Share

Bab 8 Ketemu

Author: Penulis Hoki
last update Last Updated: 2025-09-19 15:57:59

Air mata jatuh sebelum sempat ia sadari. Ia membuka satu per satu dokumen. Sebuah percakapan email antara Viviane dan seseorang bernama “L”—jelas Lucian. Kalimat-kalimat yang menusuk, membicarakan Anna seolah hanya alat.

“Begitu dia menikah dengan Damien, aku bebas. Selena juga tak perlu kusembunyikan lagi.”

“Viviane, tolong jaga agar dia tak kembali. Aku tak ingin Anna melihat kami sebelum waktu yang tepat.”

Anna mematung. Nafasnya sesak. Ia hampir tidak bisa menelan rasa pahit yang mendadak memenuhi kerongkongannya. Semua yang ia pertahankan, kenangan, cinta, harapan bahwa suatu hari ia akan kembali ke pelukan Lucian ternyata tidak lebih dari kebohongan yang dikemas rapi.

Ia menggeleng, menutup laptop. Tapi semuanya sudah terlanjur terekam dalam kepalanya.

Lucian...

Selama ini, Damien yang ia benci, ternyata adalah satu-satunya yang tetap jujur dengan ketidakjujurannya. Sementara Lucian, pria yang ia percaya sampai akhir... adalah kebohongan itu sendiri.

Dan Anna tertawa. Pelan. Pahit.

Ia berjalan kembali ke kamar Viviane. Wanita itu masih tertidur, atau pura-pura tidur. Anna tak peduli.

“Aku tahu sekarang,” bisiknya, pelan tapi tajam. “Kau bukan satu-satunya yang mengkhianatiku. Lucian juga. Selena juga. SEMUANYAAA !!”

Viviane tak bisa merespons, tapi kelopak matanya tampak bergetar sedikit.

“Dan kau tahu apa yang paling menyakitkan?” Anna menunduk, suaranya nyaris pecah. “Aku hampir menggugurkan anak ini demi kembali ke pria yang ternyata juga memanfaatkan aku. Demi pria yang tertawa sambil merencanakan kebebasannya di atas penderitaanku.”

Ia berdiri, menatap Viviane dengan dingin.

“Aku nggak akan kabur lagi. Tapi bukan karena menyerah. Aku akan tetap melangkah. Dan untuk pertama kalinya... aku akan melangkah bukan untuk siapa-siapa, tapi untukku. Termasuk untuk anak ini.”

Anna menyentuh perutnya. Ia belum tahu bagaimana caranya menjalani semuanya. Tapi kini, ia tahu bahwa tak ada satu pun dari mereka yang layak diperjuangkan. Tidak Viviane. Tidak Lucian. Tidak Malia. Dan mungkin... belum tentu Damien juga.

Tapi satu hal yang pasti, ia tidak akan jadi boneka mereka lagi.

Hari itu, Anna meninggalkan rumah Viviane. Ia tak kembali ke rumah Damien. Ia menyusuri jalanan kota dengan pikiran kacau tapi langkah tegas. Ia akan mencari tempat baru. Identitas baru. Kehidupan baru. Untuknya. Dan untuk kehidupan kecil yang kini tumbuh di dalam dirinya.

Sudah tiga minggu sejak Anna menghilang.

Sejak ia meninggalkan rumah Viviane tanpa berpamitan, dengan hanya membawa tas ransel kecil dan sejumlah uang tunai yang ia simpan diam-diam dari saku mantel Viviane. Ia tidak tahu pasti ke mana harus pergi. Tapi tubuhnya bergerak. Langkah kakinya tidak ragu. Dan saat itu saja cukup.

Ia akhirnya menemukan kamar sewa sederhana di sebuah gang sempit, jauh dari keramaian kota. Satu kasur busa, satu meja kecil, dan jendela dengan pemandangan tembok rumah sebelah. Tapi bagi Anna, ini lebih dari cukup. Karena di sinilah, untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia bisa menarik napas tanpa merasa diawasi.

Hari-harinya diisi dengan pekerjaan serabutan. Menjadi pelayan di warung makan, menyapu toko kelontong, hingga sesekali membantu di tempat laundry. Ia tak mengeluh, karena kini ia bisa membeli makan dengan uang sendiri. Ia bisa minum susu tanpa harus meminta Damien atau mendapat tatapan sinis dari Viviane.

Namun, malam-malamnya tetap sunyi.

Ada hari-hari ketika Anna hanya duduk menatap atap, tangannya memegang perutnya yang kini mulai membentuk tonjolan kecil. Ia masih belum siap. Bahkan belum berani membeli buku tentang kehamilan. Ia hanya tahu bahwa ada kehidupan yang tumbuh di sana dan ia tak tahu apakah ia bisa jadi tempat yang baik untuk makhluk sekecil itu.

Sampai saat hujan deras mengguyur kota di malam hari, Anna mendengar seseorang mengetuk pintunya. Pelan. Tapi konsisten. Ia terdiam, jantungnya berdetak lebih cepat.

Tak seorang pun tahu ia tinggal di sini. Bahkan tetangga sebelah pun jarang bicara dengannya.

Tok. Tok. Tok.

Anna meraih pisau dapur. Perlahan-lahan ia merapat ke pintu.

“Siapa?” tanyanya, suara parau tertahan.

Tak ada jawaban dari luar. Hanya diam.

Lalu, selembar kertas diselipkan dari bawah pintu.

Anna menatapnya. Membuka perlahan.

"Kau bisa lari. Tapi kau tau aku tak akan berhenti mencarimu. —D"

Tangannya gemetar. Damien?

Ia tak tahu bagaimana pria itu bisa menemukannya. Tidak ada jejak digital juga tidak ada panggilan telpon. Bahkan Anna tidak pernah menyebut nama jalan tempatnya tinggal ini.

Tapi ia tahu Damien bukan pria biasa. Ia penuh misteri, penuh rahasia, dan jelas penuh obsesi.

Malam itu Anna tidak tidur. Ia menyalakan lampu sampai pagi. Seperti harapan kecil bahwa cahaya akan mengusir rasa takutnya. Tapi sayangnya, bukan kegelapan yang paling menakutkan melainkan apa yang datang dari masa lalu.

Pagi harinya, Anna memutuskan untuk pindah lagi. Ia tidak bisa bertahan di tempat ini kalau Damien sudah mulai mengendus keberadaannya. Ia mulai mengemas barang dengan sedikit baju, beberapa lembar uang, dan potret ultrasonografi kecil yang ia simpan di antara halaman buku doa.

Anna mengenakan hoodie besar, menyamar di antara kerumunan pasar pagi. Ia membeli vitamin, makanan sehat, dan buku kehamilan murah. Saat ia hendak mencari penginapan lain…

Seseorang menarik lengannya.

“Kukira kau tidak akan bodoh seperti ini, Anna.”

Suara itu.. begitu dingin dan tidak asing bagi Anna. Ya, Damien.

Tubuh Anna mematung. Damien berdiri hanya sejengkal darinya, mengenakan coat panjang hitam. Di belakangnya, dua pria berbadan besar menunggu dengan tatapan tak bersahabat.

“Bagaimana kau menemukanku?” bisik Anna.

Damien tersenyum tipis. “Kau pikir aku membiarkan istriku jalan sendiri tanpa pengawasan? Bahkan nomor ponselmu sudah kutanam alat pelacak.”

Anna terdiam.

“Kau pikir bisa kabur dariku setelah apa yang kita lalui berdua di setiap malam?” tanya Damien, mendekat. “Kau hamil, bukan?”

Anna tak menjawab.

Damien mencengkeram lengannya lebih keras. “Kau membawa darahku. Itu bukan hal yang bisa kau sembunyikan atau kabur begitu saja.”

“Kau tidak berhak atas tubuhku,” gumam Anna, hampir tak terdengar.

Damien menatapnya lama. Kemudian ia tertawa kecil. “Sayangnya, hukum dan nama belakangmu berkata sebaliknya. Kau milikku. Dan anak ini… warisan Sinclair.”

Di dalam mobil

Anna duduk di samping Damien dalam diam. Jemarinya menggenggam ujung baju, menahan tangis yang ingin pecah. Damien memandangi jalan di luar jendela, lalu berkata..

“Kau boleh membenciku. Tapi jangan pernah menganggap aku bodoh.”

---TBC---

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Hasrat Pria Lumpuh   Bab 12 Lanjut main atau makan malam?

    Anna mengangkat sebelah alisnya, penasaran.Damien mendekat, mengunci pergerakan Anna. Lidahnya bermain, seolah menantang Anna untuk beradu. Anna menolak seperti biasa, tapi Damien tak menyerah. Ciumannya turun, menjelajahi leher hingga dadanya.“Ahhh...”Akhirnya Anna mendesah tanpa sadar. Bibirnya tertahan, namun desahan itu tak bisa membohongi Damien. Tangan Damien juga mulai bermain di bawah, perlahan namun membuat Anna tak karuan. Tepat saat Anna hampir mencapai puncaknya, Damien menjauh.“Oke, sudah waktunya kita makan malam di bawah,” ucap Damien seolah tak terjadi apa-apa.Anna menelan ludah, napasnya tersengal. Dia terkejut. Bagaimana bisa Damien berhenti begitu saja saat dia hampir meledak? Tapi Anna terlalu malu untuk meminta Damien melanjutkan.“Gimana? Mau makan malam atau---““Makan malam!” potong Anna cepat. Dia sudah cukup merasa dipermalukan di depan Damien.&ldqu

  • Hasrat Pria Lumpuh   Bab 11 Menikmatinya

    Anna menatap mata yang dingin itu. Jauh di lubuk hatinya, ia tahu satu hal. Jika ingin bertahan, ia harus mulai melawan.Keesokan harinya, Anna mulai membuat salinan semua dokumen yang ia kirim dan menyimpannya di drive pribadi. Ia juga diam-diam mempelajari sistem log perusahaan dan mencatat setiap waktu akses file. Benar saja, ada dua dokumen yang diakses ulang oleh akun Bianca tepat setelah Anna mengunggahnya. Namun, satu file terpenting. laporan Zurich hilang total. Tidak hanya dihapus, tetapi benar-benar musnah dari server utama.Jantung Anna berdegup kencang saat menatap layar laptopnya. Sekretaris Damien bukan hanya ingin menyingkirkannya. Dia ingin Damien sendiri yang membuangnya.Anna berdiri di depan kaca, memandangi bayangannya. Ia sadar, cinta saja tidak akan cukup untuk bertahan di rumah ini. Ia harus cerdas, licik dan harus tega."Bianca yang memulai perang. Aku harus siap membalasnya. Tapi kenapa aku harus terlalu ikut campur? Bukankah aku tidak menyukai Damien? Tugasku

  • Hasrat Pria Lumpuh   Bab 10 Bianca

    Aroma kopi pekat dan parfum mahal menguar di ruang rapat utama lantai lima. Pagi itu, Anna terpaksa hadir. Duduk di ujung meja panjang, ia merasa kecil di antara para penasihat hukum perusahaan yang mengapitnya. Gaun formal berwarna abu-abu lembut membalut tubuhnya, namun rasa malu jauh lebih terasa. Sebab ia masih merasa sebagai istri sementara Damien.Entah mengapa ia begitu pasrah saat Damien memintanya ikut mengurus perusahaan setelah dua hari lalu ia dikurung di kamarnya. Seolah-olah hidupnya sudah bukan miliknya lagi.Sepuluh menit kemudian, Damien masuk. Langkahnya cepat, dingin, dan penuh wibawa. Seluruh orang di ruangan berdiri serentak. Di belakangnya, seorang perempuan anggun mengikuti. Setelan hitam yang pas dengan ukuran badannya, rambut diikat rapi, clipboard di tangan kanan, dan tablet di tangan kiri.“Selamat pagi, semuanya,” sapa Damien tanpa melirik Anna sedikit pun.Perempuan itu menarik kursi tepat di samping Damien. Dengan

  • Hasrat Pria Lumpuh   Bab 9 Gugatan

    BRAKK !Pintu kamar terbanting terbuka dengan kasar. Langkah kaki Damien menghentak lantai marmer, bergegas dan penuh amarah yang mendidih. Anna, yang baru saja melepas sepatu, membeku di tempatnya. Jantungnya serasa berhenti berdetak sesaat.Tubuh Damien kini berdiri tegap di ambang pintu, siluetnya mengancam. Mata gelapnya menancap langsung ke pupil mata Anna seolah sedang menghakiminya."Kau mau lari... lagi, hmm?" suaranya nyaris berbisik, namun justru membuat Anna gemetar hebat."A-aku..." Suara Anna tercekat, mencoba menyangkal meskipun tubuhnya tak bisa berbohong. tas kecil, dompet, bahkan ponsel, semua tetap tersembunyi di balik kardigan.Damien berjalan perlahan ke arahnya, seperti predator yang mengintai mangsanya. Tapi bukan karena amarah atau benci semata. Ada sesuatu yang lebih dalam di wajahnya yaitu luka dan frustrasi."Kau pikir aku akan diam saja? Setelah semua ini?" suaranya dalam, mengandung racun kekecewaan. "Setelah aku memberimu tempat tinggal, makan, keamanan, d

  • Hasrat Pria Lumpuh   Bab 8 Ketemu

    Air mata jatuh sebelum sempat ia sadari. Ia membuka satu per satu dokumen. Sebuah percakapan email antara Viviane dan seseorang bernama “L”—jelas Lucian. Kalimat-kalimat yang menusuk, membicarakan Anna seolah hanya alat.“Begitu dia menikah dengan Damien, aku bebas. Selena juga tak perlu kusembunyikan lagi.”“Viviane, tolong jaga agar dia tak kembali. Aku tak ingin Anna melihat kami sebelum waktu yang tepat.”Anna mematung. Nafasnya sesak. Ia hampir tidak bisa menelan rasa pahit yang mendadak memenuhi kerongkongannya. Semua yang ia pertahankan, kenangan, cinta, harapan bahwa suatu hari ia akan kembali ke pelukan Lucian ternyata tidak lebih dari kebohongan yang dikemas rapi.Ia menggeleng, menutup laptop. Tapi semuanya sudah terlanjur terekam dalam kepalanya.Lucian...Selama ini, Damien yang ia benci, ternyata adalah satu-satunya yang tetap jujur dengan ketidakjujurannya. Sementara Lucian, pria yang ia percaya sampai akhir... adalah kebohongan itu sendiri.Dan Anna tertawa. Pelan. Pah

  • Hasrat Pria Lumpuh   Bab 7 Viviane lumpuh

    Viviane tersengal pelan, tubuhnya seperti kehilangan kendali, dan dalam pandangan mata yang remang itu, Anna melihat sesuatu yang ganjil dan terlihat ketakutan. Ketakutan seorang ibu. Atau mungkin sekadar ketakutan seorang manusia yang kini tahu ia bukan lagi siapa-siapa.Anna ingin tertawa, tapi yang keluar malah sesak. Ia duduk di lantai, menatap lantai marmer yang dulu ia pel dengan tangan sendiri karena dihukum. Kini marmer itu dingin menempel di kakinya yang basah kuyup."Aku mau gugurin anak ini," katanya, lirih, tapi tajam. "Anak dari pria yang kau paksa jodohkan denganku. Anak dari rencana yang kau buat sendiri. Tapi sekarang aku lihat kau seperti ini..."Ia menoleh ke arah Viviane, yang tampak mulai kelelahan bahkan hanya untuk menangis."Aku benci kau... tapi aku juga benci rasa kasihan ini."Viviane merintih, tubuhnya merosot lebih dalam ke kursi, dan Anna bangkit.Ia menyusuri rumah. Mencari kotak P3K, mencari handuk, mencari botol air. Ia menemukan semua itu dalam lemari

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status