로그인Setelah pertemuan dengan Fabio, Bima tampaknya memiliki ide baru untuk mengkritik Rani. Sekarang, apapun yang Rani lakukan akan dianggap Bima sebagai upaya "mencari perhatian Fabio".
Rani sendiri bahkan jadi muak mendengarnya namun tentu ia tidak mau ambil pusing. Biarkan saja mulut Bima berkicau sepuasnya. "Kak, udah jam tiga. Gih, siap sana! Nanti kita telat ke acaranya Kak Fabio." kata Rani sambil mencuci wajan yang barusan dia pakai memasak. Bima yang baru bangun tidur menguap dengan lebar sambil memandang Rani malas. Tatapannya penuh curiga dan siap sedia mencari masalah. "Buru-buru banget! Kangen kah sama Fabio?" Heran Bima, menyindir Rani sambil menduduki kursi di meja makan. Rani menghela nafas berat. "Kak. Kan kakak sendiri yang minta biar gak telat, diingetin!" kata Rani penuh penekanan di akhir. "Alah! Alesan banget! Sengaja banget pengen ketemu Fabio." Bima membalas penuh tuduhan. Rani menjadi kesal. "Ya, sudahlah. Tidak usah pergilah, kita." Mendengar ancaman Rani, Bima tampak kesal. Tentu saja, Bima yang sangat inferior ini benci mengalah. "Palingan juga kamu yang siapnya lama. Masih harus ini lah, itu lah. Gak usah buat seolah aku yang lama deh. Aslinya, kamu aja yang gatel mau ketemu Fabio!" "Ya, sudah! Kubilang juga aku tidak usah ikut, kan? Begitu kan?" Rani memandang Bima dengan sorot kesal. Bima membanting gelas kaca di atas meja ke tembok, membuat gelas itu pecah dan hancur. Rani yang tadinya kesal langsung bungkam. "Berani kamu mengancamku?" Bima berteriak. Rani menghela nafasnya berat. Lagi dan lagi ia harus mengalah padahal dia tidak melihat ada kesalahan yang ia lakukan sama sekali. Ia menyuruh Bima untuk segera mandi karena Bima sangat suka mengulur waktu. Rani sudah sangat hafal sifat Bima sebab keterlambatan mereka akan dilimpahkan padanya terlepas itu karena Rani atau karena Bima seorang. Bima kemudian pergi sambil marah-marah ke dalam kamar. Rani bisa mendengarkan Omelan demi omelan dari mulut Bima. Inilah kenyataan dari pernikahan yang Rani impi-impikan. Tak lama kemudian, Bima keluar dengan tampilan lebih segar. Ia sudah selesai mandi dan berpakaian meskipun belum sepenuhnya. "Cepat siap! Awas aja kalau kamu lama!" kata Bima sambil lewat menuju kulkas. Rani sebenarnya sudah tak berselera ingin pergi namun Bima tampaknya tetap ingin Rani ikut. Alasannya, tentu saja karena Bima ingin memamerkan istrinya pada teman-temannya. Terutama, teman kuliah Fabio. Bima sadar penuh bahwa Rani adalah mahasiswi paling cantik dan cerdas di zamannya. Tentu, banyak teman Rani yang menginginkannya namun hanya Bima, seorang PNS lulusan SMA yang berhasil menggoyahkan hati Rani. Setidaknya, itu satu-satunya pencapaian Bima yang membanggakan dari antara teman-temannya yang kini sudah sukses menjadi sesuatu. Rani memandang Bima dengan kesal namun tetap diam saja. Ia kemudian menyusul Bima untuk mempersiapkan dirinya sendiri. "Buruan dandannya. Bikin telat aja." Kata Bima, melewati Rani yang sedang sibuk merapihkan dandanannya. Rani tidak bergeming. Bima akan mengungkit terus sampai ia puas karena kejadian tadi. Apapun yang membuat Bima kesal akan terus dibahas sampai dia muak. Selesai berdandan dan meyakinkan penampilannya, Rani keluar kamar dan langsung mengajak Bima pergi. "Ayo, Kak." Ajak Rani. "Sebentar, aku ganti sepatu dulu." Bima menyimpan ponselnya di meja lalu pergi mengambil sepatu. Rani memutar bola matanya. "Loh, Kak! Dari tadi aku siap kenapa gak langsung diganti?" keluhnya. "Ya, aku baru liat gak cocok! Kenapa? Mau protes?" balas Bima tidak mau kalah. Rani terdiam. Tak ingin memperkeruh masalah. Setelah Bima selesai mengganti sepatu. Ia mengganti bajunya lagi. Terus berulang begitu hingga dandannya berubah total. Inilah yang dimaksud Rani dari awal. Bima sangat mengulur waktu. "Udah ganti-gantinya?" kata Rani setengah menyindir. "Udah. Ayo, jalan." balas Bima merogoh saku untuk mencari kunci motornya. "Lihat kunci motor, gak?" lanjutnya bertanya. Rani menghela nafas. "Gak tahu, Kak. Yang biasa bawa motor kan kamu, kak." "Iya! Kamu lihat apa enggak!" balas Bima dengan nada tinggi. "Ya, enggak." "Ya, cariin dong, Ran! Mau pergi gak, sih?!" kesal Bima. Yah, inilah yang terjadi setiap mereka akan pergi ke acara apapun. Setelah lima belas menit mencari, Rani dan Bima menemukan kunci motor yang terletak di atas dispenser. Rani sangat kesal karena Bima terus marah-marah terutama padanya padahal yang salah adalah Bima. Apalah daya Rani selain menerima dan diam saja sebab jika Rani bersikeras, mereka mungkin berakhir membuat keributan. "Aku naik, ya." Kata Rani setelah Bima menyalakan motor. Sebelum kakinya naik, Bima menyuruhnya turun. "Tunggu! Aku mau buang air dulu." "Apa? Lagi?" Rani tampaknya sudah tidak tahan lagi. "Bentar, lah! Aku kebelet ini." kata Bima, sambil mematikan motor. "Kak, kita udah buang waktu selama sejam loh, ini. Sejam!" keluhnya, memandang Bima yang kembali ke dalam rumah. "Ya, emang kenapa? Udah gatel banget ya mau ketemu Fabio?" kata Bima sarkas pada Rani dengan menyindir. "Kunci!" pinta Bima. Rani merogoh tasnya untuk mengambil kunci rumah lalu melemparnya pada Bima. Rani sudah cukup lelah jika harus membahas segala sesuatu dengan Bima lagi. Setelah sepuluh menit, Bima kemudian muncul. Jujur saja, Rani sudah tidak ingin pergi namun tentu ia tak mungkin mengatakannya pada Bima yang pastinya akan mengamuk. "Ayo, kita pergi." Kata Bima, mengembalikan kunci rumah sambil langsung menyalakan mesin motornya.Mendengar itu, Fabio refleks menarik tangan Rani, berniat membawanya menjauh sebelum hal buruk terjadi. Namun Mira cepat menahan lengan Rani, langkahnya mantap seperti biasa.“Sebaiknya Ibu Rani saya antar pulang, Pak,” ucap Mira tegas, tatapannya lurus pada Fabio.Fabio ingin membantah. Ada ketidaksukaan yang jelas di wajahnya. Tapi ekspresi Mira yang serius—ditambah sifatnya yang jarang sekali bercanda—membuat Fabio sadar bahwa keadaan ini bukan hal remeh.Dengan berat hati, ia melepaskan genggamannya pada Rani.“Aku akan menemuimu,” kata Fabio lembut, suaranya seperti memohon.Rani buru-buru menggeleng. “Jangan,” tolaknya. Ia menggigit bibir sebelum melanjutkan, “Aku dengar, beberapa tetanggaku mulai menyadari keberadaan kamu. Maafkan aku, Kak. Tapi aku nggak yakin kita boleh bertemu untuk sementara waktu di rumahku.”Fabio mendesah panjang. Rasanya seperti seluruh dunia sengaja memisahkan mereka setiap kali ia mencoba meraih kebahagiaan.Mira kemudian menggiring Rani menuju mobil.
Mereka berhenti di depan sebuah rumah besar bergaya modern dengan bangunan yang tinggi, terasa dingin, dan cukup mengintimidasi. Halaman depannya saja tampak jauh lebih rapi dan mewah dibanding seluruh lingkungan tempat tinggal Rani. Mira turun lebih dulu, lalu membuka pintu mobil untuk Rani dengan gerakan anggun khasnya. Rani menatap pantulan dirinya di kaca mobil—daster lusuh, rambut dijepit seadanya. Ketidakpercayaan melintas di wajahnya. Ia menelan ludah, merasa kecil di hadapan bangunan semegah itu. “Kenapa kita ke sini?” tanyanya pelan, nyaris berbisik. “Anda akan tahu ketika masuk nanti,” jawab Mira, tak banyak ekspresi namun tatapannya seolah menilai kondisi Rani dengan hati-hati. Rani mengigit bibir, ragu untuk turun. “Kamu …, tidak ikut?” Mira menggeleng pendek. “Tidak. Saya hanya mengantar sampai sini saja.” Suaranya tetap datar dan profesional, seolah garis batas jelas sudah digambar di antara mer
Dada Rani benar-benar tercekat. Ia mematung, hanya bisa melihat bagaimana ibu mertuanya menarik gagang pintu dan membukanya tanpa sedikit pun keraguan. Begitu pintu terbuka, perasaan Rani jatuh mendadak—seolah tenggelam sampai dasar bumi.“Halo?” sapa Dina, ibu mertuanya, dengan suara dibuat-buat lembut.Rani terbelalak. Suara itu pasti bukan Fabio. Ia mendengar jawabannya sebelum sempat bernapas lega.“Halo, Bu.” Suara perempuan yang terdengar tegas dan familiar, jelas sekali bukan Fabio.Perlahan, Rani melongok dari belakang untuk memastikan dengan matanya sendiri.“Kamu siapa, ya?” tanya Dina dengan nada bingung yang berubah cepat menjadi nada menantang.“Saya Mira. Saya mencari Ibu Rani.” jawab perempuan itu, suaranya datar, dingin, tanpa basa-basi.Rani melihat ibu mertuanya menatap Mira dari ujung rambut hingga ujung kaki—tatapan khas Dina yang penuh penilaian. Mira berdiri tegap dengan ekspresi nyaris tak bergerak
Rani menegang seketika. Tenggorokannya kering, jantungnya berdegup sangat keras. Ia memandang Bima dengan tatapan horor, seolah tubuhnya terpasung di tempat.“Ini dari adikku. Rio. Katanya Ibu minta ketemu aku,” ucap Rani terbata, mencoba terdengar meyakinkan. Tapi nadanya bergetar. Bahkan ia sendiri bisa mendengar kebohongannya jelas-jelas.Di dalam hati, ia tahu, ini kebohongan yang sangat bodoh. Rasanya seperti menggali kubur sendiri.“Bohong!” Bima menggeram sambil melangkah maju tiba-tiba.Sebelum Rani sempat menjauh, tangan Bima meraih ponselnya dengan kasar. Tarikannya begitu keras sampai membuat pergelangan tangan Rani tersentak.“Kak, jangan—!” Rani spontan mencoba merebut ponselnya kembali. Satu langkah maju saja tapi Bima berbalik cepat, menantangnya dengan sorot mata gelap.“Apa? Mau ambil? Ambil coba!?” suaranya keras dan tajam, membuat nyali Rani langsung ciut.Rani membeku di tempat. Tubuhnya bergetar.
Rani sedang mengaduk tumisan di atas kompor ketika terdengar suara langkah berat dari ruang tamu. Ia menoleh, dan mendapati Bima muncul sambil membawa sebuah tas penuh pakaian. Tanpa mengatakan apa pun, lelaki itu melemparkan tas tersebut ke meja begitu saja.Kaget, Rani buru-buru mematikan kompor dan berlari keluar dari dapur. Senyum yang semula muncul karena rindu langsung terbit begitu ia melihat suaminya pulang. Ia mengangkat kedua tangannya, ingin memeluk Bima—namun pelukan itu hanya menggantung di udara ketika Bima justru mendorongnya menjauh.“Masakin aku air panas. Aku mau mandi.”Nada Bima terdengar dingin dan datar tanpa sedikit pun sapaan.Rani tertegun. Senyumnya roboh seketika, meninggalkan gurat kecewa tipis di wajahnya. “Baik, kak ….” bisiknya pelan, mencoba terdengar biasa meski dadanya terasa mengembang sakit.Tanpa membalas apa pun, Bima menuju kursi ruang makan dan duduk, sementara Rani mengambil tas yang tadi dilempar dan mulai merapikan isi pakaian suaminya. Ia me
Rani berjalan keluar menuju tukang sayur komplek, langkahnya pelan namun mantap. Udara pagi masih lembap, dan matahari baru naik setengah. Kantong kecil berisi uang pemberian Fabio terasa berat di genggamannya—bukan karena jumlahnya, tapi karena rasa malu yang ikut menempel.Setidaknya, dengan uang itu ia bisa bertahan sampai Bima pulang. Rani menarik napas panjang. Ia benci merasa dikasihani, tapi Fabio terus memaksa, dan ia benar-benar tidak punya pilihan lain.“Pagi, Mas,” sapanya pada Mas Yanto, tukang sayur yang keranjingan memutar lagu dangdut setiap pagi.“Loh, Bu Rani! Lama gak kelihatan,” sapa Bu RT yang tiba-tiba muncul sambil menggendong cucunya. Senyumnya hangat seperti biasa.“Pagi, Bu,” balas Rani sopan, sedikit membungkuk.“Gimana kabarnya, Rani?” tanya Bu RT sambil memilih tomat.“Baik, Bu. Ibu sendiri?” Rani menjawab sambil memilah buncis yang masih segar.“Wah, ibu mah seneng banget hari ini. Cucu ibu datang. Mamanya kerja, jadi nitip bentar,” ujar Bu RT sambil menga







