LOGINLampu di atas pintu ICU berkedip semakin cepat. Bunyi alarm itu memecah lorong seperti sirene penghakiman yang terdengar tajam, panjang, dan tak memberi ruang untuk bernapas. Beep—beep—beep. Seorang perawat berlari tergesa, suaranya panik memanggil dari kejauhan, "Dokter Randa! Ruang ICU nomor satu! Saturasi drop! Tekanan intrakranial naik drastis!" Langkah tergesa memenuhi lorong sempit. Dari ujung sana, Dokter Randa muncul, jas putihnya berkibar, wajahnya tegang penuh fokus. Di belakangnya, Suster Sarah mendorong troli darurat, napasnya tak kalah cepat. “Siapkan manitol tambahan. Panggil dokter bedah saraf yang available dan dokter anestesi on-call,” perintah Dokter Randa sambil terus melangkah. “Kebetulan Dokter Benny sedang ada di lantai dua, Dokter,” jawab suster Sarah cepat. “Segera panggil dia ke sini!” Gista refleks bergerak maju. “Dokter! Saya ikut! Saya mau liat langsung kondisi anak saya!” Namun sebelum ia bisa melangkah lebih jauh, dua suster lain menghadangnya. “
Lampu di depan ruang ICU tetap menyala tanpa kompromi, putih dan dingin, seolah tak peduli pada siapa pun yang berdiri terlalu lama di bawahnya. Di balik kaca tebal itu, tubuh kecil Nevan terbaring dengan selang dan kabel yang menjulur dari berbagai sisi, naik turun mengikuti ritme mesin.Gista berdiri paling dekat dengan pintu. Hari ini kondisinya jauh lebih baik dibanding dua hari lalu. Luka-luka ringan di lengannya dan memar di wajahnya mulai memudar. Secara fisik, ia dinyatakan aman. Namun, jiwanya belum.Sejak pagi, tangisnya tak pernah benar-benar berhenti. Gista menempelkan telapak tangannya ke kaca, bahunya terguncang. Bibirnya bergerak cepat, melafalkan kalimat-kalimat putus yang lebih mirip doa panik daripada permohonan teratur.“Tuhan ... Kenapa bukan aku saja yang terbaring di sana … Tolong, Tuhan,” suaranya serak, nyaris tak terdengar. “Aku nggak apa-apa kalau harus terluka. Jangan Nevan, Tuhan. Jangan dia…”Ia menunduk, dahinya hampir menyentuh kaca. Air matanya jatuh ta
Lampu ruang tunggu ICU masih menyala terang, membiaskan bayangan Nevan yang terbaring lemah di balik kaca tebal. Erika melangkah pelan, matanya tak pernah lepas dari sosok Nevan yang nyaris tak bergerak. Dia mendekati Adrian, yang sejak setengah jam lalu berdiri kaku di depan ruang itu, wajahnya penuh kecemasan.“Adrian...” suara Erika lembut, hampir seperti bisikan yang berusaha menenangkan.Adrian menoleh sekilas, lalu segera menatap kembali ke Nevan, seolah takut jika dia mengalihkan pandang, nyawa putranya bisa saja hilang.“Kalian sebaiknya pergi dulu. Cari hotel yang dekat sini, mandi, lalu tidur sebentar. Mama akan jaga di sini,” Erika merapikan selendang yang tergelantung di bahunya dengan gerakan halus.Adrian menggeleng cepat, suaranya serak, “Ma, aku—”“Adrian,” potong Erika dengan lembut tapi tegas, menatap tajam mata anaknya, seperti dulu saat menenangkannya dari mimpi buruk. “Nevan masih dijaga alat dan dokter. Tapi ayahnya juga manusia. Kamu perlu istirahat supaya bisa
Suara alarm itu kembali terdengar, kali ini lebih panjang dan tajam. Adrian sudah berdiri di depan pintu ICU bahkan sebelum bunyi itu benar-benar mereda. Tangannya refleks menekan kaca, seolah jarak tipis itu bisa ditembus hanya dengan satu dorongan. “Kenapa? Ada apa? Apa yang terjadi sama Nevan?! Suster!” Suaranya meninggi, kehilangan kendali yang sejak tadi ia coba pertahankan. Seorang perawat muncul tergesa-gesa, wajahnya serius dan langkahnya cepat. Tanpa berhenti, ia berkata, “Mohon tunggu di luar, Pak.” “Anak saya—” Adrian melangkah maju setengah langkah, namun seorang petugas keamanan segera berdiri di sampingnya, memberi batas yang tak perlu diucapkan. Olivia ikut berdiri, meraih lengan Adrian dengan erat kali ini. “Mas, tolong… jangan buat mereka makin susah.” Di balik kaca, bayangan tubuh-tubuh bergerak cepat. Monitor menyala, angka-angka berubah terlalu cepat untuk dipahami. Adrian menelan napas, dadanya naik turun tak beraturan. “Kenapa selalu begini? Kenapa aku sela
Adrian baru melangkah beberapa meter dari bed sepuluh ketika pandangannya menangkap sosok pria muda di depan nurse station IGD. Usianya mungkin sekitar dua puluh lima, rambutnya tertata rapi, jaket motornya tampak mahal. Pria itu mendekati suster jaga dan nama Gista keluar dari bibirnya meskipun terdengar pelan, tapi cukup jelas. Dengan sengaja, Adrian melambatkan langkah, pura-pura sibuk merapikan ponsel di tangannya, diam-diam mengamati gerak-gerik pria itu. Saat suster menjelaskan arah bed, pria itu mengangguk pelan, kemudian menarik napas panjang, seolah menguatkan diri untuk sesuatu. Tatkala pria itu berbalik, Adrian maju selangkah, suaranya dingin dan datar. “Halo, Mas,” sapanya. “Mas nyari Gista?” Langkah pria itu langsung terhenti. Dahinya berkerut, matanya tiba-tiba mengeras, penuh waspada. “Iya,” jawabnya singkat. Adrian mengamati, lalu bertanya lagi, “Mas siapa?” “Bayu,” jawab pria itu dengan nada defensif. “Hubungannya sama Gista apa?” tanya Adrian, menahan rasa p
Dua langkah kaki terdengar pelan dari belakang. Tirai hijau bergeser sedikit, disertai suara berdehem halus.“Selamat siang. Dengan keluarga pasien anak Nevan?”Adrian menoleh cepat. Seorang pria berkacamata dengan jas dokter berdiri di sana. Wajahnya tenang, matanya menyiratkan empati yang tulus. Di sebelahnya, seorang suster berseragam biru berdiri sambil memegang papan pemeriksaan.“Saya Hans, dokter yang menangani Nevan,” katanya lembut.Olivia spontan berdiri tegak. Adrian pun perlahan melepaskan jemari Nevan, meski berat, seolah ada bagian dari dirinya yang enggan menjauh sejengkal pun.“Saya Adrian, ayah Nevan. Dokter... bagaimana kondisi anak saya?” tanya Adrian dengan suara serak.Dokter Hans melangkah mendekat, berdiri di sisi ranjang. Matanya menatap monitor, lalu kembali ke wajah Adrian. Ia tidak langsung menjawab, bukan karena ragu, melainkan memilih kata yang paling manusiawi untuk diucapkan.“Pak Adrian, Nevan mengalami cedera kepala berat akibat benturan keras di bagia







