"Ma, kalau aku pulang kerumah Mama bagaimana?" Akhirnya apa yang tercengkal di tenggorokan keluar juga. Kulirik Bang Fardan dengan ekor mata. Dia nampak kesal.
"Loh kenapa? Kamu kangen sama Mama. Dasar kamu itu! Sudah punya suami, sudah punya anak bahkan sudah punya rumah. Masih saja minta di kelonin mamanya!" ucap Mama. Memang selama ini Mama memandang Bang Fardan merupakan suami idaman. Disamping tangung jawab dia juga perhatian kata mama. Mama tak pernah tahu tentang urusan ranjang yang tengah membuatku sampai tergolek.
"Duh, kamu bagaimana si, Mel. Kan dirumah juga ada Ibu. Kenapa malah minta pulang!" Kali ini Ibu mertua bersuara. Dia memang selalu bisa mencari muka.
"Biar, Bu. Gantian saya yang mong-mong cucu dulu. Besok gantian lagi, ngga papa kan, Dan?" tanya Mama pada Bang Fardan yang membuat dia tersentak. Mungkin dia kaget karena entah tengah melamun apa.
"Bo-boleh, Bu. Tapi jangan lama-lama nanti aku kangen sama Zia. Seminggu saja ya, Mel!" ucap Bang Fardan. Aku mengangguk lemah.
Bingung untuk bercerita pada Mama. Beliau dan Bapak terlalu percaya pada Bang Fardan atas apa yang telah ia buktikan. Bang Fardan memang lelaki yang gigih saat kami masih satu rumah dengan Mama. Dia selalu bisa mengambil hatinya dan aku pikir semua juga bisa kuhendle termasuk urusan ranjang. Namun ternyata aku salah! Kelelahan mengurus bayi dan rumah membuat saat malam hanya ingin beristirahat.
"Baiklah, kalau begitu saya mau jenguk Zia dulu." Pamit Mama. Memang Zia di bawa Farah--adik Fardan-- pulang kerumahku.
"Cepet sehat, besok Mama jemput!"
"Iya, Ma. Salam buat Zia. Aku kangen."
"Iya, Sayang. Mama papa pulang dulu!"
"Mbak cepet sehat ya!" ucap Wiwin yang berdiri pada ujung tempat tidur.
Setelahnya mereka bersalaman dengan Ibu mertua dan Bang Fardan. Ibu mertua ikut keluar mengantar Mama.
"Kenapa si, Mel, kamu harus minta pulang? Kan aku jadi merasa tak enak. Merasa jika kamu tak betah di rumah sendiri karena Ibu!" Bang Fardan mulai berkomentar. Aku memilih diam.
"Kamu itu sama Ibu yang akur! Dia itu sebenarnya baik kalau kamu bisa bersikap sedikit sopan dan menghargai!" Kembali Bang Fardan membuat aku kesal.
"Bang! Cukup ya, jangan bawa-bawa masalah ini dengan selalu membela ibumu! Kamu itu selalu saja membela ibumu walaupun dia salah. Jadi anak ibu saja terus!" Celotehku kesal.
"Bukan begitu, kamu kan tahu aku anak laki-laki nya. Sudah jelas surgaku ada padanya. Mana ada aku bela kamu yang hanya istri!" Jawaban Bang Fardan membuat aku tahu jika memang dia tak pernah berpihak padaku.
"Aku memang hanya istrimu! Tapi aku juga ibu dari anakmu! Sepantasnya kamu membela yang benar bukan berat sebelah." Emosiku memuncak.
"Aku hanya minta kamu mengalah jangan berdebat dengannya! Apa itu kamu artikan dengan berat sebelah?" Bang Fardan tak mau kalah. Dia kekeh jika ibunya lah yang harus di utamakan.
"Cukup, Bang! Jangan ajari aku untuk mengalah pada ibumu. Nyatanya dia yang selalu memancing emosiku!" Aku memiringkan tubuh, memungungi Bang Fardan. Tak lama ibu kembali masuk.
"Kamu itu bagaimana si, Mel! Kenapa pake acara pulang kerumah Ibumu! Mau membuktikan bahwa Fardan tak mampu membahagiakanmu atau ...."
"Cukup, Bu!" Kupotong ucapan Ibu mertua sebelum merambah kemana-mana.
"Kamu memang egois, Mel. Di mana letak kamu menghargai anakku. Istri ya harus di rumah suami! Bukan malah pulang kerumah Ibumu dan suamimu kamu telantarkan!" Ternyata mulut Ibu mertua tak bisa di rem.
"Kan masih ada Ibu! Ibu bisa kan mengurusnya sementara waktu sampai aku sembuh!" Kali ini aku kembali membalikan badan. Menatap lurus keplafon. Kesal dan dongkol.
"Dasar istri durhaka! Tega-teganya menyerahkan urusan suami pada orang tuanya!"
"Aduh! Aduh, Bang! Panggilkan suster. Perutku sakit lagi dan sepertinya darah keluar lagi." Aku meraba tangan Bang Fardan. Secepat kilat Ibu mertua menjauh dan keluar. Dia sudah tak lagi berkata apa-apa.
"Iya, Mel. Aku panggilkan dokter!" Bang Fardan juga tergoboh keluar. Ia mulai panik dan kalang kabut saat aku bilang jika darahku keluar lagi.
Tak lama suster datang. Aku tertawa cekikikan. Membuat seorang suster yang membawa stetoskop dan sahabatnya bingung.
"Tadi katanya Mbak kesakitan?" tanya suster itu. Aku berhenti tertawa kemudian menatap suster itu.
"Maaf ya, Sus. Saya ngeprank kamu. Abis aku bosen dengan ocehan Ibu Mertua. Lelah berdebat."
Tak lama dokter datang bersama Bang Fardan.
"Tolong istri saya, Dok! Dia kesakitan." Raut panik Bang Fardan jelas terlihat.
"Baik saya periksa dulu! Lebih baik, Mas tunggu di luar saja!"
Bang Fardan keluar, aku merasa menang telah mengerjai Ibu mertua dan Bang Fardan. Agar tak lagi mengoceh dengan hal yang membuatku makin tertekan.
===®®®===
"Zia, Ma. Zia ...." Amel meraung. Ia tak sanggup saat tadi mendengar jerit tangis pilu anaknya. Lira menelfon Amel dengan menunjukan jika sekarang Zia tengah di siksa karena ulah ayahnya.Lira tak terima di permainkan. Ia mengancam akan membuang Zia kejurang jika Fardan tak mau membayar ganti rugi, atau menikahinya."Amel, yang kuat. Kamu jangan seperti ini!" tentu Riana bingung. Ia sangat takut jika Amel kambali kambuh seperti dulu."Wiwin, Hera!" Riana memanggil orang yang ada di rumah.Bergegas mereka datang dan memapah Amel masuk kedalam rumah."Ambilkan air minum!" ujar Riana. Hera segera beranjak. Ia mengambil satu gelas air mineral."Minum dulu, Mel!" Riana menegakkan badan Amel."Ma, Zia, Ma! Dia di bawa Lira dan berujar akan di bunuh. Bahkan dia juga telah menyiksa Zia hingga dia menangis pilu. Amel ngga kuat!" Setelah mengatakan itu Amel tak sadarkan diri. Telinganya masih berdering suara jerit tangis Zia.Sementara itu, Sanusi kehilangan jejak penculik, dan kehilangan arah
"Mel!" Fardan masuk keruangan. Terlihat Amel dan dokter Maria tengah menggotong Lira yang pingsan."Kok sampai pingsan?" tanya Fardan heran. Sedangkan Amel dan Dokter Maria serius."Maaf ya, Dok. Sudah merepotkanmu!" Amel merasa tak enak. "Sebenarnya ini sudah menyalahi prosedur. Tapi, saya niatkan untuk menolong. Insya Allah tak apa-apa." Dokter Maria tersenyum."Terima kasih banyak, Dok." Fardan tersenyum. Mereka menunggu sampai Lira tersadar."Lira!" ucap Fardan saat Lira tengah memijit keningnya. Mengingat apa yang terjadi pada dirinya sampai berapa disana."Kamu sudah sadar?" Fardan memegang tangan Lira. Seketika Lira teringat akan apa yang membuatnya pingsan."Jangan sentuh aku!" "Loh, kenapa? Amel sudah ikhlas aku menikah denganmu. Kita akan menikah secepatnya ya!" Fardan lebih mendekat pada Lira.Lira menepis tangan Fardan. Ia ketakutan. Bayangan dirinya di siksa oleh Fardan membuat ia bergidik ngeri. Jangan sampai aku jadi pelampiasan nafsu brutalnya. Pantas Amel sampai gil
Iryani merasakan dadanya sakit. Sudah dua hari ini ia hanya bisa duduk di tempat tidur. Sedangkan Fardan sibuk mengintai keberadaan Roy. Belum ada kabar dari Wiwin tentang permintaan Wiwin yang ingin bertemu dengan Roy.Hari beranjak sore, Farah yang sudah beberapa Minggu mengurung diri dirumah, tentu merasa jenuh. Ia berniat untuk sekedar jalan-jalan didepan rumah. Perutnya yang buncit ia tutupi dengan dress panjang dan longgar.Tanpa Farah sadari, ia tengah di intai oleh seseorang dari kejauhan. Dengan mata elangnya ia mengamati setiap gerak laangkah Farah.Tiba saatnya Farah menyebrang, sebuah mobil menghantam tubuhnya hingga tersungkur. Ia terkulai di jalan raya hingga tak sadarkan diri."Tolong! Tolong ...." Teriak beberapa orang yang tengah ada di depan taman. Segera orang berkerumun. Darah segar mengalir dari jidatnya dan kakinya juga terlihat darah mengalir. Segera Farah dibawa kerumah sakit.Fardan yang masih di kantor, dapat telfon dari tetangga. Sedangkan Iryani, dadanya m
Iryani terduduk lemas, ia tengah mengatur nafasnya agar normal kembali. Jantungnya berpacu dengan keras membuat sakit di dada sebelah kiri.Ia tengah bimbang, di hadapankan pada dua pilihan yang sulit. Bagai nemu buah simalakama. Maju kena mundur apa lagi?Fardan duduk dengan menyenderkan tangannya pada dengkul. Ia kesal karena ulah ibunya, ia harus menanggung malu dan sekarang harus rugi."Ini semua salah Ibu!" Fardan mengusap wajahnya kasar. "Dari masalah Amel, sekarang masalah Lira! Semua karna Ibu!" Fardan berdiri, meninggalkan Ibunya yang masih terus memegangi jantungnya. Ia sudah muak dengan semua ulah yang dilakukannya.Masalah Farah yang belum menemui titik terang saja membuat beban mental tersendiri. Kali ini harus ditambah ulah Lira yang nyatanya berhati iblis. Tentu membuat Iryani makin kesulitan untuk dapat bernafas dengan lega. Wanita yang seharusnya hidup damai di hari tuanya justru makin membuat ia tertekan.~~~Fardan menemui Wiwin. Ia ingin tahu pasti di mana rumah R
Roy memapah Wiwin menuju mobil, ia sedikit kesusahan. Saat tengah memapah menuju mobil. Fardan menabrak lengan Wiwin karena tak fokus. Fokusnya kedepan pada orang yang tengah duduk di kafe."Maaf!" Fardan memegang pundak Wiwin. Rambut Wiwin yang tergerai menutupi wajahnya hingga Fardan tak mengenali. Namun, ia tersentak dengan baju yang di gunakan."Amel!" Ia menyebut nama Amel. Membuat Roy seketika menoleh. Mata Roy dan Fardan beradu. Fardan sadar dengan orang yang ia cari. Dia sekarang ada di hadapannya."Kamu!" Fardan langsung menarik tangan Roy, hingga Roy melepaskan Wiwin."Aduh!" Wiwin mengaduh saat jidatnya membentur lantai.Tentu Fardan menoleh, kesempatan itu di gunakan Roy untuk melarikan diri. Fardan ingin mengejar Roy, tapi ia tak tega melihat wanita yang jatuh terjerembab tadi."Kamu ngga papa, Mbak?" Fardan mengangkat bahu Wiwin yang setengah sadar. "Wiwin!" Fardan kaget, saat rambut Wiwin tersibak dan mendapati jika ternyata adik iparnya yang ikut jadi korban Roy.Seg
"Silahkan masuk, Pak!" Fardan mencium tangan mertuanya."Silahkan duduk, tak perlu segan." Kembali Fardan berucap karena melihat Sanusi yang tengah mengamati rumah."Tentu, buat apa segan di rumah anak sendiri!" Sanusi menjawab dengan melirik Iryani yang berdiri tak jauh dari Fardan."Bagaimanapun, rumah ini milik Amel juga. Masih ada haknya. Kamu tak lupa kan, Dan. Dengan uang siapa rumah ini akhirnya lunas kebeli?" Sanusi sengaja menekankan kata di akhir. Ia ingin Ibu Fardan tahu diri."Ten-tentu, Pak. Saya juga tak pernah mengaku jika ini rumahku. Ini rumah Zia. Rumah anakku." Fardan akhirnya berucap demikian. Ia malu dengan apa yang baru saja di sindiran oleh Sanusi."Bagus memang harus begitu, jangan main ambil. Kalau kamu memang butuh mobilmu! Ambil siang dengan baik-baik. Jangan jadi pencuri!" Sanusi langsung menuju pokok permasalahan. Iryani salah tingkah, ia kemudian memilih untuk meninggalkan tempat itu."Bu! Mau kemana? Tak usah buatkan saya minuman!" ujar Sanusi. Ia tahu