LOGINAnna menggenggam bros itu erat, merasa marah sekaligus tersentuh. Ia benci karena hatinya berdebar membaca tulisan itu. Ia benci karena pikirannya mulai terlalu sering memikirkan Damien. Tapi yang paling ia benci adalah kenyataan bahwa ia tidak bisa menyalahkan Damien sepenuhnya. Karena yang menyuruhnya menikah adalah ibu angkatnya, Damien hanya menerima permainan mereka.
Anna menatap dirinya di cermin. Rambutnya berantakan, matanya merah. “Aku bukan tawanan,” bisiknya pada bayangan sendiri. Tapi hatinya membalas: kalau bukan, kenapa kau tidak boleh keluar rumah?
Sore hari, Damien datang. Ia membawa sepiring kue dan dua gelas teh melati. Ia tahu Anna suka aroma itu.
“Kau belum menyentuh makan siangmu,” katanya sambil duduk.
Anna mengangguk.
Damien menggeser teh ke hadapannya. “Aku tidak akan memaksamu bicara. Tapi aku ingin kau tetap makan. Setidaknya minum teh.”
Anna mengambil cangkir itu. “Aku ingin minta satu hal,” katanya akhirnya.
Damien menunggu.
“Aku ingin keluar kamar. Bukan kabur. Aku hanya… ingin berjalan-jalan di taman.”
Damien terdiam, lalu mengangguk. “Besok pagi. Tapi dengan satu syarat,” katanya. “Malam ini kau harus tidur denganku bukan karena terpaksa, tapi sebagai… pasangan suami istri.”
Anna menatapnya lama. Itu jebakan. Tapi bagian dalam dirinya juga ingin tahu seperti apa rasanya malam tanpa tekanan.
“Baik,” jawabnya akhirnya. “Tapi hanya malam ini.”
Damien tersenyum. “Hanya malam ini?”
Malam itu, Anna duduk di depan cermin dengan gaun lilac sederhana. Saat Damien melihatnya, ia tidak berkata apa-apa. Hanya menatapnya lama. Dan untuk pertama kalinya, Anna merasa dilihat sebagai dirinya yang utuh, bukan sebagai pion. Selama makan malam, mereka bicara tentang banyak hal. Musik, buku, bahkan masa kecil Damien. Suasana itu nyaris hangat.
Anna ingin menampar dirinya karena menikmati malam itu. Damien melepaskan gaunnya sendiri, ia tetap yang memimpin.
"Tak bisakah kau menggunakan pengaman, Damien?" Anna masih berharap tak mengandung anak Damien.
"Aku akan mengeluarkannya di luar, nanti," jawab Damien berbohong.
"Akhh..." Anna merintih kesakitan saat Damien masuk, padahal miliknya belum basah.
"Sakit?" tanya Damien, Anna mengangguk.
"Maaf." Damien terdiam sejenak, lalu mulai maju mundur perlahan.
"Hemmmm… kau sangat nikmat, Anna." bisik Damien.
"Ta-tapi… aku… mau keluar… hmmmm…" Anna tak sadar berbicara seperti itu.
"Secepat itu, Anna? Tunggu aku, kita sama-sama keluar!" pinta Damien.
Damien sengaja menunggu Anna keluar. Ketika tubuh Anna bergetar, ia langsung melancarkan aksinya, ia keluar di dalam tanpa Anna sadari. Anna tidak akan sadar, ia tidak tahu karena ini pertama kalinya. Apakah Anna mulai jatuh hati dengan permainan Damien yang melunak?
Malam semakin larut. Hanya suara detak jam dinding yang terdengar. Damien sudah tertidur pulas.
Di hadapannya, selembar kertas sudah setengah penuh. Tulisan tangannya rapi, tapi ada goresan bekas emosi.
“Lucian, kau masih ingat cara kau menyentuh tanganku di balik pintu ruang makan dulu? Waktu kita sembunyi dari ibumu? Aku juga masih ingat. Tapi sekarang tanganku terasa asing. Bahkan jemari ini gemetar hanya untuk menuliskan namamu.”
Anna menggigit bibir, menahan air mata. Ia menulis lagi.
“Aku di sini baik-baik saja. Tidak sepenuhnya bebas, tapi juga tidak sepenuhnya tertawan. Damien memberiku ruang, tapi bukan kebebasan. Dia memberiku makanan, taman, buku, tapi tidak memberi aku perhiasan. Tapi yang paling membuatku ingin lari adalah saat aku mulai berpikir… bahwa aku merindukanmu. Masih adakah aku di sela-sela hatimu? Masihkah kau mau menungguku sebentar lagi saja?”
Pena terhenti. Anna menatap huruf-huruf yang mulai buram. Ia melipat surat itu, menyembunyikannya di bawah bantal. Rencananya sederhana: menitipkannya pada pelayan tua yang biasa membawakan sarapan.
Tapi rencana itu tak sempat menjadi kenyataan.
Pagi itu, Damien tak pergi ke kantor. Ia perlahan membuka matanya. Anna langsung menyembunyikan amplop di belakang tubuhnya, tapi terlambat. Tatapan Damien sudah mengarah pada amplop cokelat itu.
“Apa itu?” tanyanya datar.
“Tidak ada.”
Damien mendekat. “Anna.”
“Sudahlah, ini cuma… surat untuk diriku sendiri.”
“Kau bukan pembohong yang hebat. Kau tahu itu kan?”
Damien mengulurkan tangan. Anna mundur, tapi pria itu menatapnya sabar. Akhirnya ia menyerah. Ia memberikan surat itu. “Tolong… jangan dibaca. Itu bukan untukmu.”
Damien menatapnya dalam, lalu dengan gerakan lambat, ia merobek amplop dan isinya. Potongan kertas beterbangan seperti hujan.
Anna menutup mulutnya, syok. “Kenapa kau lakukan itu?!”
“Karena aku tidak ingin dia tahu kau sedang memikirkannya… saat kau ada di sini.” Suara Damien tajam, nyaris berbisik. “Kau pikir aku tidak tahu siapa Lucian? Apa hubungan kalian sebelum semua ini dimulai?”
Anna menahan napas. Matanya berkaca-kaca. “Itu bukan urusanmu.”
“Tapi sekarang kau istriku.”
“Palsu dan tak akan bertahan lama.”
“Bagiku tidak.”
Anna melangkah mundur. “Aku ingin membatalkan semua ini, tolong…”
Damien diam.
“Aku akan bicara pada pengacaraku,” lanjut Anna, suaranya pelan. “Aku tahu kau belum mendaftarkan pernikahan ini ke negara. Kau hanya membuat dokumen internal.”
“Kau tahu begitu banyak,” ujar Damien sambil tersenyum tipis. “Tapi kau juga tahu jawabanku.”
“Damien…”
“Kau tidak akan keluar dari rumah ini, Anna.”
Hari itu Anna tidak keluar kamar. Ia menolak makan, menolak bicara. Kepalanya masih penuh dengan serpihan surat yang dirobek di depan matanya. Ia merasa kalah sebelum sempat melawan.
Malamnya, pelayan tua itu datang dengan nampan makanan. Di atasnya ada selembar kertas kecil dengan tulisan singkat: “Jangan pernah mencoba mengirim surat apapun. Kau hanya akan membuatku membencimu. Kita lihat hukuman untukmu malam ini. – D”
Anna meremas kertas itu.
“Benci?” pikirnya. “Kau pikir aku peduli dengan itu?”
---TBC---
Enam bulan kemudian.Cahaya matahari pagi tidak lagi terasa pucat atau menyelinap seperti pencuri. Cahaya itu tumpah ruah, berani dan keemasan, membanjiri dapur rumah di atas bukit yang dulunya menyerupai benteng pertahanan.Damien berdiri di depan kompor. Tangan kirinya yang dulunya kaku dan tidak berguna kini memegang gagang wajan dengan cengkeraman yang gemetar namun stabil. Dia sedang membuat telur orak-arik. Itu adalah tugas sederhana yang membutuhkan konsentrasi setingkat operasi militer baginya."Jangan gosong," gumamnya pada diri sendiri. "Jangan gosong."Di kursi makannya yang tinggi, Fajar kini berusia sepuluh bulan dan memiliki gigi depan yang tajam memukul-mukul nampan plastiknya dengan sendok."Ba! Ba! Ba!"Damien menoleh, seringai kecil muncul di wajahnya yang berewok. "Sabar, Komandan. Logistik sedang dipersiapkan."Dia memindahkan telur ke piring. Gerakannya tidak lagi sehalus dulu. Ada jeda mikro, ada getaran di otot bahunya di mana peluru pernah bersarang, tapi dia t
Pukul 03.14 pagi.Rumah di atas bukit itu diselimuti keheningan yang tebal dan pekat. Di kamar tidur utama, cahaya bulan yang pucat menyelinap masuk, membuat bayangan panjang dari perabotan kayu yang berat.Waaah.Suara itu, tipis namun menuntut, membelah keheningan.WHUMP.Bahkan sebelum matanya terbuka, Damien sudah duduk tegak di tempat tidur. Jantungnya berdebar kencang, napasnya tercekat. Tangannya yang sehat secara naluriah bergerak ke laci meja samping tempat tidur, mencari pistol yang sudah berbulan bulan tidak ada di sana.Bukan tembakan. Bukan alarm.Di sampingnya, Anna juga sudah terbangun. Tapi dia tidak melompat. Dia berbaring kaku, menatap langit langit.WAAAAH!Tangisan kedua datang, lebih keras."Aku dengar," kata Damien, suaranya serak. Dia mengayunkan kakinya dari tempat tidur. "Giliranku. Ganti popok.""Tidak."Suara Anna, pelan namun tegas, menghentikannya.Damien membeku, kakinya separuh di lantai. "Dia menangis.""Aku tahu," kata Anna. Dia memaksakan dirinya untu
Dua hari berlalu.Rumah di atas bukit itu sunyi. Ketenangan itu terasa salah, seperti gaun yang tidak pas. Anna telah menghabiskan 48 jam itu dengan bolak balik antara kamar tidur utama dan kamar bayi yang baru. Dia akan duduk di kursi goyang, menggendong Fajar yang sedang tertidur, dan menatap dinding, mendengarkan.Dia mendengarkan suara derit rumah. Dia mendengarkan suara angin di pepohonan di luar. Setiap suara membuatnya tersentak.Damien menghabiskan 48 jam itu di ruang kerjanya. Pintunya terbuka. Tapi dia tidak bekerja. Dia hanya duduk di depan serangkaian monitor keamanan baru yang menampilkan rekaman langsung dari setiap sudut halaman. Dia hanya... mengawasi.Mereka adalah dua tentara yang ditempatkan di pos penjagaan yang damai, masih memindai cakrawala, mencari musuh yang tidak akan pernah datang.Pukul 14.00 siang.Anna sedang mencoba memaksa dirinya untuk makan sandwich di dapur ketika dia mendengar bel pintu.Jantungnya melompat ke tenggorokannya. Dia langsung meraih pon
Satu bulan telah berlalu.Di rumah bata merah di atas bukit, kehidupan telah berjalan dengan ritme yang baru dan aneh. Dunia luar telah pindah. Berita utama kini diisi oleh skandal politik baru dan kejatuhan Takeda Industries (Rachelle, sepertinya, telah menepati janjinya untuk menghilang, puas dengan kehancuran Takeda). Nama "Damien" telah memudar dari siklus berita, digantikan oleh rasa ingin tahu yang samar tentang "CEO yang berduka" yang menghilang dari publik.Di dalam rumah, perang telah digantikan oleh sesuatu yang jauh lebih menantang: keheningan.Pukul 03.14 pagi.Kamar tidur utama gelap, hanya diterangi oleh cahaya bulan yang pucat.Waaah.Suara itu, tipis dan menuntut, membelah keheningan.WHUMP.Damien sudah terbangun, duduk tegak di tempat tidur. Jantungnya berdebar kencang, tangannya yang sehat secara naluriah bergerak ke laci meja samping tempat tidur, mencari pistol yang tidak lagi ada di sana. Dia terengah engah, butuh tiga detik untuk menyadari di mana dia berada.Bu
Ruangan itu dipenuhi oleh suara tangisan. Anna terbaring di atas bantal, basah oleh keringat, lelah sampai ke tulang, tapi dia tidak bisa mengalihkan pandangannya. Damien berdiri terpaku di samping tempat tidur, tangannya yang sehat masih mencengkeram tangan Anna. Dia menatap buntalan kecil yang marah di dada istrinya. Dia tampak lebih terguncang sekarang daripada saat dia terbang menembus baku tembak."Dia baik baik saja?" bisik Damien, suaranya serak. "Kenapa dia menangis?""Dia baru saja lahir, Damien," kata Dr. Aris sambil tertawa. Dia dengan ahli mengambil bayi itu dari dada Anna. "Dia hanya ingin menyapa dunia. Ayo, kita bersihkan dia."Seorang perawat membawa bayi itu ke meja penghangat di sudut. Damien dan Anna memperhatikan setiap gerakannya seolah olah mereka sedang mengawasi bom yang dijinakkan.Anna bersandar, memejamkan mata sejenak. Keheningan setelah dorongan terakhir terasa memekakkan telinga. Rasa sakitnya telah hilang, digantikan oleh kelelahan yang hampa dan damai.
Rumah di atas bukit itu adalah kedamaian yang telah mereka perjuangkan dengan darah, kini pecah oleh suara yang paling biasa sekaligus paling menakutkan."TAS!" teriak Damien, berlari ke arah yang salah di dapur. "MARKUS! TIDAK, AKU TIDAK PUNYA MARKUS! KUNCI! DI MANA KUNCI MOBIL?!"Anna tertawa, tawa yang bercampur dengan sedikit erangan. Kontraksi pertama itu ringan, lebih mengejutkan daripada menyakitkan. Dia berjalan pelan, tertatih, melewatinya."Damien," panggilnya, suaranya tenang."APA?!" bentaknya, panik, sambil membongkar laci yang penuh dengan sendok garpu."Kuncinya ada di sakumu," katanya.Damien berhenti. Dia merogoh saku celana pendeknya. Dia menarik kunci mobil Mercedes itu keluar. Matanya terbelalak."Benar."Dia menatap Anna, yang kini bersandar di meja dapur, bernapas pelan."Baik," kata Damien, menarik napas dalam dalam. Pria yang telah menghadapi baku tembak, yang telah menerbangkan helikopter menembu







