Home / Romansa / Hasrat Terpendam Papa Tiriku / Bab 01. Hari Pernikahan.

Share

Hasrat Terpendam Papa Tiriku
Hasrat Terpendam Papa Tiriku
Author: eslesta

Bab 01. Hari Pernikahan.

Author: eslesta
last update Last Updated: 2025-10-03 09:12:51

"Ma, ngapain sih nikah lagi?" pertanyaan itu meluncur begitu saja dari bibir mungil seorang gadis berusia 24 tahun.

Sang pengantin wanita yang menjadi objek dalam cermin besar, hanya tersenyum menanggapi pertanyaan putri satu-satunya itu. Wanita cantik itu bernama Sheila Anggraini.

"Mama!" tegur gadis itu lagi, kali ini dengan nada setengah tak sabar.

"Kalau ada pria baik yang bersedia memberikan rasa aman dan menawarkan pundaknya pada Mama, kenapa tidak?" jawabnya lembut, sambil memutar sedikit tubuhnya agar sang penata rias bisa menyempurnakan detail kebaya di punggungnya.

"Ya tapi Mama kan udah 44 tahun. Kenapa setelah 15 tahun menjanda, baru kepikiran menikah sekarang?"

"Itu karena baru ketemu jodohnya, Olivia Sayang," jawabnya singkat, matanya tak lepas dari bayangan dirinya di cermin—penuh harapan, tapi juga sedikit gugup.

Olivia, yang sejak tadi duduk di sofa beludru krem di sudut ruangan, bangkit sambil membetulkan lipatan gaun merah muda dengan potongan A-line klasik, bertabur kristal halus. Ia tersenyum mengejek. "Mama ini sebenarnya puber kedua sama Om Adrian, kan?"

Sheila terkekeh kecil, ekspresinya seolah menertawakan diri sendiri. Tangannya mengusap pelan bagian depan kebaya putih modern yang membingkai lehernya dengan lembut.

"Mungkin bisa dibilang begitu, Via Sayang," katanya sambil memandangi cermin, suaranya ringan namun dalam.

"Tetap saja Via nggak setuju! Via nggak mau punya ayah tiri!" seru Olivia sambil menyilangkan tangan di dada, tatapannya tajam tapi mengandung rasa cemas yang disembunyikan di balik nada sinis.

Sheila berbalik pelan dan menghampiri putrinya, lalu menggenggam kedua tangannya. Tatapannya lembut namun tegas.

"Kamu pasti bakalan suka dengan Om Adrian, Sayang. Dia baik. Meskipun usianya 40 tahun tapi dia bisa berbaur dengan anak-anak muda karena Om Adrian memang menyenangkan bagi orang di sekelilingnya. Makanya Mama bisa jatuh cinta dengan dia," kata Sheila dengan senyum penuh keyakinan.

Olivia menatap ibunya dengan dahi berkerut, "Pokoknya, aku nggak bakal manggil Om Adrian Ayah, Papa, atau apalah itu!" suaranya sedikit meninggi, tanda protesnya belum padam sejak seminggu terakhir.

Sheila terkekeh pelan, menatap putrinya yang dengan keras kepala menolak menerima kehadiran Adrian Fabian dalam hidup mereka. Pria yang, setelah bercerai tiga tahun lalu, juga ingin menghapus sepi dalam dirinya.

"Mama yakin, suatu saat kamu bakal manggil dia bukan Om lagi. Mungkin Daddy," goda Sheila sambil menyunggingkan senyum lebar.

"Mana mungkin, Ma!"

"Mungkin aja."

"Mama jangan terlalu berharap deh."

"Masa nggak boleh."

Olivia semakin cemberut karena sikap santai sang Ibu, bahunya sedikit menegang. Dalam hati dia gelisah, tidak bisa melarang ibunya, tapi juga berat menerima jika ada laki-laki lain yang menyusup ke dalam dunia kecil mereka yang selama ini nyaman diisi berdua saja.

"Duh Mama gugup! Sebentar lagi harus duduk di depan meja akad," ucap Sheila, mencoba mengalihkan suasana.

Olivia mendengus. "Harusnya Via yang duduk di meja akad lebih dulu, Ma."

Suara tawa Sheila menggema, terdengar lebih lepas, seperti sedang menikmati momen kecil itu.

Tiba-tiba dari balik pintu, seorang pria berseragam hitam mengintip, menahan senyum sebelum menyampaikan, "Ibu Sheila, ditunggu di meja akad. Sepuluh menit lagi acara akan dimulai."

Sheila mengangguk, matanya melirik ke cermin besar yang terpajang di depan. Refleksi wajahnya tampak tenang tapi ada kesedihan lembut yang sulit disembunyikan. Ia meraih kedua tangan Olivia dengan lembut, tatapannya berubah menjadi penuh kehangatan dan sedikit takut.

"Via, temani Mama, ya. Mama tahu, kamu pasti khawatir Mama akan berubah karena ada orang lain yang nanti Mama urus. Tapi percaya, Mama nggak akan berubah. Justru kamu akan dapat kasih sayang baru dari orang itu."

Olivia menatap mata ibunya, senyum kecil mengembang di bibirnya. "Iya, Ma. Janji, ya?"

"Iya, Sayang," Sheila membalas, menggenggam tangan putrinya lebih erat seolah menegaskan tekadnya.

Mereka berdua keluar dari ruangan itu, melangkah bersama menuju venue pernikahan yang dipenuhi dekorasi indah serta kehadiran kerabat, sahabat dan para tamu yang juga sudah tak sabar menyaksikan momen sakral. Meskipun bukan pernikahan pertama, detak jantung Sheila tetap berdentam kencang, menandai betapa berarti momen itu baginya.

***

".... dibayar tunai!"

"Saya terima nikah dan kawinnya, Sheila Anggraini binti Bapak Adnan Hutomo dengan mas kawin tersebut, dibayar tunai!"

Adrian Fabian, lelaki berwajah tampan, menyuarakan ijab kabulnya dengan penuh keyakinan di depan wali nikah. Detik-detik suara itu menggema, suasana hening menegang.

Dua saksi duduk berdampingan dengan Pak Penghulu, mata mereka tidak berkedip, menilai tiap kata yang terucap untuk memastikan keabsahan pernikahan itu.

Saat mereka mengangguk, konfirmasi kesahihan terucap sinkron dari bibir para hadirin, "Sah? Sah! Alhamdulillah..."

Sheila, yang sejak awal menundukkan kepala, sekarang tangannya terkatup rapat di sisi Adrian, suaminya yang lebih muda empat tahun darinya. Lelaki yang baru saja mengucapkan kalimat sakral pernikahan untuknya.

"Sekarang kalian sudah sah, silakan Mbak Sheila mencium tangan suaminya," perintah Pak Penghulu dengan suara yang tegas namun ramah.

Sheila merasakan jantungnya berdegup kencang. Dia tersenyum haru di depan Adrian, pria yang sekarang menjadi suami sahnya, baik di mata agama maupun negara.

Dengan perlahan, ia mendekatkan wajahnya pada tangan yang telah terulur di hadapannya. Tangan besar Adrian yang terbuka, menanti. Jemari Sheila yang halus bergetar sedikit sebelum akhirnya menyentuh punggung tangan lelaki itu, mengecupnya dengan lembut dan penuh cinta.

"Nah, sekarang gantian, Mas Adrian boleh mencium kening Mbak Sheila," ucap Pak Penghulu lagi.

Sheila mengangkat kepalanya, jantungnya berdegup lebih cepat lagi. Mata Adrian yang teduh menatapnya, membuat Sheila merasa semakin gugup. Ia berusaha menenangkan diri.

Sheila menahan napas, matanya terpejam, saat bibir Adrian yang lembut menyentuh keningnya. Detik berlalu seperti menit, bibir Adrian masih bertahan di sana, menambah rasa gugup yang menguar.

Pak Penghulu mengurai kebekuan dengan lelucon ringan. "Mas Adrian, udah, Mas!" serunya setengah bercanda.

"Oh, sudah ya?" Adrian menyahut, pura-pura kecewa.

"Nanti saja lanjut di kamar! Buru-buru banget mau unboxing," candanya lagi, diikuti tawa dari tamu yang hadir.

Saat tawa menggema, wajah Sheila bersemu merah. Sudah lama dia tidak merasakan kebahagiaan yang membuncah seperti ini.

"Selanjutnya, tanda tangan buku pernikahan. Silakan tanda tangan di sini," titah Pak Penghulu.

Sheila dan Adrian meraih pulpen dan membubuhkan tanda tangan di sana.

"Ya! Tahan, foto dulu sebentar!" seorang fotografer profesional sibuk mengabadikan momen tersebut.

Pesta resepsi pun resmi dimulai, diiringi ucapan selamat yang mengalir tanpa henti dari kerabat dan sahabat. Halaman luas restoran milik Adrian yang sedari kemarin malam sudah disulap menjadi venue megah mereka, kini penuh sesak dengan tawa dan sorak sorai. Lampu-lampu gantung kristal berkelap-kelip, menambah semarak suasana yang menggema hingga sore hari.

Waktu berjalan tanpa terasa. Saat suara tawa mulai mereda, mereka sudah duduk dalam mobil sedan hitam yang siap membawa ke kamar hotel untuk malam pertama.

Sambil fokus pada jalanan di depannya, Adrian melemparkan senyum lembut lalu mencondongkan tubuh, mengecup punggung tangan Sheila dengan penuh kasih sayang. "Kamu capek, sayang?" tanyanya pelan.

Sheila mendongak, senyum manja terlukis di bibirnya. "Capek, Mas. Tapi bahagia banget."

Adrian menatap matanya, masih penuh perhatian. "Tapi masih kuat, kan?"

"Buat?"

"Buat … malam pertama, dong," goda Adrian.

Sheila tersipu, sembari mengangguk pelan. Sudah seperti kali pertama menikah saja.

"Mas, aku minta kamu bisa menyayangi Olivia seperti anakmu sendiri, ya."

"Iya, Sayang."

"Dia memang keras kepala dan syok karena ibunya tiba-tiba menikah lagi setelah puluhan tahun kami hanya hidup berdua, tapi aku yakin kalian berdua akan segera akrab."

Adrian mengangguk sambil tersenyum.

Tiba-tiba, mobil yang dikemudikan Adrian bergetar ringan. Pegangan setir terasa goyah, dan mobil agak oleng. Dengan sigap Adrian menurunkan kecepatan.

"Sayang, sepertinya bannya kempes. Aku cek dulu, ya. Kita berhenti sebentar."

Sheila mengangguk, "Ya, Mas. Dicek dulu aja."

Adrian membawa mobil sedan hitamnya pelan ke bahu jalan, lalu membuka pintu dengan hati-hati. Napasnya terhenti sejenak saat matanya menangkap paku yang tertancap di ban sebelah kiri. Dengan langkah cepat, dia mendekati Sheila yang duduk di kursi depan. "Beneran bocor, Sayang. Aku ganti ban dulu, ya. Kamu tunggu di sini aja. Nggak lama kok."

"Ya, Mas," Sheila mengangguk pelan, matanya mengikuti Adrian mengambil ban cadangan dari bagasi. Tak lama, suara ketukan dan gesekan terdengar jelas di tengah ramainya jalan tol.

Di dalam mobil, Sheila melirik dirinya di kaca spion, wajahnya tampak bosan dan gelisah. "Hmm, aku butuh udara segar," bisiknya, sebelum tanpa pikir panjang membuka pintu dan turun.

Adrian yang berada di depan mobil masih sibuk mengganti ban yang bocor, tidak menyadari istrinya turun.

Dengan gaun pengantin yang masih melekat, dia berjalan perlahan ke belakang mobil, tangan gemetar saat membetulkan tanda segitiga yang terjatuh di aspal. Angin lalu lalang membuat gaunnya berkibar samar.

Tanpa diduga, dari arah belakang sebuah truk besar melaju kencang, mencoba menyalip kendaraan di jalur kiri. Sopir truk terlalu fokus hingga tak melihat mobil mereka yang terparkir di bahu jalan.

Tubuh Sheila membelakangi truk itu saat tiba-tiba terdengar suara rem yang menyayat telinga. Truk mencoba menghindar, tapi tubuh besar kendaraan itu tetap menyenggolnya dengan keras. Sheila terpental ke aspal, gaunnya robek, tubuhnya terluka parah dan napasnya terhenti.

Suara dentuman keras dan jeritan kesakitan pecah membelah jalan tol yang ramai itu.

Gaun pengantin mewah di tubuh Sheila berubah menjadi merah pekat akibat darah yang mulai mengalir di atas aspal.

"Sheila!" suara Adrian pecah, menggema penuh kecemasan dan panik.

Bersambung...

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Hasrat Terpendam Papa Tiriku   Bab 07. Masa Lalu Ingin Kembali.

    Mobil sedan Adrian berhenti di depan Restoran Solaire, kebanggaannya sendiri. Tempat bergaya modern-industrial dengan sentuhan tropikal itu terletak di jantung Jakarta Selatan. Dindingnya didominasi kaca, dihiasi tanaman gantung yang menjuntai di sepanjang jendela, menciptakan suasana segar sekaligus minimalis. Restoran itu adalah hasil perjuangannya melewati jatuh bangun kehidupan pasca perceraian dengan sang istri. "Aku tunggu kabar dari Olivia di sini saja," bisik Adrian sambil melepaskan seatbelt dan melirik jam tangan. "Baru jam setengah sembilan pagi. Semoga wawancaramu berjalan lancar, Via." Senyum manis Olivia yang tadi di dalam mobil tiba-tiba terlintas kembali di pikirannya. Sebelum pikirannya melayang terlalu jauh, Adrian mematikan mesin dan turun dari mobil. "Pagi, Pak Adri!" sapa Suryadi, petugas keamanan yang berdiri di depan pos satpam. Pria berbadan tegap itu melambaikan tangannya. "Pagi juga, Pak Suryadi." Adrian membalas dengan senyum kecil dan anggukan kep

  • Hasrat Terpendam Papa Tiriku   Bab 06. Harapan Baru.

    Olivia berdiri diam di depan cermin, matanya menelusuri bayangannya sendiri yang baru saja tertangkap. Kemeja putih lembut yang kemarin ada di dalam kotak kini melekat pas di tubuhnya, seperti dibuat khusus untuknya. Celana abu tua serasi memberikan kesan rapi dan profesional, sementara rambut yang ia biarkan terurai sebagian disisir rapi dan ujungnya sedikit ditiup blow. Make up tipis menghidupkan rona segar di wajahnya, dan sepasang kacamata bening menghias hidung, memberi kesan cerdas sekaligus dewasa. Olivia menarik napas dalam, dadanya mengembang penuh keyakinan meski hatinya masih terselip keraguan kecil. "Oke, kamu bisa. Tundukkan siapapun HR di balik meja itu, Via," gumamnya pelan, menatap bayangan sendiri dengan senyum kecil yang berusaha menyingkirkan gelisah. Olivia melirik arlojinya. "Sebaiknya aku sarapan dulu. Masih ada waktu, interview aku pukul sembilan." Gadis cantik itu menatap cermin sekali lagi untuk memastikan penampilannya, lalu memutar tubuhnya menuju pintu

  • Hasrat Terpendam Papa Tiriku   Bab 05. Mulai Bangkit.

    Langkah kaki Olivia terdengar pelan menyusuri setapak batu di taman belakang rumah Adrian. Udara pagi masih sejuk, dingin lembut yang membuat napasnya terasa segar. Sinar matahari menembus celah dedaunan trembesi, berkilau malu-malu seperti ingin mengintip rahasia hari baru. Di kejauhan, kolam kecil berisi ikan mas tenang sekali, airnya nyaris tak beriak sama sekali.Karena udara cukup panas, Olivia mengenakan kaus longgar dan celana katun abu, rambutnya dikuncir seadanya. Wajah polos tanpa riasan itu menampakkan ketenangan yang berbeda dari biasanya. Pagi itu, hatinya terasa sedikit lebih ringan—seolah ada beban yang perlahan mencair. Mungkin karena dia sudah mulai bisa menerima keadaan sedikit demi sedikit, ditambah kehadiran Mariska yang menjadi tempat curahan hatinya.Namun, meski sudah lebih dari seminggu tinggal di rumah Adrian, Olivia masih memilih diam, menjaga jarak dengan lelaki itu. Tapi ada perubahan kecil yang tak terelakkan: ia mulai keluar kamar, ikut makan bersama, dan

  • Hasrat Terpendam Papa Tiriku   Bab 04. Rapuh.

    Hari ketiga di rumah Adrian masih sama sunyinya seperti dua hari sebelumnya. Dingin menusuk dan rasa canggung yang tak hilang dari udara. Olivia tetap memilih mengurung diri di kamarnya, jarang sekali turun sekalipun untuk makan. Adrian berusaha berpura-pura biasa saja, menyembunyikan ketegangan seolah itu bisa membuat suasana menjadi normal. Tapi sejak Sheila pergi, semua terasa hampa dan tak pernah benar-benar seperti sedia kala. Pagi itu, Olivia duduk membungkus tubuhnya dengan selimut di sudut tempat tidur. Jari-jarinya menggenggam ponsel yang menampilkan tujuh panggilan tidak dijawab pada Ruby. Dengan enggan, ia membuka room chat, melihat deretan pesan yang belum juga dibaca oleh sang Tante. "Nomornya aktif, tapi kenapa semua pesanku nggak terbaca?" gumamnya, suara pelan penuh kesal. Tarikan napas panjang mengisi dadanya. Matanya masih sembab, meski tak ada lagi air mata yang tersisa. Hatinya seperti ditinggalkan oleh siapa pun yang seharusnya datang tapi malah pergi menjauh.

  • Hasrat Terpendam Papa Tiriku   Bab 03. Masih Kehilangan.

    Rumah besar berlantai dua milik Adrian Fabian berdiri megah dalam balutan cahaya lampu taman yang hangat. Namun bagi Olivia, bangunan itu terasa lebih seperti penjara yang tak ia pilih, ketimbang rumah.Saat mobil Adrian berhenti di carport, Olivia turun tanpa banyak bicara. Ia hanya menenteng tas kecil, langkahnya pelan tapi tegas menuju pintu depan.Adrian membukakan pintu, mempersilakan dengan gerakan tangan yang diam dan sopan."Kamarmu di atas, lantai dua, yang paling ujung kiri. Sudah Mama kamu pilih sendiri waktu itu," ucapnya pelan, seperti berjalan di atas pecahan kaca."Oke.""Perlu aku antar?"Olivia hanya menggeleng, suara pendek. "Tidak, aku bisa cari sendiri.""Yakin?""Iya."Adrian menghela napas kecil, mencoba memecah keheningan. "Kalau butuh apa-apa, kamu bisa cari aku. Aku ada di ruang keluarga, ada beberapa hal yang harus aku kerjakan."Tanpa membalas, Olivia mengangguk kecil dan berlalu tanpa mengucap sepatah kata pun. Langkah kakinya bergema pelan di lantai marmer

  • Hasrat Terpendam Papa Tiriku   Bab 02. Berduka dan Kehilangan.

    Langit mendung bergelayut rendah sejak pagi. Udara dipenuhi kelembaban, aroma tanah basah, dan duka yang menggantung berat di udara. Tanah pemakaman wanita itu sunyi meski dipenuhi puluhan pelayat. Semuanya menunduk, seolah tak berani mengganggu kesedihan yang pekat di udara. Di barisan depan, Olivia berdiri tegak, tanpa payung, membiarkan gerimis jatuh membasahi rambut dan wajahnya yang pucat. Kain hitam membungkus tubuhnya, sementara matanya menatap kosong ke arah liang lahat yang siap digunakan. Dari kejauhan, Adrian berjalan dengan langkah gontai. Koko putih dan celana hitamnya tampak kontras dengan sorot matanya yang hampa, seolah beban dunia menekannya. Tangannya gemetar saat ia mengangkat keranda berisi jenazah Sheila, yang dibungkus kain kafan putih bersih. Perlahan ia mendekati lubang liang lahat, bersama para pelayat pria lain. Dengan hati-hati, mereka menurunkan keranda itu. Adrian pun ikut masuk ke liang lahat, mengiringi sang istri sampai ke peristirahatan terakhir

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status