Share

Bab 1 Aku Ingin Dia!

Author: J Shara
last update Last Updated: 2025-08-12 18:04:28

“Mana pemilik tempat ini?!” teriak seorang pria, suaranya bergemuruh memenuhi ruang karaoke mewah itu. Beberapa LC yang berdiri di tepi ruangan saling bertukar pandang cemas.

“Bagaimana mungkin tempat kelas kakap seperti ini punya LC dengan penampilan seperti ini?!” lanjutnya, menuding para wanita yang terkejut itu dengan gerakan kasar.

Seorang manajer yang berkeringat maju, berusaha menenangkan suasana. “Tolong, Pak… kami masih punya LC lain, kalau Bapak mau kami akan ganti.”

Pria itu mencibir. “Untuk apa? Semua terlihat sama buruknya seperti yang tadi.” Ia menatap sinis. “Bos saya ingin bicara langsung dengan pemiliknya. Sekarang.”

Manajer itu melirik gugup ke arah seorang pria bersetelan rapi yang duduk tenang di sofa—Neil, putra bungsu dari keluarga konglomerat berpengaruh. Dia belum mengucapkan sepatah kata pun, tapi kehadirannya saja sudah mendominasi ruangan. Manajer itu menelan ludah.

“B-baik, saya akan panggil pemiliknya sekarang juga,” ucapnya dengan membungkuk, lalu bergegas keluar.

“Tenang saja, Bos,” ujar pria yang berdiri di samping Neil—asisten setianya. “Kalau Bos benar-benar kecewa, kita bisa gugat pemilik tempat ini. Tapi sejauh ini, ini salah satu tempat dengan rating terbaik.”

Neil tidak menjawab. Matanya menatap chandelier di langit-langit, rahangnya mengeras, wajahnya dingin tanpa terbaca.

Beberapa menit kemudian, terdengar ketukan lembut di pintu.

Tok tok.

Pintu terbuka, dan semua mata beralih pada seorang wanita muda yang melangkah masuk. Gaun bodycon hitam membalut tubuhnya dengan sempurna. Rambut coklat gelap panjang bergelombang jatuh di punggungnya, menambah kesan elegan sekaligus menggoda.

“Selamat malam. Saya Selena, pemilik Selena's Dream. Ada yang bisa saya bantu?” sapanya dengan senyum sopan.

Namun begitu matanya bertemu dengan Neil, ekspresinya sedikit berubah.

Astaga… apa yang dia lakukan di sini?! paniknya dalam hati.

Dia tidak boleh tahu kalau Lena sebenarnya… aku!

Asisten Neil berdiri, terperangah. “A-anda pemiliknya?” gagapnya. “Anda masih muda sekali…”

Selena hanya membalas dengan senyum tipis.

Asisten itu buru-buru mengingat tujuan mereka. “Begini, Bos saya tidak puas dengan LC yang disediakan malam ini.”

Selena melirik sekilas pada Neil sebelum menatap sang asisten. “Kalau para wanita yang kami pilih tidak sesuai harapan, kami bisa menawarkan—”

“Bagaimana kalau kau yang menemaniku saja?” potong Neil dengan suara dalam dan halus. Tajam, namun tenang.

Ruangan langsung sunyi.

Asisten Neil membeku, bahkan para pemandu di dekat pintu ikut terkejut.

“Bos…” bisik asistennya hati-hati. “Dia pemilik tempat ini…”

“Lalu kenapa?” tatapan Neil menusuk langsung pada Selena, sulit ditebak.

Selena menarik napas panjang, berusaha tetap tenang. “Maaf, Tuan… saya bukan LC,” jawabnya lembut, meski jantungnya berdegup kencang.

“Begini Bos, bagaimana kalau kita lihat saja yang lain. Mungkin ada yang lebih cantik…” bujuk asistennya.

Tapi Neil tetap tak bergeming. “Aku tetap mau dia.”

Nada suaranya tidak keras, tapi tegas dan tak terbantahkan.

Asisten itu mulai panik. Ia tahu, kalau bosnya tidak mendapatkan apa yang diinginkan, ini tak akan berhenti hanya pada keluhan—bisa berakhir jauh lebih buruk.

“U-uh, Bos, mungkin sebaiknya—”

“Baiklah.” Suara lembut itu memotongnya.

Semua menoleh pada Selena. Bahkan Neil sedikit mengangkat alisnya.

“Aku akan menemani Anda malam ini… hanya malam ini,” ucap Selena dengan senyum kecil. “Sebagai bentuk itikad baik untuk layanan di tempat ini.”

Asisten menghela napas lega. “T-terima kasih, Nona Selena. Itu… solusi yang baik.”

Selena memberi isyarat pada para LC untuk keluar. Mereka saling pandang ragu, tapi akhirnya pergi satu per satu.

Kini hanya tersisa mereka bertiga.

Selena duduk di samping Neil. Ekspresinya tenang, meski matanya waspada mengamati setiap gerak pria itu.

“Bos kami jarang sekali datang ke tempat seperti ini,” ujar sang asisten mencoba mencairkan suasana. “Malam ini spesial.”

“Begitu ya,” balas Selena dengan senyum tipis. “Kalau begitu, mari kita buat malam ini berkesan.”

Ia meraih remote karaoke, memilih lagu lama romantis. Saat musik mengalun, suaranya mengisi ruangan dengan lembut, menghangatkan udara yang semula tegang.

Asisten ikut bernyanyi sambil tertawa canggung.

Namun Neil hanya diam. Matanya tak lepas dari Selena. Tanpa berkata apa-apa, ia mengamati setiap gerakannya. Dalam hati, ia mengakui—wanita ini bukan hanya cantik.

Ia anggun. Tak tersentuh. Misterius.

Dan entah kenapa, ia menginginkannya—bukan hanya untuk karaoke. Tapi jauh lebih dari itu.

---

Langkah kaki Lena bergema pelan di lorong lantai atas rumah megah itu. Dinding putih tinggi menjulang, dihiasi lukisan klasik berbingkai emas yang tampak mahal. Lena bergumam pelan, nyaris berbisik pada dirinya sendiri.

“Gila, rumah ini besar banget. Kalau orang nyasar masuk, bisa-bisa nggak nemu jalan keluar,” ucapnya sambil menoleh ke sekitar.

Ia menyeka keringat di pelipis. Pendingin ruangan memang sejuk, tapi hatinya terbakar oleh campuran cemas dan tidak nyaman. Sejak resmi menikah dengan Axel—semuanya karena tekanan keluarga—Lena tak pernah merasa benar-benar menjadi bagian dari rumah ini.

Tiba-tiba, dari ujung lorong, muncul sosok tinggi yang melangkah penuh percaya diri. Neil. Lagi-lagi pria itu.

Sial! Orang menyebalkan itu lagi! paniknya dalam hati. Cepat-cepat Lena menunduk, pura-pura sibuk menatap lantai.

Neil terus berjalan mendekat. Langkahnya terlalu ringan untuk terdengar. Mungkin dia nggak sadar aku di sini, harap Lena. Tapi saat Neil melewatinya tanpa sepatah kata, Lena merasa sedikit lega. Ia bersiap melangkah cepat pergi.

Namun suara dalam itu menghentikannya.

“Hei, kamu…”

Lena membeku. Ya Tuhan, kenapa dia manggil aku? Jantungnya berdentum keras.

Perlahan ia berbalik, memaksakan senyum yang kaku. “Iya, Om?”

Neil menyipitkan mata. “Kamu istrinya Axel, kan?”

“Iya, Om,” jawab Lena, suaranya masih bergetar.

“Oh… baiklah.”

Neil langsung berbalik, menuruni tangga tanpa ekspresi. Lena mengernyit bingung, tapi tak punya waktu untuk memikirkannya. Ia segera menuju kamarnya, ingin menghindari pertemuan tak menyenangkan lagi malam itu.

Namun langkahnya terhenti begitu pintu kamar terbuka.

“Ahh… Axel… lebih cepat!”

Suara desahan itu terdengar jelas, begitu pula guncangan di atas ranjang.

Mata Lena membelalak. Di depannya, Axel tengah berhubungan intim dengan wanita berambut panjang yang sangat cantik. Gaun merah wanita itu tergeletak kusut di lantai. Lena menjerit spontan.

“AAAAAAA!”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Hasrat Terlarang Paman Suamiku   Bab 71 Bayangan yang Kembali

    Suara detak jam di ruangan kerja Lena terdengar jelas di antara keheningan yang tegang. Ia masih terpaku di tempat, menatap sosok yang berdiri beberapa meter darinya—sosok yang selama ini hanya hidup dalam kenangan, dalam doa, dan dalam mimpinya yang paling dalam.“Se–Selena…?” suara Lena bergetar, nyaris tak percaya.Perempuan di hadapannya tersenyum lembut. Wajahnya sama persis, hanya saja rambutnya lebih pendek, dipotong seleher dengan poni tipis yang membuatnya terlihat lebih segar dan muda.“Elena,” ucapnya pelan, “kenapa? Kau tidak senang melihat aku?”Lena menitikkan air mata. Tubuhnya gemetar, dadanya terasa sesak oleh rindu yang menahun.Tanpa menjawab, ia langsung berlari memeluk saudara kembarnya itu erat-erat.Tangisnya pecah, sesenggukan memenuhi ruangan.“Selena… Tuhan… aku pikir kau sudah—”“Ssst…” Selena mengusap punggung Lena lembut, “aku tahu. Aku tahu semua orang pikir aku sudah mati. Tapi aku di sini, Lena. Aku hidup.”Pelukan itu berlangsung lama, seolah mereka me

  • Hasrat Terlarang Paman Suamiku   Bab 70 Dua Wajah, Satu Bayangan

    Siang itu, denting sendok bertemu dinding cangkir jadi latar kecil yang tak putus-putus. Lena—dengan wig cokelat madu dan kacamata tipis yang membuatnya tampak seperti “Selena”—mengetuk-ngetukkan jari ke meja marmer, mengukur detik dengan sabarnya. Aroma kopi panggang memenuhi ruang; lampu gantung kristal menumpahkan cahaya hangat ke sofa beludru. Di balik senyum yang ia latih, dadanya tetap berdegup lebih cepat dari biasanya. Pintu kaca berdering pelan. Axel menjejak masuk, tergesa, napasnya sedikit memburu. Jasnya kebesaran setengah nomor, mungkin dipinjam dari kursi kantor, bukan dari hanger. Ia melihat sekeliling, menemukan Lena, dan melangkah cepat. “Selena, sayang… maafkan aku telat,” katanya, langsung duduk di hadapannya. “Ada rapat dadakan. Aku—” Lena mengangkat tangan, senyum manis di bibirnya. “Tidak begitu lama, kok. Aku mengerti.” Seorang barista datang dengan buku menu, menunduk sopan. “Selamat siang. Bolehkah saya ambil pesanan minumannya?” “Americano panas,” ujar A

  • Hasrat Terlarang Paman Suamiku   Bab 69 Antara Aku, Kau, dan Rahasia Itu

    Pagi itu seharusnya menjadi pagi yang tenang. Namun suasana meja makan keluarga itu justru penuh ketegangan yang nyaris bisa dipotong dengan pisau.Cahaya matahari masuk dari jendela besar ruang makan, menimpa meja panjang berlapis taplak putih. Aroma roti panggang dan kopi hangat menguar, tapi tidak ada yang menyentuhnya dengan riang seperti biasanya.Axel duduk di ujung meja, menunduk pada piringnya. Sendok di tangannya hanya berputar tanpa arah di dalam sup yang sudah hampir dingin.Neil duduk di seberangnya, membaca koran tanpa benar-benar membacanya. Matanya tajam, tapi kosong.Lena duduk di antara mereka berdua, matanya berpindah-pindah seperti bola pingpong, menatap Axel lalu Neil, berharap salah satu dari mereka berbicara.Namun tak ada yang membuka mulut.“Ehm...” Elizabeth berdehem pelan, mencoba memecah suasana. “Supnya hari ini agak asin ya, mungkin aku kebanyakan garam.”Tak ada respons. Hanya dentingan sendok Axel yang pelan menabrak mangkuk, dan suara Neil melipat koran

  • Hasrat Terlarang Paman Suamiku   Bab 68 Malam yang Retak

    Lampu-lampu kristal di lobi hotel masih berpendar lembut, memantulkan cahaya dari gaun-gaun mewah yang lewat. Musik pesta yang tadinya hingar bingar kini tinggal gema samar. Lena berdiri anggun di depan pintu kaca besar yang terbuka otomatis setiap kali tamu lewat. Senyumnya masih tersisa, lembut dan tenang — seolah pesta belum benar-benar berakhir baginya. “Sayang, kau tunggu di sini ya. Aku ambil mobil dulu di parkiran.” Suara Axel terdengar di telinganya, penuh kasih dan sedikit lelah. Lena mengangguk sambil tersenyum. “Oke, jangan lama-lama, ya. Tumitku sudah menjerit.” Axel terkekeh kecil. “Sepatu itu terlalu tinggi, aku sudah bilang.” “Dan kau juga yang bilang, aku tampak cantik dengan sepatu ini.” “Ya, memang begitu,” ucap Axel sebelum berlari kecil menuju lift. Senyum Lena melebar melihatnya, pria itu selalu punya cara membuatnya merasa istimewa. Namun kebahagiaan itu tak bertahan lama. Tiba-tiba, sebuah tangan kuat menariknya dari sisi kanan. Lena nyaris kehila

  • Hasrat Terlarang Paman Suamiku   Bab 67 Degub Saat Memandangmu

    Aroma kopi baru diseduh menari dari ujung meja. Sinar matahari menyusup lewat tirai tipis, memecah warna di atas piring porselen yang berkilau. Di meja makan keluarga itu, percakapan dimulai oleh satu suara yang paling percaya diri. “Aku bilang apa? Akhirnya mereka luluh,” ujar Axel seraya menepuk ringan ponsel di meja, dagunya terangkat. “Klien New York itu keras kepala, tapi aku bikin mereka lihat nilai jangka panjang. Closing. Hitam di atas putih.” Richard melirik istrinya, Elizabeth, lalu mengangguk bangga. “Kerja bagus, Nak. Kau menepati target.” Elizabeth tersenyum lembut. “Mamanya bangga. Kau tumbuh jadi pria yang tahu peluang.” Axel menyandar, menatap seluruh meja. “Kelak, aku akan jadi pewaris Ayah. Aku ini hebat, kan?” Di ujung meja, Lena menunduk, memecah roti panggangnya kecil-kecil. Ia tidak menanggapi. Pipinya hangat—bukan karena bangga pada suaminya, melainkan karena tatapan seorang pria di seberang: Neil. Setiap kali Lena tanpa sengaja melirik, Neil sudah lebih

  • Hasrat Terlarang Paman Suamiku   Bab 66 Pelepasan Nikmat

    Neil terdiam, menatap miliknya yang “terbangun”. Sementara Lena menelan ludahnya memandang “barang” yang masih tertutupi celana itu.Astaga.. besar sekali, dalam hati Lena berkata takjub. “Neil.. kau tidak apa-apa?” tanya Lena.Neil menghela napas pelan. “Tidak apa-apa, biarkan saja.” Neil lalu kembali berbaring di samping Lena dan memandang Lena dengan penuh arti.“Ta-tapi… itu…” Lena menunjuk milik Neil lagi.Neil terkekeh pelan. “Sudah, biarkan saja!” lalu lelucon gila terlintas di otaknya, “atau kau mau membantuku?” godanya sambil tersenyum jahil. Lena terdiam sejenak hingga ia berkata. “Kau sudah melakukannya padaku, dan aku merasa harus membalasnya.”Wajah Neil mendadak menjadi serius. Ia mengubah posisinya menjadi duduk tegak. “Kau jangan merasa terpaksa begitu! Lebih baik tidak usah,” ucapnya.“Tapi… aku… tak ingin puas sendiri. Aku akan merasa bersalah jika tak membuatmu “keluar”. Lagipula.. aku hanya memegangnya, kan?Neil terhenyak sejenak hingga ia mengerti seperti apa p

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status