"Aku ingin royalti diberikan selama bukumu dikontrak penerbit." Ola membuat keputusan sendiri karena Vidwan tak kunjung memberi kepastian."Penerbit tidak memberi batasan waktu.” Jawab Vidwan dengan menunjukkan ketidaksukaannya pada Ola. “Kalau begitu bagus.” Sambar Ola dengan mata berbinar. Terbayang di benaknya, berapa banyak uang yang akan dia hasilkan dari kerja samanya dengan Vidwan.“Tidak ada yang bagus. Aku yang mengendalikan semuanya, Ola. Bukan kau!” Vidwan mengarahkan telunjuknya pada Ola. Ola berdecak sebagai bentuk protes. “Terserah!” Jawab Ola sambil kemudian beranjak dari duduknya. Bernegosiasi dengan orang pelit seperti Vidwan memang membuang waktu dan tenaga. Ola berpikir bahwa lebih baik ia pergi menemui Krish dan meminta pekerjaan pada laki-laki itu. Siapa tahu, ketika mereka kembali terlibat dalam satu sesi pemotretan, Ola bisa menggoda Krish sehingga laki-laki itu akan kembali ke pelukannya.“Tunggu!” Suara Vidwan langsung menghentikan langkah Ola. Wanita itu ke
“Ada apa, Krish?” Tanya Grisse sambil mengubah posisinya menjadi miring ke kanan, menghadap arah kedatangan Krish. Krish tidak menjawab. Ia memilih untuk melempar tatapan pada Grisse dengan ekspresi yang sulit untuk dijelaskan.“Krish?” Ulang Grisse. Kali ini gadis itu sudah tidak lagi berbaring. Ia perlahan turun kemudian mendekati sosok laki-laki tampan yang masih menatapnya intens.“Hey.” Grisse menelengkan kepalanya kemudian kedua tangannya menyentuh lengan Krish lembut."Ada yang ingin kau bicarakan?" Lanjut Grisse. Tidak ada raut risih di wajah gadis itu tatkala Krish memindai tubuhnya beberapa kali."Jadilah milikku, Grisse." Bisik Krish yang kontan membuat Grisse mengerutkan kening."Kenapa?" Grisse tidak tahu apakah ia melempar kata tanya yang tepat untuk kalimat Krish."Besok aku akan mengantarmu untuk membatalkan pernikahanmu dengan Vidwan." Jawab Krish sambil menahan pandangan pada sepasang manik indah Grisse."Vidwan sudah mau melepaskanku?" Tanya Grisse setengah tidak p
“Aku minta maaf.” Krish mengulangi kalimatnya. Kali ini Grisse sengaja memalingkan wajahnya, enggan untuk merespons Krish."Aku ingin mandi. Gerah." Ujar Grisse sambil mundur satu langkah untuk menghindari Krish yang tengah menyasar ceruk lehernya. Krish sengaja berdecak dengan suara keras sebagai ekspresi kesal. Bukan kesal pada Grisse, tapi lebih pada dirinya sendiri. Krish merutuk dirinya yang telah salah memulai interaksi dengan Grisse tadi. “Aku akan mengantarmu.” Tawar Krish sambil meraih tangan Grisse. Dengan cepat, gadis itu mengibaskan tangannya.“Tidak perlu.” Tolak Grisse kemudian meninggalkan Krish yang masih berdiri di tempatnya. Krish melihat Grisse berjalan menuju kamarnya dengan langkah tergesa. Beberapa saat setelah sosok Grisse menghilang di balik pintu kamar yang tertutup, Krish berinisiatif menyusul Grisse ke kamar mandi. Ia berpikir bahwa mungkin jika mereka mandi bersama, Grisse tidak akan marah padanya lagi.Krish membuka pintu kamarnya. Dari arah kamar mandi,
“Aku akan memasang kamera dulu. Kau bersiap-siaplah.” Pinta Krish pada Grisse yang masih memandangi lembaran kertas dengan serius.“Apa yang harus aku lakukan?” Tanya Grisse sambil mengangkat bahu. Krish tertawa karena baginya pertanyaan Grisse terdengar lucu.“Merias diri mungkin? Atau kau ingin menata rambutmu?” Ternyata Krish kesulitan juga mendeskripsikan instruksinya sendiri. “Kau tidak melakukan apa pun, bagiku tidak masalah karena aku suka dirimu yang apa adanya.” Bisik Krish sambil menyelipkan anak rambut ke belakang telinga Grisse. Grisse mengangguk perlahan.“Baguslah karena aku tidak bisa merias diri.” Jawab Grisse sambil menyugar rambutnya beberapa kali. Krish tersenyum menanggapi kalimat Grisse. Ia kemudian kembali berkutat dengan kamera serta penyangganya. Krish menggerakkan kamera beberapa kali guna memperoleh posisi yang tepat untuk kameranya merekam aktivitasnya dan Grisse di atas tempat tidur.“Sempurna.” Ujar Krish dengan helaan napas lega karena akhirnya ia berhas
“Kau siap?” Tanya Krish sambil menyentuh tangan Grisse perlahan. Yang ditanya hanya menganggukkan kepala sebagai jawaban. Tetiba, Grisse diserang rasa gugup yang teramat mengganggu dirinya. Terlebih ketika bayangan akan percintaan yang panas dan penuh gairah dengan Krish beberapa kali berkelebat dalam benaknya. “Krish, apa kau merasa gugup?” Tanya Grisse sambil menatap lurus ke arah netra Krish. Laki-laki itu langsung menggeleng.“Kau gugup?” Krish balik bertanya. Grisse mengangguk.“Kenapa?” “Entahlah.” Grisse tidak yakin dengan dirinya.“Kau memikirkan sesuatu?” Tanya Krish dengan kerlingan menggoda. Grisse kembali mengangguk.“Aku membayangkan kita….” Grisse tak kuasa melanjutkan kalimatnya. Gadis itu menunduk karena tersipu.“Kita bercinta lebih hebat dari sebelumnya.” Tebak Krish yang diikuti anggukan lemah Grisse. Krish langsung memeluk Grisse. Merengkuh kepala gadis itu dalam dekapannya. Krish akui ia juga gugup. Ia juga mempunyai pikiran yang sama dengan Grisse. Meskipun ini
Grisse memilih melangkah menjauhi tempat tidur. Gairah yang tadinya menggebu, kini langsung sirna begitu ia memikirkan kemungkinan-kemungkinan akan berpisah dengan Krish. Dengan tubuh polosnya, Grisse melangkah menuju dinding kaca yang terbuka tirainya. Pandangannya langsung tertuju pada bangunan hotel yang berada tepat di depannya. Di hotel itulah, Grisse dan Vidwan bercinta dengan disaksikan banyak pasang mata. Grisse tersenyum sinis, juga miris, jika teringat betapa bodohnya dia. Mau saja menurut demi memuaskan fantasi gila Vidwan.Krish yang memilih untuk tetap duduk di tepian ranjang, tidak juga mau melepas pandangan dari sosok Grisse. Krish tahu pikiran Grisse sedang kalut. Sekalut pikiran Krish sendiri, tapi Krish tidak mau berlarut-larut dalam mengikuti pikirannya. Prinsipnya, selama belum terjadi, maka tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Dan Krish ingin sekali Grisse juga bisa mempunyai pikiran seperti itu. Setelah beberapa saat berlalu tanpa aktivitas yang berarti, Krish kem
"Kau mau di atas?" Tanya Krish dengan napas terengah. Krish dan Grisse baru saja mengakhiri sesi pertama bercinta mereka dengan gaya yang terbilang sering mereka terapkan. Grisse tidak langsung menjawab. Gadis itu justru bereaksi dengan memejamkan kedua matanya kemudian diikuti dengan deret atas geliginya menggigit bibir bagian bawah. Cuping hidung Grisse juga kembang kempis sedari tadi, pertanda gadis itu tengah menahan diri agar tidak lepas kendali. "Hey!" Krish mencolek puncak hidung Grisse. Gadis itu sontak membuka kelopak matanya karena terkejut. Gigitan pada bibir bawah yang terlepas membuat sepasang bibirnya membuka, membentuk lingkaran yang tidak sempurna. "Bibirmu bisa berdarah jika terus kau gigiti seperti itu." Ujar Krish seraya menelengkan kepalanya. Lantas, laki-laki itu mengulum senyum tatkala dilihatnya Grisse yang semakin salah tingkah. Krish juga gemas melihat Grisse yang perlahan memerah mukanya. "Aku tahu kau menginginkannya." Ujar Krish yang kemudian memilih b
Grisse menanti Krish untuk memulai kembali permainan dengan harap-harap cemas. Pasalnya, Krish meminta Grisse untuk membungkukkan badan dan sedikit membentangkan jarak di antara kedua kakinya. Dalam posisi seperti ini, kecemasan Grisse lebih didasarkan pada satu hal: lupa. Ya, Grisse sangat khawatir Krish lupa dengan apa yang pernah disampaikannya pada laki-laki itu dulu. Aku tidak mau bagian belakangku dimasuki apa pun.Meskipun Grisse mengatakannya dengan nada bercanda, tapi ia melakukannya semata-mata agar Krish tidak tersinggung. Grisse tidak tahu kebiasaan apa saja yang dilakukan Krish ketika berhubungan intim. “Krish.” Panggil Grisse yang mulai merasakan pegal pada area bahu juga punggungnya. Krish tidak menyahut. "Krish, apa kau mendengarku?" Ulang Grisse yang telah menegakkan punggungnya akibat menunggu Krish terlalu lama. Grisse langsung memutar tubuhnya, mencari tahu keberadaan Krish dan apa yang sedang laki-laki itu kerjakan sehingga tidak sempat menyahut panggilannya.