Ayla berjalan gontai melewati koridor villa yang senyap, hanya suara langkah hak tingginya yang terdengar mengetuk-ngetuk lantai kayu. Lampu lorong temaram, dan bayangannya mengikuti di dinding, seperti mengingatkannya pada apa yang baru saja ia lakukan.Entah mengapa malam itu terasa lebih sepi dari hari biasanya. Begitu pintu kamarnya terbuka dan tertutup kembali, dia mendesah keras.“Sialan, Ayla…” gumamnya dengan separuh napas. Ia melepaskan clutch kecil dari tangannya dan melemparkannya asal ke atas tempat tidur. “Bagaimana mungkin kau menciumnya!” Kali ini suara gerutunya terdengar lebih keras, nyaris marah. “Brengsek…”Ia menjatuhkan diri duduk di tepi ranjang, kemudian dengan kasar melepaskan sepatunya satu per satu, hingga kedua hak tinggi itu jatuh sembarangan ke lantai. Kakinya berdenyut, tapi bukan itu yang membuat kepalanya pening.Bibirnya masih hangat. Ia bisa mengingat tekanan ciumannya sendiri. Brutal, panas dan tak terkendali.“Ah, Ayla Dewita bodoh! Kau menggali ku
“Brengsek! Mengapa juga aku kesal.”Ayla mendengus seraya melangkah cepat, menuruni anak tangga dengan napas yang tetap teratur, meskipun dadanya sesak seperti dihimpit sesuatu yang tak kasat mata. Lampu-lampu bar yang remang memantulkan bayangannya di trotoar basah. Tidak ada air mata. Tidak ada kata. Hanya dingin. Kosong.Saat ia hampir melewati pintu keluar, sebuah suara memanggil pelan."Ayla."Suara berat itu membuatnya menghentikan langkah. Kenzo berdiri di sisi luar, bersandar di pagar besi dengan tangan dalam saku hoodie hitamnya. Matanya menatap Ayla dengan khawatir, tapi tidak mendesak. Ia tahu, perempuan itu sedang tidak butuh kalimat tanya.Ayla menoleh perlahan. Mata mereka bertemu dalam jarak yang cukup dekat."Apa kau mengikutiku?" tanyanya datar.Kenzo mengangkat bahu sedikit. “Cuma penasaran. Kau terlihat aneh tadi saat keluar dari villa tadi.”Ayla mendekat pelan. Tidak tergesa. Tapi dalam setiap langkahnya ada niat yang tajam. Napasnya masih stabil, wajahnya tetap
Lampu temaram menari-nari di langit-langit bar eksklusif yang terletak tak jauh dari lokasi syuting. Musik berdentum, bass berat bercampur irama elektronik yang menekan dada. Bau alkohol, parfum mahal, dan tubuh yang berkeringat memenuhi udara. Di sudut ruangan, bar panjang dengan kursi tinggi menghadap bartender yang cekatan meracik minuman.Victor duduk sendirian di kursi bar, mengenakan kemeja hitam yang bagian atasnya terbuka sedikit, memperlihatkan kulit lehernya yang kencang dan sebagian tulang selangka. Sebotol whiskey berdiri anggun di hadapannya, gelas kristal di tangan kanannya, dan tatapan kosong yang menembus kaca bar, seolah mencari sesuatu yang tak ada.“Sendirian?”Suara lembut tapi penuh tekanan itu datang dari arah kiri. Seorang wanita dengan rambut cokelat gelap yang diikat tinggi berdiri di sampingnya, kulitnya cokelat keemasan, kakinya panjang dalam balutan sepatu hak tinggi, dan tubuhnya hanya dibalut bikini hitam serta jaring tipis yang berkilau. Seorang penar
“Cut!”Suara lantang dari sutradara membuat seluruh tim produksi seolah menarik napas lega bersamaan. Beberapa detik kemudian, sorak kecil pun terdengar dari arah kru kamera.“Nice banget!” ucap salah satu asisten sutradara sambil mengacungkan jempol. “Great energy, guys!”“Terima kasih semuanya!” tim lighting berseru hampir bersamaan saat mulai mematikan lampu satu per satu.“Good job, Victor, Luna!” seru kru wardrobe sambil melintas membawa tumpukan kostum cadangan.Beberapa kru lain menepuk-nepuk bahu sesama, sebagian bercanda santai saat mulai membongkar peralatan. Suasana sedikit rileks, namun tetap teratur. Seseorang dari tim audio bahkan menyalakan musik ringan dari ponselnya, membuat suasana lebih santai. Beberapa peserta mulai berdiri dari kursi santai mereka, beringsut menuju area kamar untuk mengganti pakaian. Ada yang memesan jus kelapa muda dari kru katering yang baru datang.Victor berdiri perlahan dari kursi rotannya, mengambil sebotol air mineral dari atas meja bunda
Setelah sesi coffee talk yang cukup menguras emosi dan tawa, kru kemudian mengarahkan para peserta ke lokasi berikutnya.Area poolside. Sebuah set telah disiapkan. Payung rotan besar, kursi santai berlapis kain linen, dan minuman tropikal dalam gelas tinggi yang diletakkan di atas meja rotan bundar. Angin laut bertiup ringan, membawa serta aroma asin dan wangi kelapa dari lotion para peserta.Hari sudah condong ke siang, dan sinar matahari mulai mengintip malu-malu dari balik awan. Suara ombak tak jauh dari sana menyatu dengan derit kursi, gesekan sandal di lantai kayu, dan tawa ringan beberapa kru yang masih menyelesaikan set up.Luna duduk menyamping di salah satu kursi rotan. Gaun sundress putih tipis membalut tubuhnya dengan lembut, mengikuti lekuk punggung dan paha saat ia menyilangkan kaki dengan elegan. Bagian pundaknya terbuka, sengaja dibiarkan begitu agar kulitnya terkena matahari. Rambut hitam bergelombangnya ia biarkan lepas, dibiarkan tertiup angin tanpa banyak disisir.
Setelah sarapan, suasana vila pun perlahan berganti. Meja-meja sudah dibersihkan, kru kemudian mulai merapikan alat syuting, dan peserta satu per satu menuju kamar masing-masing untuk bersiap. Udara Bali mulai menghangat, tapi angin laut masih membelai lembut dedaunan kelapa.Ayla berdiri di bawah pohon kamboja di tepi halaman, mengecek ulang rundown yang terjepit di clipboard. Matanya menyapu area, melihat beberapa kru sedang menata kamera, lighting sudah mulai dipasang, dan makeup artist terlihat sibuk memoles para peserta di sisi lounge.“Pagi ini kita shoot first impression challenge,” kata Rini, salah satu asisten produser yang menghampirinya sambil membawa walkie-talkie.Ayla mengangguk. “Setting di taman depan vila, ya? Aku mau brief peserta dulu.”Langkahnya terarah, mantap seperti biasa, meski perasaannya belum sepenuhnya tenang.Di sudut taman yang rindang, Ayla memanggil peserta satu per satu. Mereka duduk melingkar di atas alas tikar rotan, mengenakan outfit kasual yang t
Pagi terasa tiba lebih cepat. Angin laut yang lembut menerpa tirai jendela kamar Ayla. Matahari belum tinggi, tapi hiruk pikuk sudah mulai terdengar dari dapur vila utama. Ayla berdiri di depan cermin, merapikan rambutnya yang digelung sederhana. Rona merah tipis masih tertinggal di pipinya, bekas malam sebelumnya yang tak kunjung benar-benar menghilang dari benaknya.Ayla menarik nafas berulangkali, “Ayla, kau hanya perlu bersikap biasa. Ya, bersikap biasa,” kata Ayla mengulang perkataannya seperti tengah membaca mantra. “Semalam, aku sedikit mabuk. Itu bukan apa-apa. Hanya insiden kecil biasa karena terbawa suasana. Ya, seperti itu.”Ayla menatap wajahnya di cermin dan meyakinkan diri sekali lagi. “Pun, itu hanya sekedar kecupan. Ayolah Ayla, kau tak mungkin seperti ini hanya karena sebuah kecupan bukan? Tidak seperti dirimu saja!”“Ya, apa salahnya dengan kecupan? Aku bahkan pernah menghabiskan satu malam dengan pria random di bar,” kata Ayla lagi. Setelah menarik nafas panjang
Malam semakin larut. Langit di atas taman kecil itu dihiasi kerlip bintang yang berserakan seperti pecahan perak. Lampu-lampu taman remang, menyisakan siluet lembut wajah Ayla yang disinari cahaya hangat dari dapur belakang.Kenzo duduk menemani di samping Ayla, tidak terlalu dekat, tapi cukup untuk merasakan hawa tubuh Ayla yang perlahan mulai rileks. Kaleng soda di tangannya sudah tinggal setengah, tetapi tak satu pun dari mereka berbicara lagi. Hening yang nyaman menggantikan semua kegaduhan hari itu.Ayla memejamkan mata sejenak, membiarkan angin menyapu rambutnya. Kenzo mengamatinya diam-diam, garis rahang yang tegas namun lembut, bibir yang sedikit basah oleh soda, dan mata yang sendu. Seolah menyimpan terlalu banyak luka.“Lucu, ya...” suara Kenzo pelan, seperti bisikan. “Kita berdua duduk di sini, padahal tadi siang hampir gak saling bicara.”Ayla membuka mata. Menoleh perlahan.“Lucu?” tanyanya balik.“Iya,” Kenzo tersenyum tipis. “Kadang kamu gak perlu waktu lama buat tahu
Langit Bali diselimuti bintang, angin laut berhembus lembut ke arah lounge rooftop tempat para peserta dan kru bersantai. Musik dari speaker kecil mengalun pelan, diselingi tawa-tawa ringan dan bunyi gelas bersentuhan. Beberapa minuman beralkohol beredar di meja, tidak banyak, hanya sekadar pemecah dingin malam.Ayla baru saja menyelesaikan review rekaman hari itu ketika ia naik ke atas untuk mengecek keadaan. Rambutnya diikat setengah, mata lelah tapi tetap awas. Ia tidak berniat tinggal lama, hanya memastikan semuanya terkendali, lalu kembali ke kamarnya.Tapi seseorang memanggilnya.“Ey, Ayla.”Suara itu serak. Dalam.Victor.Ia duduk sendirian di ujung sofa, satu botol bir setengah kosong di tangan. Tatapannya kosong menatap lautan malam, tapi ketika Ayla menoleh, sorot itu langsung menancap padanya.“Kau ngapain masih di sini?” tanya Ayla, berdiri agak jauh, menjaga jarak.Victor tersenyum miring, lalu meneguk minumannya. “Mungkin... menunggu kau datang.”Ayla menghela napas. “V