mereka tak semena-mena memperlakukan Anda."
"Terima kasih, Dok. Maaf ya, Sus."
"Iya, Mbak. Saya memaklumi. Saya juga tadi sempat dengar jika Ibu mertua Anda sedang menjelek-jelekan anda. Jadi saya tahu kalau anda memang butuh inisiatif untuk menghindarinya."
Tuh kan benar, ibu mertua memang begitu. Dia itu sebenarnya tak menyukaiku. Entah aku punya salah apa padanya.
"Ya sudah, istirahatlah. Nanti saya kasih obat agar kondisi Mbak segera pulih dan bisa kembali bertemu dengan anak Mbak."
"Terima kasih, Dok. Sudah banyak membantu."
"Oh ya, ini kartu nama psikiater teman saya. Siapa tahu anda membutuhkan nanti!" Kuterima sebuah kartu nama. Aku memasukannya kedalam saku agar nanti Bang Fardan tak melihatnya.
~~~
Mama sudah berada disini. Mengemasi apa yang akan di bawa pulang. Kata Mama Zia sudah ada di rumah bersama Wiwin. Bang Fardan masuk, dia telah mengurus administrasi. Tadinya Papa yang akan bayarkan, namun Bang Fardan menolak. Ia tetap ingin terlihat menjadi laki-laki yang bertangung jawab di hadapan orang tuaku.
Mobil memasuki garasi, rasanya damai sekali bisa kembali pulang kerumah tanpa tekanan apapun.
"Ayo, kita masuk!" Ajak Mama. Aku mengandeng tangannya layaknya anak kecil yang sedang bermanja.
"Zia ...." Panggilku dan langsung berjalan kearah Wiwin yang tengah mengendong Zia.
Kucium pipi bayi mungilku. Rasa rindu membuncah. Aku mengambil alih mengendong Zia. Kubawa ia masuk kekamar.
"Mel! Nanti bawa kekamar Mama kalau kamu kecapaian!" ucap Mama saat aku menuju kamar.
"Iya, Ma."
Kuletakan bayi mungil itu di tempat tidur, kemudian mencoba memberinya asi. Namun, entah kenapa Zia malah rewel dan ngga mau menyusu.
"Ada apa, Mel? Kok Zia nangis?" tanya Mama yang baru saja masuk.
"Entah, Ma. Mau aku susuin malah nangis kejer gitu!"
"Ya sudah coba lagi!"
Aku mengangkat Zia, kali ini aku menyusui dengan duduk. Tapi kembali baru setengah menit Zia nangis.
"Sepertinya dia nangis karena ASI-mu ngga keluar. Coba kamu pencet sendiri!"
Aku mengikuti saran mama, benar apa yang Mama katakan jika ASI-ku tak keluar sama sekali. Itu yang membuat Zia nangis karena merasa kesal.
"Ma ...." Mataku mulai berkaca-kaca. Bagaimana aku bisa seperti ini. Artinya aku tak bisa lagi menyusui Zia.
"Sudah jangan sedih. Kan masih bisa di kasih susu sambung." Mama berusaha membuatku tak sedih tapi tetap saja di hatiku menyimpan rasa sedih yang teramat. Tak ada lagi momen saat Zia tengah menyedot dan aku mengelus pucuk kepalanya. Rasanya saat itu ikatan batin mulai terikat.
"Ya sudah, Zia bawa mama. Kamu buatkan susu dulu!" Perintah Mama aku mengangguk dan langsung keluar menuju dapur.
Kuayun-ayunkan Zia. Dia tengah menghabiskan susunya di botol. Ini hari ketujuh aku di rumah Mama. Aku masih betah dan berharap Bang Fardan tak menjemputku. aku ingin di sini saja selamanya.
"Mel! Fardan dan Ibu mertuamu datang!" Mama memberitahu. Aku langsung menunduk. Ingin berkata jika aku tak mau pergi, namun aku masih harus menutupi apa yang terjadi. Selama ini Bang Fardan tak pernah ada cela, mana mungkin mereka percaya begitu saja saat aku katakan hal ini. Apalagi dulu bang Fardan tinggal disini lebih dari dua tahun.
"Loh ...loh! Kok pake susu formula?" tanya mertua yang baru saja masuk kedalam kamar bersama Bang Fardan. Aku bergeming. Mama sepertinya keluar untuk membuatkan minuman.
"Bang! Aku masih mau disini, aku ...."
"Loh, Mel. Kok kamu begitu! Dzolim sama suami itu namanya. Kasian Fardan kalau kamu begini terus!" ucap Ibu mertua menyela, aku membuang muka.
"Mel!" Bang Fardan menyentuh pundakku,"apa kamu tak kasian pada Zia. Dia jauh dari ayahnya. Bagaimana kalau gedenya nanti dia ngga lengket sama ayahnya. Justru lengket sama Omanya?"
Aku membuang nafas. Ada benarnya yang di katakan Bang Fardan tapi aku masih merasa trauma akan hal yang terjadi.
"Tapi, janji ya ... Aku belum mau melakukan itu lagi!" ucapku memohon.
"Baik, Abang janji. Abang akan tunggu sampai kamu benar-benar siap."
Aku mengangguk. Ibu mertua keluar entah kemana. Aku membereskan barang-barang yang perlu. Mengemasi barang milik Zia dan semua perlengkapannya. Bang Fardan membantu memasukan baju-bajuku kedalam koper kecil.
Saat Bang Fardan meraih dompet, ternyata dalam posisi terbuka hingga isinya separuh keluar termasuk kartu nama psikiater.
"Ini?" Bang Fardan menunjukan kartu nama itu padaku. Jantungku berdegup kencang. Apa Bang Fardan akan marah padaku?
Aduh! Aku harus jawab apa? Bagaimana jika aku jujur tentang kelainan yang ia alami sedang kucarikan solusi.
===®®®®===
"Zia, Ma. Zia ...." Amel meraung. Ia tak sanggup saat tadi mendengar jerit tangis pilu anaknya. Lira menelfon Amel dengan menunjukan jika sekarang Zia tengah di siksa karena ulah ayahnya.Lira tak terima di permainkan. Ia mengancam akan membuang Zia kejurang jika Fardan tak mau membayar ganti rugi, atau menikahinya."Amel, yang kuat. Kamu jangan seperti ini!" tentu Riana bingung. Ia sangat takut jika Amel kambali kambuh seperti dulu."Wiwin, Hera!" Riana memanggil orang yang ada di rumah.Bergegas mereka datang dan memapah Amel masuk kedalam rumah."Ambilkan air minum!" ujar Riana. Hera segera beranjak. Ia mengambil satu gelas air mineral."Minum dulu, Mel!" Riana menegakkan badan Amel."Ma, Zia, Ma! Dia di bawa Lira dan berujar akan di bunuh. Bahkan dia juga telah menyiksa Zia hingga dia menangis pilu. Amel ngga kuat!" Setelah mengatakan itu Amel tak sadarkan diri. Telinganya masih berdering suara jerit tangis Zia.Sementara itu, Sanusi kehilangan jejak penculik, dan kehilangan arah
"Mel!" Fardan masuk keruangan. Terlihat Amel dan dokter Maria tengah menggotong Lira yang pingsan."Kok sampai pingsan?" tanya Fardan heran. Sedangkan Amel dan Dokter Maria serius."Maaf ya, Dok. Sudah merepotkanmu!" Amel merasa tak enak. "Sebenarnya ini sudah menyalahi prosedur. Tapi, saya niatkan untuk menolong. Insya Allah tak apa-apa." Dokter Maria tersenyum."Terima kasih banyak, Dok." Fardan tersenyum. Mereka menunggu sampai Lira tersadar."Lira!" ucap Fardan saat Lira tengah memijit keningnya. Mengingat apa yang terjadi pada dirinya sampai berapa disana."Kamu sudah sadar?" Fardan memegang tangan Lira. Seketika Lira teringat akan apa yang membuatnya pingsan."Jangan sentuh aku!" "Loh, kenapa? Amel sudah ikhlas aku menikah denganmu. Kita akan menikah secepatnya ya!" Fardan lebih mendekat pada Lira.Lira menepis tangan Fardan. Ia ketakutan. Bayangan dirinya di siksa oleh Fardan membuat ia bergidik ngeri. Jangan sampai aku jadi pelampiasan nafsu brutalnya. Pantas Amel sampai gil
Iryani merasakan dadanya sakit. Sudah dua hari ini ia hanya bisa duduk di tempat tidur. Sedangkan Fardan sibuk mengintai keberadaan Roy. Belum ada kabar dari Wiwin tentang permintaan Wiwin yang ingin bertemu dengan Roy.Hari beranjak sore, Farah yang sudah beberapa Minggu mengurung diri dirumah, tentu merasa jenuh. Ia berniat untuk sekedar jalan-jalan didepan rumah. Perutnya yang buncit ia tutupi dengan dress panjang dan longgar.Tanpa Farah sadari, ia tengah di intai oleh seseorang dari kejauhan. Dengan mata elangnya ia mengamati setiap gerak laangkah Farah.Tiba saatnya Farah menyebrang, sebuah mobil menghantam tubuhnya hingga tersungkur. Ia terkulai di jalan raya hingga tak sadarkan diri."Tolong! Tolong ...." Teriak beberapa orang yang tengah ada di depan taman. Segera orang berkerumun. Darah segar mengalir dari jidatnya dan kakinya juga terlihat darah mengalir. Segera Farah dibawa kerumah sakit.Fardan yang masih di kantor, dapat telfon dari tetangga. Sedangkan Iryani, dadanya m
Iryani terduduk lemas, ia tengah mengatur nafasnya agar normal kembali. Jantungnya berpacu dengan keras membuat sakit di dada sebelah kiri.Ia tengah bimbang, di hadapankan pada dua pilihan yang sulit. Bagai nemu buah simalakama. Maju kena mundur apa lagi?Fardan duduk dengan menyenderkan tangannya pada dengkul. Ia kesal karena ulah ibunya, ia harus menanggung malu dan sekarang harus rugi."Ini semua salah Ibu!" Fardan mengusap wajahnya kasar. "Dari masalah Amel, sekarang masalah Lira! Semua karna Ibu!" Fardan berdiri, meninggalkan Ibunya yang masih terus memegangi jantungnya. Ia sudah muak dengan semua ulah yang dilakukannya.Masalah Farah yang belum menemui titik terang saja membuat beban mental tersendiri. Kali ini harus ditambah ulah Lira yang nyatanya berhati iblis. Tentu membuat Iryani makin kesulitan untuk dapat bernafas dengan lega. Wanita yang seharusnya hidup damai di hari tuanya justru makin membuat ia tertekan.~~~Fardan menemui Wiwin. Ia ingin tahu pasti di mana rumah R
Roy memapah Wiwin menuju mobil, ia sedikit kesusahan. Saat tengah memapah menuju mobil. Fardan menabrak lengan Wiwin karena tak fokus. Fokusnya kedepan pada orang yang tengah duduk di kafe."Maaf!" Fardan memegang pundak Wiwin. Rambut Wiwin yang tergerai menutupi wajahnya hingga Fardan tak mengenali. Namun, ia tersentak dengan baju yang di gunakan."Amel!" Ia menyebut nama Amel. Membuat Roy seketika menoleh. Mata Roy dan Fardan beradu. Fardan sadar dengan orang yang ia cari. Dia sekarang ada di hadapannya."Kamu!" Fardan langsung menarik tangan Roy, hingga Roy melepaskan Wiwin."Aduh!" Wiwin mengaduh saat jidatnya membentur lantai.Tentu Fardan menoleh, kesempatan itu di gunakan Roy untuk melarikan diri. Fardan ingin mengejar Roy, tapi ia tak tega melihat wanita yang jatuh terjerembab tadi."Kamu ngga papa, Mbak?" Fardan mengangkat bahu Wiwin yang setengah sadar. "Wiwin!" Fardan kaget, saat rambut Wiwin tersibak dan mendapati jika ternyata adik iparnya yang ikut jadi korban Roy.Seg
"Silahkan masuk, Pak!" Fardan mencium tangan mertuanya."Silahkan duduk, tak perlu segan." Kembali Fardan berucap karena melihat Sanusi yang tengah mengamati rumah."Tentu, buat apa segan di rumah anak sendiri!" Sanusi menjawab dengan melirik Iryani yang berdiri tak jauh dari Fardan."Bagaimanapun, rumah ini milik Amel juga. Masih ada haknya. Kamu tak lupa kan, Dan. Dengan uang siapa rumah ini akhirnya lunas kebeli?" Sanusi sengaja menekankan kata di akhir. Ia ingin Ibu Fardan tahu diri."Ten-tentu, Pak. Saya juga tak pernah mengaku jika ini rumahku. Ini rumah Zia. Rumah anakku." Fardan akhirnya berucap demikian. Ia malu dengan apa yang baru saja di sindiran oleh Sanusi."Bagus memang harus begitu, jangan main ambil. Kalau kamu memang butuh mobilmu! Ambil siang dengan baik-baik. Jangan jadi pencuri!" Sanusi langsung menuju pokok permasalahan. Iryani salah tingkah, ia kemudian memilih untuk meninggalkan tempat itu."Bu! Mau kemana? Tak usah buatkan saya minuman!" ujar Sanusi. Ia tahu
"Apa benar yang di katakan Dokter Maria tentang Fardan, Mel?" tanya Riana saat mereka sudah berjalan pulang. Amel mengangguk. Amel sebenarnya senang melihat Fardan mau untuk konseling tapi mengingat Iryani yang Keukeh akan menikahkan suaminya untuk wanita lain, Amel memilih menjauh. Tak ingin untuk berdamai, ia takut hatinya kembali hancur."Kenapa kamu tak cerita sama Mama untuk masalah ini, Nak?" Riana sedih."Ini masalah yang sangan intim. Mana mungkin aku cerita, Ma.""Kamu itu! Selalu bisa menjaga apa yang harus di jaga. Tapi, seharusnya masalah seperti ini kamu juga bisa lebih terbuka sama mama!"Amel menghela nafas. Mana mungkin dia membuka hal tentang tentang urusan ranjang."Sudah ya, Ma. Sekarang Mama sudah tahu. Jaga agar sampai Papa tahu!" cicit Amel.Riana terdiam, dia sebenarnya sudah berencana untuk cerita sama Sanusi tapi kalau sudah begini?"Iya, Mel. Kamu tenang saja." Obrolan berakhir karena tepat sudah sampai didepan rumah. Setelah turun taxi kembali melaju."Kamu
Fardan sudah terlelap dalam mimpi, bahkan tak mendengar sama sekali saat notifikasi HPberbunyi beberapa kali. Dari Imron, seorang yang sudah Fardan suruh untuk mengabari dirinya ketika yang di sebut Ketua datang. Tentu tidak gratis. Semua ada imbalannya dan itu yang di janjikan oleh Fardan.Hingga subuh menjelang, saat matahari mulai merambah dari ufuk timur. Baru Fardan tersadar dalam mimpinya."Sudah pagi!" Fardan mengeliat. Ia meraih HPnya yang tengah ia changer."Ketua datang!" Fardan langsung duduk dari terbaring. Ia langsung menepuk jidatnya. Merasa menyesal karena terlelap tidur. Fardan langsung menelfon nomor yang semalam mengirim pesan. Namun sudah tak aktif. Ia kesal karena telah lalai mendapat kabar atas orang yang tengah ia cari selama ini.~~~"Roy!" Panggil Wiwin saat tengah Roy akan naik keatas."Eh, Win. Gimana udah sehat?" tanya Roy dengan tersenyum."Alhamdulilah, bisa kamu lihat sekarang!" Wiwin tersenyum, "makasih ya, sudah datang kerumah."Wiwin tersipu, dalam ha
"Kamu kenal, Win?" tanya Sanusi. Wiwin tak mendengar ia langsung turun dan menemui laki-laki yang kemarin sempat adu otot itu."Hai, Win! Maaf, aku datang kesini karena nomor kamu susah di hubungi. Aku kesini hanya ingin minta maaf atas kejadian kemarin." Roy berkata pada Wiwin yang sudah berdiri tegak didepannya."Untuk apa? Aku merasa tidak ada hal apapun yang perlu di bahas!" Wiwin berprinsip."Siapa, Win. Teman kamu ya?" tanya Riana dengan tersenyum kepada Roy.Wiwin diam."Iya, Tante. Kami satu Universitas. Hanya beda jurusan saja." Roy berkata dengan sopan."Oh ... Ajakin masuk dong, Win. Kasian pasti sudah menunggu lama!" ujar Riana.Wiwin tak mendengarkan, "maafmu sudah aku terima. Pulanglah!" Wiwin berlalu meninggalkan Roy."Win!" Riana memanggil. Namun, tak diindahkan."Maaf ya, Nak. Wiwin kondisinya sedang tak baik. Jadi harap maklum. Dia baru saja pulang dari RS." Riana berusaha membuat Roy tak tersingung dengan sikap Wiwin."Iya, Tan. Terimakasih, maaf sekali lagi. Oh ya,