LOGINSinar matahari yang pucat memaksa masuk melalui celah tirai jendela panjang. Sentuhannya terasa lembut tetapi sedikit menyilaukan di kelopak mata Tara. Wanita itu menggeliat. Otot-ototnya kaku. Sisa kehangatan perlahan menguap dari sisi ranjangnya yang sekarang kosong. Tara mengerjap menyesuaikan penglihatan dengan cahaya dari luar. Memorinya kembali pada jam-jam sebelumnya. Pada sentuhan Greg yang intens, hampir menghakimi, tetapi penuh damba. Membuat Tara merasa dilihat dan ditemukan. Setelah bertahun-tahun bersembunyi di balik topeng pustakawan pemalu dan penulis tanpa nama. Perasaan itu di satu sisi menghadirkan semacam harapan. Di sisi lainnya membawa ancaman. Sebab, Tara tahu, seseorang di luar sana tak akan senang. Wanita itu memejam sekali lagi seraya menarik napas dalam. Mengusir bayang-bayang yang selalu menghantui bahkan sejak hari baru saja dimulai. Samar-samar, aroma parfum bercampur keringat Greg tercium memberi sedikit kenyamanan yang aneh. Aroma itu menem
Rachel perlahan menarik kembali wajahnya. Wanita itu tidak mengelus hidungnya yang memerah dan nyeri. Jemarinya justru meraih pinset dari kotak peralatan dengan gerakan mekanis yang kaku. Tatapannya masih terkunci pada Greg. Sama sekali tidak bergeser seperti menunggu terlepasnya topeng detektif yang dingin dan rasional di wajah atasannya itu. "Kau tegang sekali, Greg," bisik Rachel kali ini terdengar dingin. Melupakan kenyataan bahwa dia sendiri telah lalai. Suaranya tenggelam di antara bunyi jepretan kamera forensik. "Tenang saja. Hidungku hanya sedikit nyeri. Jika itu yang kau khawatirkan." Greg tidak menyahut. Dia tahu Rachel sedang menyindir. Pria itu hanya berdiri mematung, tangannya yang tadi merentang kini mengepal di sisi tubuh. Rachel masih membungkuk. Dengan keahlian seorang petugas yang sering menangani bukti di lapangan, wanita itu menarik lembaran kertas yang terhimpit di bawah pelipis kaku Lana. Kertas itu tidak berlumuran darah, hanya sedikit lembab. Di perm
Greg memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi. Secepat detak jantung di bilik dadanya. Di luar jendela, bangunan dengan cat warna-warni yang menjadi ikon Notting Hill seakan berkelebat di kegelapan. Bagaikan keindahan yang tumbuh di balik kisah-kisah gelap yang Tara tulis. Yang sekarang menjadi bagian dari kehidupan yang Greg pilih. Pria itu tidak langsung menuju TKP. Dia menuju parkiran kantor polisi Hackney untuk berpindah ke mobil dinas. Bukan sekadar sebagai bentuk kepatuhan pada aturan. Akan tetapi juga sebagai pengingat, bahwa setiap kasus yang ditangani harus dipisahkan dengan kepentingan pribadi. Sungguh sebuah paradoks yang kini harus Greg jalani. Sebab objektivitas yang selama ini dia pertahankan itu… sekarang terasa jauh dari dirinya. Pria itu tiba lebih awal dari yang diperkirakan. Selain karena jalanan London yang masih lengang, lokasinya juga tak jauh dari kantor. Greg memarkir SUV dinasnya di sisi trotoar depan apartemen yang sudah dipadati mobil polisi dan am
Notting Hill pukul 03.32 belum menampakkan tanda kehidupan. Namun, bunyi gemerisik dari dedaunan pohon maple yang dihembus angin mulai mengusik tidur Greg. Pria itu mengerjap selama beberapa saat, menyesuaikan diri dengan ruang yang remang-remang. Cahaya lampu yang menyelinap dari balkon melalui celah tirai linen lamat-lamat menerangi penglihatannya. Bersama aroma hujan yang merambat masuk, menghapus sisa pergumulan semalam. Di atasnya, Tara masih terlelap. Tubuhnya yang lembab menghangati kulit Greg. Degub jantungnya yang stabil mengetuk rusuk pria itu. Rambut ikal panjangnya yang berantakan menyelimuti dada dan lengan Greg yang telanjang. Wajah putih porselennya dihiasi semburat merona yang samar di tulang pipi. Sisa kepuasan yang mereka bagi beberapa jam lalu. Meskipun tubuhnya harus membayar dengan keletihan yang meremukkannya sampai ke tulang. Senyum samar terbit di wajah Greg mendapati napas wanita itu terdengar halus dan teratur. Tak ada tanda serangan panik yang menceki
Pukul 03.14 pagi di sebuah apartemen mewah di kawasan Canary Wharf, seorang pria berusia akhir empat puluh tahun duduk menghadap meja besar. Punggungnya membelakangi jendela yang terbuka lebar. Piyama sutra berwarna gelap yang dipakainya basah dan menempel di dada. Angin kencang, yang membersamai gerimis kecil, meniup jauh tirai panjang dari floor-to-ceiling window. Menampar-nampar daun jendela ke kanan dan ke kiri, menimbulkan bunyi derit dan tumbukan. Juga menerbangkan lembaran kertas yang semula diletakkan di sudut meja hingga jatuh ke karpet kasmir. Ian Locke, nama pria tadi, tidak bereaksi. Tidak beranjak. Tidak bergerak sedikitpun. Seperti terlalu dalam tenggelam pada naskah fiksi yang harus diselesaikannya. Di ruangan sebelah, di atas ranjang king size, Lana, istrinya, baru saja terjaga dari tidur. Wanita itu mengerjap, bergelung, tetapi tidak langsung beranjak. Pemberitaan dan pembicaraan mengenai Clarissa Maynard pelan menyusup lagi. Membawa perasaan ngeri yang sulit
Perpaduan asing antara derap menyenangkan dan berbahaya kian menyesaki ruang dadanya. Napas Tara memendek. Matanya bergerak cepat, berkaca-kaca, mencari kemarahan di mata Greg. Sesuatu yang mungkin bisa menghancurkannya detik ini juga. Dan… yang Tara takutkan, sekaligus anehnya dia harapkan, terjadi. Ditemukannya bara itu menatap di balik gairah yang tak mungkin bisa dipalsukan. Sebuah kebenaran yang membuat Tara meneguk ludah. Bibirnya, yang membengkak karena kelakuan Greg, bergetar saat mencoba mengeluarkan suara. “Aku… Aku lebih suka… ini… Sir…” Kata-kata itu meluncur begitu saja, mengkhianatinya, sebelum Tara sempat mempertimbangkannya. Tara bisa saja menganggap bahwa dirinya tengah dijebak. Ditarik ke dalam interogasi di luar aturan tanpa persetujuan penuh. Akan tetapi, wanita itu memilih bersandar pada harapan bahwa sensasi yang mereka bagi adalah kebenaran yang lebih nyata. Dengan putus asa, Tara memajukan wajahnya. Mencium bibir Greg. Mencoba menyeret sang detektif kelu







