MasukPanggilan itu ditutup.
Damien dan Anna berdiri di ruang kerja yang gelap dan sunyi, terputus dari dunia.
Mereka telah memenangkan setiap pertempuran. Melawan Lucien. Melawan Bianca. Melawan Reno. Melawan Rudi.
Dan mereka baru saja kalah dalam perang.
Anna berjalan pelan kembali ke Damien. Dia tidak menangis. Matanya kering dan berkilat karena amarah yang dingin.
"Jadi... itu," katanya. "Kita... budaknya."
Damien tidak menjawab. Dia hanya menatap dinding kosong.
"Damien?"
"Tidak," katanya. Suaranya begitu pelan, Anna nyaris tidak mendengarnya.
"Apa?"
"Tidak." Damien berbalik. Wajahnya bukan lagi wajah pria yang kalah. Itu adalah wajah pria yang baru saja didorong ke tepi jurang, dan memutuskan untuk melompat.
"Kita tidak akan menjadi budaknya," katanya.
"Lalu apa yang akan kita lakukan?" teriak Anna putus asa. "Dia akan merilisnya! Kita tidak punya pilihan!"
"Kita punya satu," kata Damien.
Enam bulan kemudian.Cahaya matahari pagi tidak lagi terasa pucat atau menyelinap seperti pencuri. Cahaya itu tumpah ruah, berani dan keemasan, membanjiri dapur rumah di atas bukit yang dulunya menyerupai benteng pertahanan.Damien berdiri di depan kompor. Tangan kirinya yang dulunya kaku dan tidak berguna kini memegang gagang wajan dengan cengkeraman yang gemetar namun stabil. Dia sedang membuat telur orak-arik. Itu adalah tugas sederhana yang membutuhkan konsentrasi setingkat operasi militer baginya."Jangan gosong," gumamnya pada diri sendiri. "Jangan gosong."Di kursi makannya yang tinggi, Fajar kini berusia sepuluh bulan dan memiliki gigi depan yang tajam memukul-mukul nampan plastiknya dengan sendok."Ba! Ba! Ba!"Damien menoleh, seringai kecil muncul di wajahnya yang berewok. "Sabar, Komandan. Logistik sedang dipersiapkan."Dia memindahkan telur ke piring. Gerakannya tidak lagi sehalus dulu. Ada jeda mikro, ada getaran di otot bahunya di mana peluru pernah bersarang, tapi dia t
Pukul 03.14 pagi.Rumah di atas bukit itu diselimuti keheningan yang tebal dan pekat. Di kamar tidur utama, cahaya bulan yang pucat menyelinap masuk, membuat bayangan panjang dari perabotan kayu yang berat.Waaah.Suara itu, tipis namun menuntut, membelah keheningan.WHUMP.Bahkan sebelum matanya terbuka, Damien sudah duduk tegak di tempat tidur. Jantungnya berdebar kencang, napasnya tercekat. Tangannya yang sehat secara naluriah bergerak ke laci meja samping tempat tidur, mencari pistol yang sudah berbulan bulan tidak ada di sana.Bukan tembakan. Bukan alarm.Di sampingnya, Anna juga sudah terbangun. Tapi dia tidak melompat. Dia berbaring kaku, menatap langit langit.WAAAAH!Tangisan kedua datang, lebih keras."Aku dengar," kata Damien, suaranya serak. Dia mengayunkan kakinya dari tempat tidur. "Giliranku. Ganti popok.""Tidak."Suara Anna, pelan namun tegas, menghentikannya.Damien membeku, kakinya separuh di lantai. "Dia menangis.""Aku tahu," kata Anna. Dia memaksakan dirinya untu
Dua hari berlalu.Rumah di atas bukit itu sunyi. Ketenangan itu terasa salah, seperti gaun yang tidak pas. Anna telah menghabiskan 48 jam itu dengan bolak balik antara kamar tidur utama dan kamar bayi yang baru. Dia akan duduk di kursi goyang, menggendong Fajar yang sedang tertidur, dan menatap dinding, mendengarkan.Dia mendengarkan suara derit rumah. Dia mendengarkan suara angin di pepohonan di luar. Setiap suara membuatnya tersentak.Damien menghabiskan 48 jam itu di ruang kerjanya. Pintunya terbuka. Tapi dia tidak bekerja. Dia hanya duduk di depan serangkaian monitor keamanan baru yang menampilkan rekaman langsung dari setiap sudut halaman. Dia hanya... mengawasi.Mereka adalah dua tentara yang ditempatkan di pos penjagaan yang damai, masih memindai cakrawala, mencari musuh yang tidak akan pernah datang.Pukul 14.00 siang.Anna sedang mencoba memaksa dirinya untuk makan sandwich di dapur ketika dia mendengar bel pintu.Jantungnya melompat ke tenggorokannya. Dia langsung meraih pon
Satu bulan telah berlalu.Di rumah bata merah di atas bukit, kehidupan telah berjalan dengan ritme yang baru dan aneh. Dunia luar telah pindah. Berita utama kini diisi oleh skandal politik baru dan kejatuhan Takeda Industries (Rachelle, sepertinya, telah menepati janjinya untuk menghilang, puas dengan kehancuran Takeda). Nama "Damien" telah memudar dari siklus berita, digantikan oleh rasa ingin tahu yang samar tentang "CEO yang berduka" yang menghilang dari publik.Di dalam rumah, perang telah digantikan oleh sesuatu yang jauh lebih menantang: keheningan.Pukul 03.14 pagi.Kamar tidur utama gelap, hanya diterangi oleh cahaya bulan yang pucat.Waaah.Suara itu, tipis dan menuntut, membelah keheningan.WHUMP.Damien sudah terbangun, duduk tegak di tempat tidur. Jantungnya berdebar kencang, tangannya yang sehat secara naluriah bergerak ke laci meja samping tempat tidur, mencari pistol yang tidak lagi ada di sana. Dia terengah engah, butuh tiga detik untuk menyadari di mana dia berada.Bu
Ruangan itu dipenuhi oleh suara tangisan. Anna terbaring di atas bantal, basah oleh keringat, lelah sampai ke tulang, tapi dia tidak bisa mengalihkan pandangannya. Damien berdiri terpaku di samping tempat tidur, tangannya yang sehat masih mencengkeram tangan Anna. Dia menatap buntalan kecil yang marah di dada istrinya. Dia tampak lebih terguncang sekarang daripada saat dia terbang menembus baku tembak."Dia baik baik saja?" bisik Damien, suaranya serak. "Kenapa dia menangis?""Dia baru saja lahir, Damien," kata Dr. Aris sambil tertawa. Dia dengan ahli mengambil bayi itu dari dada Anna. "Dia hanya ingin menyapa dunia. Ayo, kita bersihkan dia."Seorang perawat membawa bayi itu ke meja penghangat di sudut. Damien dan Anna memperhatikan setiap gerakannya seolah olah mereka sedang mengawasi bom yang dijinakkan.Anna bersandar, memejamkan mata sejenak. Keheningan setelah dorongan terakhir terasa memekakkan telinga. Rasa sakitnya telah hilang, digantikan oleh kelelahan yang hampa dan damai.
Rumah di atas bukit itu adalah kedamaian yang telah mereka perjuangkan dengan darah, kini pecah oleh suara yang paling biasa sekaligus paling menakutkan."TAS!" teriak Damien, berlari ke arah yang salah di dapur. "MARKUS! TIDAK, AKU TIDAK PUNYA MARKUS! KUNCI! DI MANA KUNCI MOBIL?!"Anna tertawa, tawa yang bercampur dengan sedikit erangan. Kontraksi pertama itu ringan, lebih mengejutkan daripada menyakitkan. Dia berjalan pelan, tertatih, melewatinya."Damien," panggilnya, suaranya tenang."APA?!" bentaknya, panik, sambil membongkar laci yang penuh dengan sendok garpu."Kuncinya ada di sakumu," katanya.Damien berhenti. Dia merogoh saku celana pendeknya. Dia menarik kunci mobil Mercedes itu keluar. Matanya terbelalak."Benar."Dia menatap Anna, yang kini bersandar di meja dapur, bernapas pelan."Baik," kata Damien, menarik napas dalam dalam. Pria yang telah menghadapi baku tembak, yang telah menerbangkan helikopter menembu







