"Kenapa Anda tidak ketuk pintu dulu? Tuan Dave pasti tahu sopan santun bukan? Tidak boleh masuk ke dalam kamar orang lain dengan sembarangan." Protes Amber dengan kesal.
"Ini rumahku, jadi aku berhak melakukan apapun di dalam rumahku."jawab Dave tak mau disalahkan. Gadis cantik itu mengatupkan bibirnya. Dibalik pesona Dave yang sulit ditolak, Amber lebih fokus pada sikap kasar pria itu. Rasa takutnya lebih besar daripada pesona Dave itu sendiri. "Ada apa Tuan?" Amber yang sudah memakai bathrobenya lahi kini berdiri di hadapan Dave. Dia tidak ingin berdebat panjang dengan Dave. "Lain kali, ketika aku pulang kerja, kamu harus bergabung dengan pelayan lain untuk menyambutku." Dave menjelaskan maksud kedatanganya ke kamar ini. Amber tergugu. Ia merasa peraturan di rumah ini terlalu berlebihan. Ia membayangkan berada di dalam kastil kerajaan dimana seorang raja diperlakukan dengan begitu agung oleh bawahannya. Tanpa sadar Amber mencebik. Baru kali ini ia melihat manusia gila hormat seperti Dave. "Kenapa ekspresimu seperti itu?" Pertanyaan Dave membuat Amber kembali ke alam nyata. Ia baru sadar kalau Dave masih ada di sana. Gadis itu pun terlihat panik melihat kemarahan di wajah Dave. "Kamu berani mencibirku?" Dave menghampiri Amber dan mendorong tubuh gadis itu ke arah tembok di belakangnya. Tatapannya begitu tajam seperti pisau yang siap menguliti Amber. "Ti—tidak Tuan, mana berani saya melakukan itu." Amber ketakutan. Tubuhnya menabrak dinding hingga ia tidak bisa lagi bergerak. kedua tangan Dave kini mengungkungnya. "Jangan pernah menampakkan sikap seperti itu lagi di depanku, mengerti?" Dave menatap Amber dengan tatapan mengintimidasi. "I—iya Tuan, saya tidak akan mengulanginya lagi." Suara Amber bergetar saat mengatakan hal itu. "Bagus." Dave menyeringai tipis. "Ada satu hal yang ingin aku katakan padamu Amber." "A—apa itu Tuan?" *** Amber melongo saat Dave mengajaknya pergi ke kantor catatan sipil. "Kita akan menikah." Begitu kata Dave saat Amber bertanya. Ini gila. Apa dia kira menikah adalah hal yang bisa dilakukan dadakan seperti ini? "Tidak Tuan Dave yang terhormat, perjanjian kita hanya sebatas menjadi menjadi kekasih pura-pura. Bukan untuk menikah seperti ini." Amber menghentikan laju langkahnya. Gadis itu memasang wajah marah. "Oh, ayolah Amber,. pernikahan inipun hanya pura-pura. Kalau bukan karena terpaksa akupun tidak ingin menikah denganmu." Dave memutar bola matanya. "Tapi Tuan..." Amber kehabisan kata-kata untuk membantah Dave. "Jangan membantah Amber aku sudah membayarmu dengan sangat mahal. Satu juta dolar sudah lebih dari cukup untuk melakukan sandiwara ini." Dave kini memutar badannya menatap Amber yang masih belum terima dengan permintaan Dave tersebut. Amber mengerutkan keningnya. Dave sudah gila. Seburuk apapun, dia tidak pernah berpikir untuk menjadikan pernikahan sebagai sebuah permainan. Bagi Amber pernikahan adalah hal yang sakral dan sebuah janji suci di hadapan Tuhan. "Dave, aku tetap tidak mau. Aku mau pulang." Amber membalik badannya, ia tak ingin melanjutkan permainan ini. "AMBER!!! Selangkah lagi kamu pergi, aku minta semua uang yang sudah aku berikan, kamu kembalikan padaku!" teriak Dave yang langsung membuat langkah Amber terhenti. Dave sialan! Lelaki itu memang benar-benar menyebalkan. Semua uang itu sudah Amber pakai untuk membayar hutang keluarganya. Tidak tersisa. satu sen pun. Amber mundur kembali menatap Dave dengan jengah. "Kamu menindasku Dave!" Amber berdecak. "Terserah apapun penilaianmu Amber. Aku tidak peduli." Dave menjawab dengan santai. Lelaki dengan penampilan mature itu berjalan lebih dulu memasuki kantor catatan sipil. Dan Amber, lagi-lagi karena uang ia harus rela kehilangan harga dirinya. Gadis itu akhirnya mengikuti Dave dari belakang. Acara pernikahan yang sangat sederhana untuk ukuran pria sekelas Dave. Namun Dave tampaknya tidak terlalu memikirkan hal itu. Setelah melakukan sesi foto untuk dicantumkan dibuku nikah, mereka pun akhirnya resmi menjadi pasangan suami istri. Amber masih tidak percaya kalau sekarang dirinya adalah istri dari Dave Oliver, pria terkaya di kawasan elite Kensington, Inggris. "Dave, tunggu!" Amber mengejar langkah Dave yang berjalan menuju mobilnya. Dave tidak menjawab dan hanya melirik sekilas ke arah Amber. "Apa pernikahan ini sengaja kamu lakukan untuk menutupi kekuranganmu? Apa kamu bahagia dengan mengelabui semua orang? Siapa sebenarnya pacarmu Dave?" Rentetan pertanyaan itu keluar dari mulut Amber tanpa jeda. "Pacar?" tanya Dave dengan sebelah alis terangkat. "Maksudku, pacar laki-lakimu." Amber menatap ragu. "Jangan kurang ajar Amber!" Tiba-tiba marah dan mencengkram rahang Amber dengan kencang. "Tidak... maksudku...." Amber menggigit bibirnya. Dia telah salah bicara dan membuat pria itu marah. "Masuk ke dalam mobil!" Titahnya tanpa ampun. Amber yang ketakutan dengan cepat masuk ke dalam mobil Dave. Lelaki itu menampakkan wajah marah dan hanya terdiam sampai mereka tiba di rumah. * * "Selamat datang kembali Tuan." Seluruh pelayan berkumpul seperti biasa untuk menyambut kedatangan Dave. Namun Dave tidak menggubris sapaan mereka. Wajah murungnya tertuju pada Amber yang memucat. "Sudah kubilang kalau aku tidak suka kamu menuduhku seperti itu Amber!" bentak Dave yang membuat seluruh penghuni rumah itu terdiam. Amber mengigit bibirnya lagi. Mati, dia telah membuat kesalahan lagi yang membuat Dave kalap. "Alfred!" Dave memanggil kepala pelayannya. "Iya Tuan." Alfred langsung maju menghampiri Dave dengan wajah tegang. Keringat membasahi kening pria itu. Tak ada yang bisa mengendalikan jika Dave sudah marah. "Bawa dia ke taman belakang dan pastikan untuk berlutut. Perempuan ini harus dihukum!" Perintah Dave membuat lutut Amber bergetar. Otak Dave benar-benar gila. Sudah tidak waras lagi dan celakanya pria gila itu kini sudah menjadi suaminya. "Baik Tuan." Alfred mengangguk hormat. "Dave, maafkan aku. Aku janji tidak akan menanyakan hal itu lagi." Amber berteriak histeris saat dua pelayan membawanya secara paksa ke taman belakang.Setelah beberapa hari menghabiskan waktu di pantai, Dave dan Amber memutuskan untuk kembali. Perjalanan pulang terasa sunyi, namun hangat. Ethan tertidur di jok belakang, sementara Amber duduk di depan di samping Dave yang menyetir.Sesekali mencuri pandang ke arah istrinya itu. Amber menangkap pandangan itu dan tersenyum tipis, lalu kembali menatap keluar jendela, membiarkan angin sore mengayun rambutnya yang tergerai."Aku senang sekali Sayang. Akhirnya kita bisa bersama lagi setelah bertahun-tahun berpisah. Kita bahkan seperti sepasang pengantin baru lagi. Apa kamu juga senang, Sayang?" tanya Dave sambil melirik ke arah Amber yang tersipu. "Apa masih perlu aku jawab? Kau tidak melihat ekspresiku? Kau juga tidak menyadari kalau selama liburan ini aku selalu patuh padamu dan melakukan apapun maumu termasuk menyerahkan diriku sepenuhnya padamu Dave?" Amber balik bertanya. "Hei, jangan terlalu banyak pertanyaannya. Aku jadi pusing, Sayang." Dave terkekeh pelan. Ia menatap gemas lalu
Malam perlahan turun. Lampu-lampu di resort menyala temaram, memantulkan cahaya hangat di antara rindangnya pepohonan dan semilir angin laut. Ethan sudah tertidur pulas setelah puas bermain seharian, sementara Amber duduk di sofa balkon dengan selimut tipis menyelimuti tubuhnya. Dave datang membawa dua cangkir teh hangat dan duduk di sebelahnya. Dia tidak langsung bicara, hanya memandangi wajah Amber yang tampak lelah, namun jauh lebih tenang dibanding beberapa hari terakhir. “Terima kasih,” ucap Amber lirih, menerima cangkir dari tangan Dave. Dave mengangguk, “Terima kasih karena sudah mau ikut ke sini.” Amber menatap lautan di depan mereka. “Kau tahu, aku takut. Takut kalau semua ini hanya akan mengulang luka yang sama.” Dave memutar tubuhnya sedikit agar bisa memandangi Amber lebih jelas. “Aku paham, Amber. Dan aku tak menuntut jawaban sekarang. Aku hanya ingin kau tahu… aku serius. Aku ingin memperbaiki semuanya. Demi kau dan Ethan.” Amber menggigit bibirnya, menahan gempu
Mobil berhenti di depan sebuah resort mewah di pinggir pantai. Angin laut membawa aroma asin yang menenangkan. Amber turun dari mobil dengan Ethan yang tertidur di gendongannya, sementara Dave membantu membawakan barang-barang kecil mereka."Tempat ini..." Amber bergumam begitu matanya menangkap pemandangan yang akrab.Dave tersenyum hangat, memperhatikan ekspresi wanita yang begitu dicintainya. "Masih ingat? Ini tempat kita bulan madu kita dulu."Amber menoleh padanya, matanya membulat sedikit. Tentu saja ia masih ingat. Ini adalah tempat di mana mereka berdua dulu tertawa, bercanda, dan bermimpi akan membangun keluarga kecil yang bahagia. Amber sempat berpikir tempat ini sudah terkubur bersama semua kenangan pahit mereka. Tapi kini, Dave membawanya kembali ke sini, seolah menghidupkan kembali semua kenangan itu."Aku sudah lama ingin membawamu ke sini," kata Dave pelan, mengambil tas dari tangan Amber. "Aku ingin kau ingat, betapa dulu kita pernah berjanji menjadikan tempat ini seb
Amber baru saja selesai mengantarkan pesanan ke meja pelanggan saat pintu restoran berdenting. Ia menoleh tanpa banyak pikir, dan jantungnya sontak berdegup kencang saat melihat siapa yang baru saja masuk.Dave.Dengan setelan santai namun tetap memancarkan kharisma, pria itu melangkah masuk, matanya langsung mencari keberadaan Amber. Ketika pandangan mereka bertemu, Amber seketika merasa seluruh dunia mengecil, hanya menyisakan dia dan Dave.Amber buru-buru memalingkan wajah dan pura-pura sibuk membereskan meja. Ia berharap Dave akan pergi. Tapi langkah berat Dave justru mendekat, dan sebelum Amber sempat menghindar, Dave sudah berdiri tepat di depannya."Amber," suara itu terdengar penuh emosi. "Kita perlu bicara."Beberapa karyawan dan pelanggan mulai memperhatikan mereka, bisik-bisik kecil terdengar di sekeliling. Amber merasa wajahnya mulai memanas. Ia menggeleng dengan cepat."Aku sedang bekerja, Dave. Pergilah," bisiknya ketus.Namun Dave tidak bergeming. Ia justru melakukan se
Dave menghela napas panjang di dalam mobilnya, tangannya mengepal erat di atas setir. Suasana di dalam kendaraan itu terasa sesak, seolah-olah udara tidak cukup untuk menahan beban di dadanya. Kilasan wajah Amber yang marah dan penuh luka terbayang terus di benaknya. Dave memejamkan mata, mencoba mengendalikan rasa frustrasinya.Ia harus melakukan sesuatu. Ia tidak bisa membiarkan Amber berjuang sendirian menghadapi tuntutan konyol dari ayahnya. Ia tidak akan membiarkan siapa pun mengambil Ethan dari Amber, anak yang bahkan baru saja diakuinya sebagai darah dagingnya.Telepon genggamnya bergetar di saku jaket. Dengan cepat, Dave mengangkatnya. Di layar tertera nama Julian."Dave, aku sudah mencari tahu," suara Julian terdengar tergesa. "Ayahmu sudah menyiapkan pengacara terbaik di kota ini untuk memenangkan kasus hak asuh Ethan."Dave mengumpat pelan. "Aku harus bertemu denganmu sekarang."Mereka bertemu di sebuah kafe kecil yang cukup sepi. Begitu Julian duduk, Dave langsung mengutar
Julian membuka pintu ruang kerja Dave dengan tergesa, napasnya sedikit memburu. Dave yang tengah menatap layar laptop langsung mengangkat kepala, alisnya bertaut ketika melihat ekspresi serius di wajah tangan kanannya itu. "Ada apa, Julian?" tanya Dave, nada suaranya tenang tapi tajam. Julian menelan ludah. "Dave, ini bahaya.""Ada apa?" tanya Dave dengan alis berkerut. "Tuan Martin baru saja melayangkan gugatan hak asuh anak terhadap Amber," jawab Julian dengan wajah tegang. "Apa?" Dave langsung berdiri, kursi kerjanya bergeser dengan kasar. “Aku baru saja mendapat informasi dari kenalanku di pengadilan. Gugatan itu resmi. Suratnya sudah dikirim ke rumah Nenek Rose.” Wajah Dave langsung mengeras. Matanya dipenuhi amarah yang tak terbendung. "Shit! Kenapa Papa berani-beraninya mencampuri urusanku dengan Amber dan Ethan?!” gumamnya geram."Tenang dulu Dave, kau bisa membicarakan hal ini baik-baik dengan Tuan Martin siapa tahu dia bisa menarik gugatannya kembali. Kau juga h