Share

Hasrat Terlarang Paman Suamiku
Hasrat Terlarang Paman Suamiku
Penulis: J Shara

PROLOG

Penulis: J Shara
last update Terakhir Diperbarui: 2025-08-12 17:47:31

"Ih, dia jelek banget! Kenapa aku harus menikah dengan perempuan jelek ini, Ma?!" teriak Axel lantang di ruang tamu mewah itu, menatap Lena dengan pandangan penuh jijik. Lena berdiri kikuk dalam pakaian lusuhnya.

"Tutup mulutmu!" bentak Richard, ayah Axel, dengan suara tegas dan berwibawa. "Dia sekarang adalah istrimu, dan kamu harus menghormatinya!"

Axel mendengus. “Aku tidak mau punya istri jelek seperti dia! Lihat saja! Rambut dikepang, kacamata tebal seperti kaca pembesar, dan—ugh—wajahnya penuh bekas jerawat! Ini penghinaan!”

Lena menunduk, menahan air mata. Dengan lembut ia mencoba menyentuh lengan suaminya yang baru dinikahi. "Sayang... kenapa bicara begitu? Aku ini istrimu..."

Alih-alih menjawab, Axel menepis kasar tangannya. "Jangan sentuh aku!"

Dorongan itu membuat Lena terseret ke belakang, kehilangan keseimbangan. Tubuh mungilnya menabrak seseorang yang berdiri diam di belakangnya.

Brak!

“Ah!” Lena terkesiap pelan.

Ia cepat menoleh dan mendapati sosok lelaki tinggi tegap dalam setelan jas hitam rapi. Wajahnya tampan dan tegas, dengan sorot mata yang memerintah.

“Ada apa ini?” tanyanya dengan suara dalam dan berwibawa.

“Om!” Axel maju selangkah. “Om lihat sendiri, kan? Betapa jeleknya perempuan ini? Dan aku... aku harus menikah dengannya karena pernikahan konyol yang diatur! Ini gila!”

Lelaki itu—Neil—menatap Axel dengan ekspresi tak terbaca. Tatapan dinginnya membuat semua orang bergidik.

Perlahan, matanya beralih pada Lena. Ia mengamati gadis itu dari kepala sampai kaki. Kepangan aneh, kacamata tebal yang menutupi matanya, wajah polos penuh bekas jerawat, dan daster gombrongnya.

Namun Neil tak berkata apa-apa. Ia hanya menghela napas, berjalan melewati mereka, lalu menaiki tangga tanpa menoleh lagi.

“Memangnya kenapa sih?” ujar Elizabeth, ibu Axel. “Axel, bawa istrimu ke kamarmu sekarang. Dia perlu istirahat. Kasihan, baru saja datang dari rumah neneknya.”

Axel menoleh tajam. “Siapa juga yang mau sekamar dengan si itik buruk rupa ini?”

“Axel!” hardik Richard keras.

“Aku sudah muak dengan pernikahan konyol ini! Aku tidak akan pura-pura mencintai perempuan jelek ini! Aku pergi!”

“Axel! Dasar anak tidak tahu diuntung!” bentak Richard lagi, lebih marah, tapi Axel sudah membanting pintu dan pergi.

Keheningan menyelimuti ruangan. Lena berdiri mematung, menahan air mata yang hampir jatuh. Elizabeth menghampirinya, menepuk punggungnya lembut.

“Sayang... ayo, Mama antar ke kamar, ya?”

Lena hanya mengangguk. Ia menarik koper di belakangnya, mengikuti ibu mertuanya tanpa suara.

Kamar itu luas, dengan ranjang empuk dan kamar mandi pribadi. Namun bagi Lena, tempat ini terasa asing. Bukan rumah—melainkan sangkar emas.

“Maafkan Axel. Dia hanya butuh waktu untuk menerimamu sebagai istrinya. Jangan sedih, nanti juga dia berubah,” ucap Elizabeth menenangkan.

Lena memaksa tersenyum. Senyum tipis yang lebih menyakitkan daripada air mata.

“Baiklah, istirahatlah malam ini. Kamu pasti lelah,” ujar Elizabeth lembut, lalu menutup pintu.

Begitu suara langkah itu menghilang, Lena langsung bergerak cepat. Ia mengunci pintu, nyaris tertawa pada dirinya sendiri—tak menyangka bisa berakting sebaik itu. Ia menoleh pada jam tangan.

Pukul 8 malam. Saatnya.

Ia membuka koper besar di samping ranjang, mengeluarkan kaos santai dan celana kulot, lalu berganti pakaian dengan cepat.

Di balik penampilan polos dan canggung itu… tersembunyi Lena yang sama sekali berbeda.

Ia memasukkan gaun hitam menawan ke dalam tas, membuka jendela, lalu melompat hati-hati ke taman belakang. Gerakannya cepat, melewati gerbang belakang rumah mewah itu.

“Nyonya?” sapa satpam yang berjaga, sedikit heran. “Mau ke mana malam-malam begini?”

Lena menebar senyum manis, lalu mengeluarkan beberapa lembar uang dari dompetnya. “Tolong jangan bilang siapa pun kalau aku keluar malam ini, ya?”

Satpam itu sempat ragu, tapi akhirnya mengangguk. “Baik.”

Lena melangkah cepat menuju mobil putih yang sudah terparkir tak jauh. Seorang wanita muda duduk di kursi kemudi, menunggunya.

“Nona? Kenapa berdandan seperti itu?” tanya wanita itu, heran melihat perubahan make up Lena tidak seperti biasanya.

“Tidak apa-apa. Ayo jalan,” jawab Lena dingin.

Mobil itu melaju kencang menembus gemerlap kota, menuju sebuah tempat hiburan malam terkenal bernama Selena’s D****e.

Malam baru saja dimulai.

Dan Lena… bukanlah wanita seperti yang suaminya kira.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Hasrat Terlarang Paman Suamiku   Bab 71 Bayangan yang Kembali

    Suara detak jam di ruangan kerja Lena terdengar jelas di antara keheningan yang tegang. Ia masih terpaku di tempat, menatap sosok yang berdiri beberapa meter darinya—sosok yang selama ini hanya hidup dalam kenangan, dalam doa, dan dalam mimpinya yang paling dalam.“Se–Selena…?” suara Lena bergetar, nyaris tak percaya.Perempuan di hadapannya tersenyum lembut. Wajahnya sama persis, hanya saja rambutnya lebih pendek, dipotong seleher dengan poni tipis yang membuatnya terlihat lebih segar dan muda.“Elena,” ucapnya pelan, “kenapa? Kau tidak senang melihat aku?”Lena menitikkan air mata. Tubuhnya gemetar, dadanya terasa sesak oleh rindu yang menahun.Tanpa menjawab, ia langsung berlari memeluk saudara kembarnya itu erat-erat.Tangisnya pecah, sesenggukan memenuhi ruangan.“Selena… Tuhan… aku pikir kau sudah—”“Ssst…” Selena mengusap punggung Lena lembut, “aku tahu. Aku tahu semua orang pikir aku sudah mati. Tapi aku di sini, Lena. Aku hidup.”Pelukan itu berlangsung lama, seolah mereka me

  • Hasrat Terlarang Paman Suamiku   Bab 70 Dua Wajah, Satu Bayangan

    Siang itu, denting sendok bertemu dinding cangkir jadi latar kecil yang tak putus-putus. Lena—dengan wig cokelat madu dan kacamata tipis yang membuatnya tampak seperti “Selena”—mengetuk-ngetukkan jari ke meja marmer, mengukur detik dengan sabarnya. Aroma kopi panggang memenuhi ruang; lampu gantung kristal menumpahkan cahaya hangat ke sofa beludru. Di balik senyum yang ia latih, dadanya tetap berdegup lebih cepat dari biasanya. Pintu kaca berdering pelan. Axel menjejak masuk, tergesa, napasnya sedikit memburu. Jasnya kebesaran setengah nomor, mungkin dipinjam dari kursi kantor, bukan dari hanger. Ia melihat sekeliling, menemukan Lena, dan melangkah cepat. “Selena, sayang… maafkan aku telat,” katanya, langsung duduk di hadapannya. “Ada rapat dadakan. Aku—” Lena mengangkat tangan, senyum manis di bibirnya. “Tidak begitu lama, kok. Aku mengerti.” Seorang barista datang dengan buku menu, menunduk sopan. “Selamat siang. Bolehkah saya ambil pesanan minumannya?” “Americano panas,” ujar A

  • Hasrat Terlarang Paman Suamiku   Bab 69 Antara Aku, Kau, dan Rahasia Itu

    Pagi itu seharusnya menjadi pagi yang tenang. Namun suasana meja makan keluarga itu justru penuh ketegangan yang nyaris bisa dipotong dengan pisau.Cahaya matahari masuk dari jendela besar ruang makan, menimpa meja panjang berlapis taplak putih. Aroma roti panggang dan kopi hangat menguar, tapi tidak ada yang menyentuhnya dengan riang seperti biasanya.Axel duduk di ujung meja, menunduk pada piringnya. Sendok di tangannya hanya berputar tanpa arah di dalam sup yang sudah hampir dingin.Neil duduk di seberangnya, membaca koran tanpa benar-benar membacanya. Matanya tajam, tapi kosong.Lena duduk di antara mereka berdua, matanya berpindah-pindah seperti bola pingpong, menatap Axel lalu Neil, berharap salah satu dari mereka berbicara.Namun tak ada yang membuka mulut.“Ehm...” Elizabeth berdehem pelan, mencoba memecah suasana. “Supnya hari ini agak asin ya, mungkin aku kebanyakan garam.”Tak ada respons. Hanya dentingan sendok Axel yang pelan menabrak mangkuk, dan suara Neil melipat koran

  • Hasrat Terlarang Paman Suamiku   Bab 68 Malam yang Retak

    Lampu-lampu kristal di lobi hotel masih berpendar lembut, memantulkan cahaya dari gaun-gaun mewah yang lewat. Musik pesta yang tadinya hingar bingar kini tinggal gema samar. Lena berdiri anggun di depan pintu kaca besar yang terbuka otomatis setiap kali tamu lewat. Senyumnya masih tersisa, lembut dan tenang — seolah pesta belum benar-benar berakhir baginya. “Sayang, kau tunggu di sini ya. Aku ambil mobil dulu di parkiran.” Suara Axel terdengar di telinganya, penuh kasih dan sedikit lelah. Lena mengangguk sambil tersenyum. “Oke, jangan lama-lama, ya. Tumitku sudah menjerit.” Axel terkekeh kecil. “Sepatu itu terlalu tinggi, aku sudah bilang.” “Dan kau juga yang bilang, aku tampak cantik dengan sepatu ini.” “Ya, memang begitu,” ucap Axel sebelum berlari kecil menuju lift. Senyum Lena melebar melihatnya, pria itu selalu punya cara membuatnya merasa istimewa. Namun kebahagiaan itu tak bertahan lama. Tiba-tiba, sebuah tangan kuat menariknya dari sisi kanan. Lena nyaris kehila

  • Hasrat Terlarang Paman Suamiku   Bab 67 Degub Saat Memandangmu

    Aroma kopi baru diseduh menari dari ujung meja. Sinar matahari menyusup lewat tirai tipis, memecah warna di atas piring porselen yang berkilau. Di meja makan keluarga itu, percakapan dimulai oleh satu suara yang paling percaya diri. “Aku bilang apa? Akhirnya mereka luluh,” ujar Axel seraya menepuk ringan ponsel di meja, dagunya terangkat. “Klien New York itu keras kepala, tapi aku bikin mereka lihat nilai jangka panjang. Closing. Hitam di atas putih.” Richard melirik istrinya, Elizabeth, lalu mengangguk bangga. “Kerja bagus, Nak. Kau menepati target.” Elizabeth tersenyum lembut. “Mamanya bangga. Kau tumbuh jadi pria yang tahu peluang.” Axel menyandar, menatap seluruh meja. “Kelak, aku akan jadi pewaris Ayah. Aku ini hebat, kan?” Di ujung meja, Lena menunduk, memecah roti panggangnya kecil-kecil. Ia tidak menanggapi. Pipinya hangat—bukan karena bangga pada suaminya, melainkan karena tatapan seorang pria di seberang: Neil. Setiap kali Lena tanpa sengaja melirik, Neil sudah lebih

  • Hasrat Terlarang Paman Suamiku   Bab 66 Pelepasan Nikmat

    Neil terdiam, menatap miliknya yang “terbangun”. Sementara Lena menelan ludahnya memandang “barang” yang masih tertutupi celana itu.Astaga.. besar sekali, dalam hati Lena berkata takjub. “Neil.. kau tidak apa-apa?” tanya Lena.Neil menghela napas pelan. “Tidak apa-apa, biarkan saja.” Neil lalu kembali berbaring di samping Lena dan memandang Lena dengan penuh arti.“Ta-tapi… itu…” Lena menunjuk milik Neil lagi.Neil terkekeh pelan. “Sudah, biarkan saja!” lalu lelucon gila terlintas di otaknya, “atau kau mau membantuku?” godanya sambil tersenyum jahil. Lena terdiam sejenak hingga ia berkata. “Kau sudah melakukannya padaku, dan aku merasa harus membalasnya.”Wajah Neil mendadak menjadi serius. Ia mengubah posisinya menjadi duduk tegak. “Kau jangan merasa terpaksa begitu! Lebih baik tidak usah,” ucapnya.“Tapi… aku… tak ingin puas sendiri. Aku akan merasa bersalah jika tak membuatmu “keluar”. Lagipula.. aku hanya memegangnya, kan?Neil terhenyak sejenak hingga ia mengerti seperti apa p

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status