Share

Perdebatan

"Ini?" Bang Fardan memegang kartu nama yang di beri Dokter Maria. Aku harus tenang.

"Kenapa, Bang?" tanyaku, kubuat sesantai mungkin.

"Ini ngapain kamu simpan kartu nama Psikiater?"

"Oh, itu. Kemarin Dokter Maria yang ngasih, dia bilang temannya prakter dan memberikan aku kartu nama itu. Siapa tahu butuh konseling katanya." Aku menjawab dengan sedikit di bumbui kebohongan. Belum saatnya aku cerita. Aku akan pelan-pelan membujuknya nanti. Mencari jalan keluar untuk masalahnya.

"Tapi ...."

"Bang, sekarang itu, psikiater bukan cuma untuk konsultasi orang gila. Cakupannya luas, kita punya masalah hutang, masalah keluarga atau masalah dengan orang lain. Kita bisa konseling ke psikiater. Biar hati dan pikiran kita lebih legowo dan kita di jauhi dari rasa stres berlebih." Aku mencoba menjelaskan. Bang Fardan terlihat hanya bergeming.

"Ayo! Kalian sudah siap?" tiba-tiba Ibu mertua datang dengan mengendong Zia.

"Udah, Bu. Ayo, Mel. Pamit sama Mama!" Aku melangkah dengan enggan. Sebenarnya masih setengah hati aku untuk pulang kerumah sendiri.

"Ma, Amel pulang ya!" Kupeluk Mama dengan erat dan terisak.

"Loh, loh! Kok nangis, Kamu cuma mau pulang kerumah sendiri loh! Ngga pergi jauh." Mama tak mengerti apa yang tengah aku rasakan.

"Ah! Iya, Mel. kamu itu kaya anak kecil ditinggal kondangan saja!" Cibir Ibu mertua. Aku makin menangis dalam pelukan mama.

"Udah, udah ya, Sayang. Malu tuh sama Zia. Dia juga terlihat senang." Aku melepaskan pelukan. Kemudian menyeka air mata.

"Nanti Mama akan sempatkan main kalau punya waktu sengang ya, Mel." Mama mengelus rambutku. Aku berjalan menuju mobil.

"Di maklumi ya, Bu. Amel itu memang manjanya ngga ketulungan. Beda sama adiknya Wiwin yang justru lebih dewasa." Mama berucap pada Ibu Mertua namun aku masih bisa mendengar.

"Iya, Bu. Saya pamit ya!" Ibu Mertua terlihat bersalaman. Aku menaiki mobil dan duduk di depan. Ibu dan Zia duduk di jok belakang.

Mobil mulai melaju, perjalanan rumahku dengan rumah Mama hanya sekitar setengah jam saja.

"Kenapa sekarang Zia minum susu formula si, Mel. Kamu ngga mau nyusuin? Dasar malas!" Ibu mertua mulai penyakitnya. Aku enggan untuk berdebat tapi kalau tak di kasih tahu pasti dia akan terus saja mengoceh.

"Bu, kemarin itu saat aku pulang dari rumah sakit. ASI-ku kering, Zia nangis terus. Bukan aku yang malas!" cicitku. 

"Alah! Alasan saja. Lihat tuh istrimu, sekarang ngga mau nyusuin, besok ngga mau ngasuh. Ibu yang di perbudak. Jadi baby sitter sekaligus pembantu di rumah anak sendiri!" Cerocos Ibu.

"Bang!" Aku memangil Bang Fardan yang dari tadi diam saja.

"Udahlah, Bu. Mungkin benar yang di katakan Amel. Jika ia ASI-nya kering. Jangan di buat masalah ya, Bu. Itu masih bisa di Carikan solusi." Akhirnya Bang Fardan mau memberi pengertian pada Ibunya.

"Bela terooosss!" Ibu ngegas. Aku memilih diam. Walau dalam hati tetap sakit mendera. Aku harus lebih sabar.

Segera aku memasukan semua yang kubawa kedalam rumah. Cukup banyak karena keperluan Zia. Memang saat kesana aku tak banyak bawa barang. Tapi Mama yang hampir tiap hari membelikan keperluan. Mulai dari baju, diapers sampai mainan.

"Bang! Besok antar beli lemari kecil buat tempat pakaian Zia ya!" ucapku saat tengah berberes.

"Iya, abis pulang kerja aja tapi." 

"Iya."

Zia terdengar menangis, aku bergegas menuju di mana Zia diletakan. Bang Fardan justru pergi keluar.

Kutimang-timang, namun tangisnya tak kunjung berhenti.

Mungkin dia lapar! Pikirku. Bergegas aku letakan kembali Zia. Saat akan membuat susuz ternyata tak ada air hangat hingga memaksaku untuk merebus air dulu.

"Cepatlah mendidih!" Batinku melihat air yang sedang kudidihkan. Nyatanya justru seperti lama sekali, bahkan tangis Zia makin kencang.

Aku bergegas membuat susu, dan langsung lari kedalam saat tangis Zia belum juga reda.

"Kamu bagaimana si, Mel. Anak nangis sampai biru begini!" Ibu kembali menyalahkan ku.

"Tadi buat susu dulu, Bu!" jawabku yang masih memegangi botol.

"Dasar tak pecus!" Cemoohnya sambil memberikan Zia padaku. Hatiku dongkol. Kuminumkan susu itu ke Zia tapi menolak, bahkan nangisnya lebih kencang.

"Diam, Sayang. Ini mama sudah buatkan susu!" ujarku sambil terus mengayun-ayunkan.

"Kenapa masih nangis!" Ibu kembali kekamar setelah sebelumnya keluar sesaat menyerahkan Zia.

Aku bergeming, fokus untuk menenangkan Zia.

"Ngompol itu atau ee. Diapers-nya penuh atau bajunya kena keringat!" Ibu masih terus saja berkata. Membuat aku tak fokus.

Entah apa yang Ibu lakukan pada Zia saat aku mengecek diapers-nya. Zia sampai nangis kejer.

"Ibu apakan Zia tadi?" tanyaku karena melihat Ibu seperti memasukan sesuatu pada baju Zia.

"Apa, itu tadi saya usapin pake minyak telon perutnya! Kamu pikir apaan? Sampai bentak-bentak Ibu!" 

Aku emosi, Ibu tak terima saat aku tanya. Memang di tangan Ibu tengah memegangi botol minyak telon.

"Sopan sama Ibu! Jangan main nuduh, kamu pikir aku akan mencelakainya! Dasar menantu durhaka! Jadi Ibu malas meyusui anaknya!" Ibu beranjak keluar, aku geram, stres melihat Zia yang menangis juga tersingung atas ucapan Ibu.

Susu kembali kutawarkan pada Zia tapi dia tetap menolak. Kulempar botol susu itu kepada Ibu! Aku kesal padanya! Kenapa mulutnya tak ada saringannya!

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status