Viviane tersengal pelan, tubuhnya seperti kehilangan kendali, dan dalam pandangan mata yang remang itu, Anna melihat sesuatu yang ganjil dan terlihat ketakutan. Ketakutan seorang ibu. Atau mungkin sekadar ketakutan seorang manusia yang kini tahu ia bukan lagi siapa-siapa.
Anna ingin tertawa, tapi yang keluar malah sesak. Ia duduk di lantai, menatap lantai marmer yang dulu ia pel dengan tangan sendiri karena dihukum. Kini marmer itu dingin menempel di kakinya yang basah kuyup.
"Aku mau gugurin anak ini," katanya, lirih, tapi tajam. "Anak dari pria yang kau paksa jodohkan denganku. Anak dari rencana yang kau buat sendiri. Tapi sekarang aku lihat kau seperti ini..."
Ia menoleh ke arah Viviane, yang tampak mulai kelelahan bahkan hanya untuk menangis.
"Aku benci kau... tapi aku juga benci rasa kasihan ini."
Viviane merintih, tubuhnya merosot lebih dalam ke kursi, dan Anna bangkit.
Ia menyusuri rumah. Mencari kotak P3K, mencari handuk, mencari botol air. Ia menemukan semua itu dalam lemari tua di dapur. Ia tahu harus bagaimana. Ia tahu cara merawat pasien stroke ringan, pernah ia pelajari dulu saat Lucian mengalami kelelahan syaraf dan hampir lumpuh karena latihan berlebihan.
Lucian...
Nama itu membuat dadanya kembali sesak.
Ia ingin menulis surat padanya lagi. Ingin menjelaskan segalanya. Tapi ia tahu Damien akan selalu memata-matai. Bahkan sekarang pun, ia yakin Damien akan mencari ke mana ia kabur.
Tapi biarlah.
Anna merawat Viviane malam itu. Ia membantu membersihkan tubuhnya, menyuapinya, menyelimuti tubuh renta itu yang kini tak lebih dari bayangan kekuasaan masa lalu. Tapi tak ada cinta dalam setiap gerakannya. Hanya sebuah rasa tanggung jawab dari seorang korban pada pelaku yang tak lagi bisa melawan.
Ketika Viviane tertidur dengan pelan, Anna duduk di lantai lagi. Tangannya mengusap perutnya. Ia masih bingung. Masih ingin kabur dari semua. Tapi untuk pertama kalinya sejak melihat dua garis itu...
Ia mulai berpikir ulang.
“Kalau aku bisa hidup... tanpa jadi seperti kau,” bisiknya, menatap ke arah Viviane, “mungkin anak ini... bisa jadi sesuatu yang lebih baik dariku.”
Lalu ia menutup mata. Dan malam pun berakhir dalam keheningan. Tak ada Damien. Tak ada kamera. Tak ada rumah megah yang mengurungnya. Hanya Anna dan ibu yang tersisa.
Paginya Anna berdiri dan berjalan ke lantai dua. Ia belum pernah masuk ke kamar Viviane sejak kabur dari rumah ini dulu. Tapi hari ini, entah kenapa langkahnya membawanya ke sana.
Kamar itu masih sama, rasa wangi yang terlalu menusuk, tirai tebal warna merah anggur, dan meja rias penuh botol-botol mahal. Tapi ada satu benda di sudut yang menarik perhatiannya yaitu laptop.
Terbuka, tak terkunci. Aneh. Viviane sangat tertutup dengan hal-hal pribadi, tapi kini segalanya terbuka seolah menantang Anna untuk tahu lebih banyak.
Dan Anna tergoda.
Ia menggeser mouse. Layar menyala.
Di atas meja, laptop Viviane terbuka lebar, menampilkan email dengan subjek mencolok:
URGENT: Audit Internal - Penyimpangan Besar Ditemukan
Anna awalnya tak berniat mencampuri urusan ibu angkatnya itu. Tapi saat Viviane pingsan setengah jam lalu, dan laptopnya terbuka begitu saja… rasa ingin tahunya mengalahkan rasa takut. Ia hanya ingin tahu, sekadar memahami kenapa Viviane begitu keras, begitu tega menjualnya ke dalam pernikahan palsu itu.
Tangannya gemetar saat klik pertama membuka email itu.
Paragraf demi paragraf menghantamnya seperti palu godam.
"Telah ditemukan indikasi kuat penggelapan dana sejumlah 8 juta dollar oleh pihak internal. Mayoritas transaksi dilakukan melalui cabang-cabang perusahaan kecil, menggunakan rekening atas nama personal manager keuangan Anda, Mr. Lionel Cross."
Nama itu menusuk Anna. Lionel Cross. Orang tua berjanggut perak yang sering dipanggil Viviane saat ada urusan penting. Yang sering tertawa lembut di belakang wanita itu, seolah menjadi tangan kanannya. Yang dulu Anna dengar pernah diselamatkan keluarganya dari kebangkrutan.
Matanya terus bergerak membaca:
"Dana tersebut dialihkan selama 5 tahun terakhir, dengan laporan fiktif yang telah dimanipulasi. Properti dan kendaraan mewah telah dibeli atas nama istri dan anak-anak Mr. Cross, didanai penuh dari keuangan perusahaan Anda."
"Tanda tangan Anda dipalsukan pada setidaknya 12 dokumen resmi..."
Anna membekap mulutnya. Tak percaya. Ini... ini lebih buruk dari dugaan terliarnya tentang dunia orang kaya.
Viviane... wanita yang selalu menjaga image-nya tanpa cela... Wanita yang tak pernah mau terlihat lemah... Selama ini berperang sendirian, dan dikhianati oleh orang yang ia percayai.
Tiba-tiba, Viviane mengerang pelan dari sofa.
"Anna... air..." Suaranya serak, setengah tak terdengar.
Anna refleks meloncat, menuangkan air ke gelas dan menuntunnya ke bibir Viviane. Wanita itu hanya bisa menyeruput perlahan. Tangan kanannya nyaris tak bisa bergerak.
Lalu Anna kembali menemukan sebuah folder di desktop, dengan nama yang membuat jantungnya berhenti sejenak: “L & S”
Lucian? dan... siapa S?
Dengan jemari gemetar, Anna membukanya. Isi foldernya sederhana, catatan pembelian, jadwal pertemuan dan foto-foto.
Foto Lucian sedang memeluk seseorang. Wajah wanita itu samar, tapi Anna tahu senyum itu. Ia tahu kalung yang tergantung di leher itu, SELENA.Sahabatnya sendiri.
---TBC---
Anna mengangkat sebelah alisnya, penasaran.Damien mendekat, mengunci pergerakan Anna. Lidahnya bermain, seolah menantang Anna untuk beradu. Anna menolak seperti biasa, tapi Damien tak menyerah. Ciumannya turun, menjelajahi leher hingga dadanya.“Ahhh...”Akhirnya Anna mendesah tanpa sadar. Bibirnya tertahan, namun desahan itu tak bisa membohongi Damien. Tangan Damien juga mulai bermain di bawah, perlahan namun membuat Anna tak karuan. Tepat saat Anna hampir mencapai puncaknya, Damien menjauh.“Oke, sudah waktunya kita makan malam di bawah,” ucap Damien seolah tak terjadi apa-apa.Anna menelan ludah, napasnya tersengal. Dia terkejut. Bagaimana bisa Damien berhenti begitu saja saat dia hampir meledak? Tapi Anna terlalu malu untuk meminta Damien melanjutkan.“Gimana? Mau makan malam atau---““Makan malam!” potong Anna cepat. Dia sudah cukup merasa dipermalukan di depan Damien.&ldqu
Anna menatap mata yang dingin itu. Jauh di lubuk hatinya, ia tahu satu hal. Jika ingin bertahan, ia harus mulai melawan.Keesokan harinya, Anna mulai membuat salinan semua dokumen yang ia kirim dan menyimpannya di drive pribadi. Ia juga diam-diam mempelajari sistem log perusahaan dan mencatat setiap waktu akses file. Benar saja, ada dua dokumen yang diakses ulang oleh akun Bianca tepat setelah Anna mengunggahnya. Namun, satu file terpenting. laporan Zurich hilang total. Tidak hanya dihapus, tetapi benar-benar musnah dari server utama.Jantung Anna berdegup kencang saat menatap layar laptopnya. Sekretaris Damien bukan hanya ingin menyingkirkannya. Dia ingin Damien sendiri yang membuangnya.Anna berdiri di depan kaca, memandangi bayangannya. Ia sadar, cinta saja tidak akan cukup untuk bertahan di rumah ini. Ia harus cerdas, licik dan harus tega."Bianca yang memulai perang. Aku harus siap membalasnya. Tapi kenapa aku harus terlalu ikut campur? Bukankah aku tidak menyukai Damien? Tugasku
Aroma kopi pekat dan parfum mahal menguar di ruang rapat utama lantai lima. Pagi itu, Anna terpaksa hadir. Duduk di ujung meja panjang, ia merasa kecil di antara para penasihat hukum perusahaan yang mengapitnya. Gaun formal berwarna abu-abu lembut membalut tubuhnya, namun rasa malu jauh lebih terasa. Sebab ia masih merasa sebagai istri sementara Damien.Entah mengapa ia begitu pasrah saat Damien memintanya ikut mengurus perusahaan setelah dua hari lalu ia dikurung di kamarnya. Seolah-olah hidupnya sudah bukan miliknya lagi.Sepuluh menit kemudian, Damien masuk. Langkahnya cepat, dingin, dan penuh wibawa. Seluruh orang di ruangan berdiri serentak. Di belakangnya, seorang perempuan anggun mengikuti. Setelan hitam yang pas dengan ukuran badannya, rambut diikat rapi, clipboard di tangan kanan, dan tablet di tangan kiri.“Selamat pagi, semuanya,” sapa Damien tanpa melirik Anna sedikit pun.Perempuan itu menarik kursi tepat di samping Damien. Dengan
BRAKK !Pintu kamar terbanting terbuka dengan kasar. Langkah kaki Damien menghentak lantai marmer, bergegas dan penuh amarah yang mendidih. Anna, yang baru saja melepas sepatu, membeku di tempatnya. Jantungnya serasa berhenti berdetak sesaat.Tubuh Damien kini berdiri tegap di ambang pintu, siluetnya mengancam. Mata gelapnya menancap langsung ke pupil mata Anna seolah sedang menghakiminya."Kau mau lari... lagi, hmm?" suaranya nyaris berbisik, namun justru membuat Anna gemetar hebat."A-aku..." Suara Anna tercekat, mencoba menyangkal meskipun tubuhnya tak bisa berbohong. tas kecil, dompet, bahkan ponsel, semua tetap tersembunyi di balik kardigan.Damien berjalan perlahan ke arahnya, seperti predator yang mengintai mangsanya. Tapi bukan karena amarah atau benci semata. Ada sesuatu yang lebih dalam di wajahnya yaitu luka dan frustrasi."Kau pikir aku akan diam saja? Setelah semua ini?" suaranya dalam, mengandung racun kekecewaan. "Setelah aku memberimu tempat tinggal, makan, keamanan, d
Air mata jatuh sebelum sempat ia sadari. Ia membuka satu per satu dokumen. Sebuah percakapan email antara Viviane dan seseorang bernama “L”—jelas Lucian. Kalimat-kalimat yang menusuk, membicarakan Anna seolah hanya alat.“Begitu dia menikah dengan Damien, aku bebas. Selena juga tak perlu kusembunyikan lagi.”“Viviane, tolong jaga agar dia tak kembali. Aku tak ingin Anna melihat kami sebelum waktu yang tepat.”Anna mematung. Nafasnya sesak. Ia hampir tidak bisa menelan rasa pahit yang mendadak memenuhi kerongkongannya. Semua yang ia pertahankan, kenangan, cinta, harapan bahwa suatu hari ia akan kembali ke pelukan Lucian ternyata tidak lebih dari kebohongan yang dikemas rapi.Ia menggeleng, menutup laptop. Tapi semuanya sudah terlanjur terekam dalam kepalanya.Lucian...Selama ini, Damien yang ia benci, ternyata adalah satu-satunya yang tetap jujur dengan ketidakjujurannya. Sementara Lucian, pria yang ia percaya sampai akhir... adalah kebohongan itu sendiri.Dan Anna tertawa. Pelan. Pah
Viviane tersengal pelan, tubuhnya seperti kehilangan kendali, dan dalam pandangan mata yang remang itu, Anna melihat sesuatu yang ganjil dan terlihat ketakutan. Ketakutan seorang ibu. Atau mungkin sekadar ketakutan seorang manusia yang kini tahu ia bukan lagi siapa-siapa.Anna ingin tertawa, tapi yang keluar malah sesak. Ia duduk di lantai, menatap lantai marmer yang dulu ia pel dengan tangan sendiri karena dihukum. Kini marmer itu dingin menempel di kakinya yang basah kuyup."Aku mau gugurin anak ini," katanya, lirih, tapi tajam. "Anak dari pria yang kau paksa jodohkan denganku. Anak dari rencana yang kau buat sendiri. Tapi sekarang aku lihat kau seperti ini..."Ia menoleh ke arah Viviane, yang tampak mulai kelelahan bahkan hanya untuk menangis."Aku benci kau... tapi aku juga benci rasa kasihan ini."Viviane merintih, tubuhnya merosot lebih dalam ke kursi, dan Anna bangkit.Ia menyusuri rumah. Mencari kotak P3K, mencari handuk, mencari botol air. Ia menemukan semua itu dalam lemari